Senin, 18 Januari 2016

Raport Merah Moralitas Penguasa Negeri

Judul : Demokrasi Ala Tukang Copet
Penulis : Mohammad Sobary
Penerbit : Mizan
Cetakan : 1. 2015
Tebal : 124 Halaman
ISBN : 978-979-433-836-0
Peresensi : Ahmad Wiyono

Fakta seputar kebobrokan moralitas yang terjadi di tengah bangsa kita seakan menjadi warisan yang sulit untuk dipunahkan, bahkan dalam setiap pergantian rezim selalu ditemukan ragam kebobrokan moral yang terkesan menjadi “keharusan” dari setiap pelaku kebijakan di negri ini.

Pemimpin dan segenap penguasa di negeri ini tak ubahnya telah memberikan contoh buruk kepada segenap bangsa, tentang serentetan perilaku mereka yang cendrung mengabaikan kepentingan rakyat, bahkan melukai hati nurani rakyat. Kasus korupsi misalnya, sudah puluhan, bahkan ratusan penguasa negeri dengan lihainya merampok uang rakyat, yang jelas-jelas itu melukai hati rakyat.

Bagiamana mungkin, penguasa bisa mengajak rakyuatnya untuk melakukan sesuatu yang baik, sementara mereka sendiri telah memberikan contoh yang tidak baik, sikap apatis justru akan menjadi sesutau yang ditunjukkan oleh rakyat. Bahkan tak sedikit yang mengecam terhadap para penguasa itu sendiri.

Demokrasi Ala tukang Copet, merupakan buku ringan namun tegas dalam memberikan kritik terhadap situasi dan perkembangan negeri ini, sekumpulan tulisan santai disusun indah oleh penulisanya sehingga menjadi buku tipis namun sangat berwibawa ini. Semuanya berisi tentang sindiran terhadap negeri tercinta Indonesia, yang notabeni diakibatkan oleh tingkah laku penguasanya yang tak bermoral.

24 tulisan Mohammad Sobary yang diurai dalam buku ini jelas-jelas merupakan nyanyian kekecewaan putera bangsa ketika melihat para pnguasa negerinya sudah nyaris terjerembab pada lembah kepentingan kelompok dan golongan sehingga tak sempat berfikir lebih jauh bagaimana masa depan rakyat yang mereka pimpin. 

Dalam buku ini dijelaskan, pemimpin semestinya bisa berjiwa tenang namun tegas, karena hal itu menjadi penentu kewibawaan sang pemimpin itu sendiri. Tenang dalam artian selalu detil dalam memutuskan kebijkan sehingga rakyat tidak dirugikan. Tegas maksudnya bisa memilah dan memilih mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggal, tentu dengan tetap mengacu pada aspek kepentingan rakyat.

Pemimpin yang baik boleh kelihatan kaku sesekali, tapi tindakannya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan secara kemanusiaan. Pemimpin tak perlu terlibat dalam diskursus yang tak ada ujung pangkalnya. Pemimpin, di depan atau di belakang, bahkan jika berada di tengah pun, harus mengemban tanggung jawab publik yang tak ringan. Dia tidak boleh takut, tak boleh mengeluh, tak boleh menangis (Hal. 24).

Satu hal lagi yang menjadi karakteristik para pemimpin negeri kita saat  ini, yaitu kebiasaan merebut pangkat dan jabatan, situasi ini yang seringkali menjadikan para penguasa bertindak amoral. Segala cara kadang dilakukan hanya demi memenuhi hasrat kepentingan dan kekuasaan merka. Tak jarang pula, situasi seperti itu yang menyebabkan terjadinya perang saudara antar penguasa itu sendiri.

Watak penguasa tersebut pada akhirnya akan berimplikasi pada lahirnya perilaku negatif dan bersifat fatal, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) misalnya, tak sedikit penguasa yang harus melakukan praktek suap hanya demi memenuhi target dan keinginannya. Nah, inilah salah satu “penyakit jiwa”  para penguasa negeri ini, di mana pangkat selalu menjadi target, sementara pekerjaan yang berdampak terhadap kesejahteraan rakyat selalu menjadi pekerjaan kesekian.

Pribadi yang tidak merdeka, takut tidak naik pangkat, kepentingan untuk memperoleh jabatan, kecendrungan sikap menjilat atasan dan tigkah laku yang sedikit pun tak mengenal makna “zuhud”, atau asketik dalam hdup, membuka peluanhg menjerumuskan atasan. Tak ada orang yang betul-betul loyal pada atasan. Manusia-manusia itu hanya loyal pada diri mereka sendiri. Tak mengherankan, mereka bukan hanya tak berbuat sesuatu, melainkan bisa jadi malah sebaliknya; menjerumuskan (Hal. 48).

Sindiran-sindiran kritis dalam buku setebal 124 halaman ini adakalanya bisa membuat kita tersenyum miris, lantaran kondisi moralitas penguasa yang kian hari kian jauh dari harapan. Namun demikian, kang Sobary dalam buku ini juga berhasil memenrikan catatan perenungan bagi pembaca tentang bagaimana menatap Indonesia, negeri yang kaya raya, serta besar secara kuantitas, namun sekalu dipermainkan justru oleh orang-orang yang bercibaku di negeri itu sendiri.


Tulisan ini dimuat di harian Radar Madura, 3 januari 2016



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons