Jumat, 12 Maret 2010

Sajak

KABAR MUSIM DARI LATU
*Mengenang Gus Dur

"
Senja di kota latu
Masih sama seperti yang dulu
Nyanyian anak tebu ireng
Terbawa angina
Pada sajak debu yang lewa
t"

Begitulah
Lukisan musim
Yang sempat kau lautkan
Lewat pesan singkat sore itu
Benarkah
Padahal gerbang waktu
Yang pernah kita pinjam pada keringat matahari
Sudah tak mampu
Menghitung detak jantun pada lintang perjalanan

Sebaris naskah tentang latu
Telah tenggelam dimataku



KABAR MUSIM DARI LATU II
Aku memang tak pernah tahu
Tentang rentang cuaca kota itu
Tapi seutas Tanya
Yang kerap terlontar pada kegenitan purnama
Telah sempurna
Mengabariku tentang semuanya
Benarkah
Aroma sorga telah menjadi kubakan masa silam hanya memercik
Padahal waktu yang sering kita pinjam pada keringat matahari
Telah lebih asin dari luapan materi



CATATAN RINDU
*Gus Dur

Sengaja kusiapkan secawan kisah
Pada denting cuaca
Dinafas pertamamu
Agar elok mawar
Sempurna rebah
Dinatar pelepah jemari dan anggukan lesumu
Yah
Selamat memetik bunga
Dinafas keduamu

Selasa, 09 Maret 2010

Mewaspadai Destruktifikasi Idealisme Pendidikan

Ahmad Wiyono

Masyarakat semakin sadar bahwa diantara sekian banyak kebutuhan hidup manusia, pendidikan merupakn kebutuhan “primer”. Namun demikian tidak semua masyarakat yang mempunyai kesadaran mendapat kesemapatan untuk sama-sama mengenyam nikmatnya Pendidikan yang bermutu Tinggi

Dalam wacana intlektual, Pendidikan diposisikan seperti sentral yang multi fungsi. Pendidikan merupakan impian sekaligus cita-cita bersama. Pendidikan tak hanya sekedar wahana mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, melainkan sarana untuk membebaskan dan memanusiakan manusia. Paulu Freiri pernah mengemukakan bahwa Pendidikan merupakan ikhtiar untuk mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan yang dialami oleh masyarakat, baik dari soal kebodohan sampai ketertinggalan.

Mempertahankan kulaitas pendidikan merupakan keniscayaan. Pendidikan bermutu diharapkan mampu merubah tatanan yang berkebudayaan (biadab) menuju masyarakat yang beradab. Dan hanya orang yang berpendidikanlah yang akan mampu mepertahankan Politik, Sosial, Ekonomi dan Budaya suatu bangsa.

Amanat GBHN, bahwa pendidikan diarahkan untuk memperbaiki kualitas SDM bangsa ini harus dijunjung tinggi, apalagi diantara tujuan awal kemerdekaan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Memang seharusnya pendidikan lebih dititik beratkan pada kecerdasan dan kebebasan otak, semua siswa teridentifikasi bakat, keterampilan, (kreatif) yang memungkinkan mereka menjadi dirinya sendiri.

Hal yang patut dibanggakan adalah semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Mereka yakin bahwa diantara sekian banyak kebutuhan hidup manusia, pendidikan merupakn kebutuhan “primer” yang mesti diprioritaskan. Namun disisi lain, ditengah daya beli yang terhimpit, harga-harga kebutuhan pokok yang mulai melangit, tak terkecuali biaya sekolah yang mulai tak terjangkau. Apalagi sekolah faforit yang diyakini dengan jaminan pendidiakn berkualitas tinggi, hanya bisa dijangkau oleh kalangan ekonomi menengah keatas, sementara para kaum “ELIT” (Baca; Ekonomi Sulit) harus rela menggigit jari dan cukup berandai-andai.

Memang benar, tidak ada sesuatu didunia ini yang gratis. Biaya pendidikan yang kian hari kian mahal merupakan konsekuensi logis dan menjadi hal yang wajar dalam memperoleh pendidikan bermutu tinggi, ‘price is quality and quality is price’. Namun, patutkah adegium diatas dijadikan dalil dan terus dibenarkan kalau nantinya hanya akan menyebabkan implikasi distruktif terhadap idelalisme pendidikan, sehingga yang terjadi kemudia, sekolah hanya milik mereka yang beruang, “yang kaya bersekolah, yang miskin menganggurlah”.

Mahalnya biaya pendidikan, kendati dengan seperangkat alasan kualitas dan mutu, bagaimanapun masih terkesan diskriminatif. Kritik pedas dan demonstrasi memang terjadi dimana-mana untuk mengembalikan kesenjangan ini, namun demikian pemerintah masih bersikap impasif akan tuntutan tersebut. Padahal sudah jelas, dalam alam demokrasi (baca: Demokratisasi) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, karena pendidikan bukan hanya milik orang-orang yang kaya.

Barangkali, masih segar dalam ingatan kita janji-janji para elit politik untuk memeratakan Pendidikan, mulai dari Pendidikan Murah hingga sekolah Gratis sempat dilontarkan sebelum Pemilu tahun lalu. Dengan lidah manis dan beraroma madu mereka mengungkapkan idealismenya. “memeberikan pendidikan secara merata bagi seluruh rakyat, tak terkecuali wong cilik”. Sebuah aforisme yang mengundang antusiasme masyarakat yang berada dalam kondisi lemah untuk mendapatkan kesempatan mengenyam bangku pendidikan.

Namun kenyataannya, pasca mereka (para elite politik) benar-benar menjadi “Top Leader” yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat belum bisa menikmati pendidikan secara adil dan merata, Beban finansial yang cukup berat membuat mereka frustasi,hanya bisa bersabar dan menunggu datngnya keajaiban. Pendidikan berkualitas dan bermutu tinggi bagi mereka sebatas angan-anagn belaka,

Dimuat diharian Radar Madura dan Pamekasan On Line
Memperbaiki Citra dan Kinerja Kejaksaan



Pada Selasa, 22 Juli 2008 ini, lembaga kejaksaan sudah mencapai usia ke-48. Di tengah kian buramnya wajah kejaksaan akhir-akhir ini, peringatan Hari Kejaksaan kali ini menjadi momen strategis untuk memperbaiki citra dan kinerja lembaga kejaksaan ke depan.

Meskipun terkesan klasik, citra atau kewibawaan kejaksaan di tengah masyarakat tetaplah menjadi perkara penting. Sebuah institusi publik seperti kejaksaan, yang ingin bekerja efektif, membutuhkan legitimasi dari khalayak publik. Dengan kata lain, kejaksaan perlu membangun dan menjaga wibawanya di masyarakat. Citra ini menjadi lebih mendesak sejak Indonesia memasuki era reformasi yang menjungkirbalikkan hampir semua kebijakan dan langkah pemerintah Orde Baru.

Akan tetapi sejak Orde Baru hingga hari ini, lembaga kejaksaan tetap terseok-seok dalam memperbaiki citra dan wibawanya. Justru kian hari kinerja kejaksaan kian kurang dipercaya dengan terkuaknya kebobrokan yang ada dalam tubuh lembaga itu. Kurangnya kepercayaan rakyat disebabkan kejaksaan tak berdaya memberantas, alih-alih malah justru terlibat korupsi.

Terbongkarnya skandal jaksa Urip Tri Gunawan dalam kasus penerimaan suap dari Artalyta Suryani beberapa waktu lalu, semakin memperkeruh lembaga kejaksaan dan telah menyebabkan skeptisisme di tengah masyarakat. Lebih-lebih penangkapan itu terjadi baru tiga hari sejak Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman mengumumkan penghentian pemeriksaan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pemegang saham Bank Central Asia, Anthony Salim, dan Bank Dagang Nasional Indonesia, Sjamsul Nursalim.

Tak pelak, citra lembaga kejaksaan coreng-moreng. Kejaksaan, yang awalnya diharapkan menjadi pelopor pemberantasan KKN dan mafia peradilan, justru harus terlibat dalam lingkaran setan tersebut, baik sebagai pelindung maupun pelaku skandal korupsi.

Mencermati hal yang demikian, Kejaksaan Agung ke depan harus memberantas korupsi di lingkungan sendiri terlebih dahulu. Urip dan dua jaksa muda lainnya harus ditindak tegas. Namun demikian, menurut Ernanto Soedarno (2008), meskipun kasus itu memalukan kejaksaan, persoalannya tentu tidak hanya berhenti pada soal memalukan dan Urip harus diganjar hukuman berat. Akan lebih bijak dan strategis bila kejaksaan memanfaatkan momentum ini sebagai pintu masuk untuk mereformasi kejaksaan, terutama dalam pemberantasan korupsi internal.

Realisasi pasal 10 ayat (2) UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban harus diberikan kepada Urip oleh KPK dan Kejagung. Pasal ini menyatakan, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tak bisa dibebaskan dari tuntutan pidana bila ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.Namun, kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan.

Optimalisasi kinerja

Sebagai ujung tombak, Kejaksaan Agung harus lebih mengedepankan kinerja yang baik dan teladan kepada masyarakat. Jika selama ini kejaksaan dinilai menjadi institusi yang paling lamban dalam mereformasi penegakan hukum, terutama terkait pembersihan hukum internal di dalam institusinya sendiri serta memosisikan dirinya sebagai jaksa rakyat, bukan semata sebagai wakil eksekutif dalam penegakan hukum, maka sudah waktunya, sejak saat ini mesti dibuktikan bahwa kejaksaan bisa menjadi lembaga independen yang sanggup menegakkan hukum, membongkar skandal KKN, dan memperjuangkan keadilan bagi bangsa Indonesia.

Untuk mengoptimalkan itu semua, para jaksa di mana saja bertugas harus membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan. Misalnya, dalam bidang perbankan, pencucian uang, kejahatan komputer, dan hak kekayaan intelektual. Dengan keahlian itu, para jaksa diharapkan mampu menjawab semua tantangan masa depan yang lebih berat.

Cara lain mempercepat pemulihan kepercayaan masyarakat adalah dengan menindaklanjuti, memeriksa, dan menjatuhkan sanksi keras kepada jaksa-jaksa yang menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, terlebih lagi jaksa-jaksa yang "memanen keuntungan" di era pemberantasan korupsi ini dengan cara memeras pesakitan. Segera umumkan jaksa-jaksa yang mencoreng Korps Adhyaksa kepada publik. Dalam kaitan dengan pengawalan integritas korps jaksa, pengawasan langsung dan tegas dari pimpinan kejaksaan terhadap kasus-kasus korupsi di daerah menjadi sangat penting.

Keterbatasan energi dan sumber daya yang dimiliki pimpinan kejaksaan dapat diatasi dengan menjaga dan meningkatkan komunikasi dengan para aktivis antikorupsi yang berada di berbagai daerah. Kekuatan pimpinan kejaksaan dalam memberantas korupsi jelas tidak hanya terletak pada kehendak politik dan dukungan presiden, DPR, dan jajaran kejaksaan, tetapi juga pada kekuatan civil society di seluruh Indonesia.

Sambil terus melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga penting di bidang pemberantasan korupsi, seperti BPK, KPK, Polri, dan PPATK, kerja sama dengan jaksa agung di negara-negara anggota ASEAN sangat diperlukan, terutama meyakinkan bahwa negara mereka (terutama Singapura) perlu memberikan dukungan penuh terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, bukan sebaliknya, menjadi "pelabuhan" koruptor.

Selain itu, dibutuhkan sistem yang lebih efektif, transparan, dan accountable yang disesuaikan dengan karakteristik khusus kejaksaan melalui penjabaran dari undang-undang kejaksaan, visi dan misi kejaksaan, doktrin, kode etik jaksa, sumpah jabatan, dan prinsip-prinsip tata pemerintah yang baik (good corporate governance).

Pembaruan sistem pengawasan di kejaksaan juga sangat bergantung pada perubahan sikap dan budaya kerja seluruh aparat kejaksaan karena betapa pun baiknya suatu sistem tidak akan berjalan tanpa adanya komitmen kuat dan semangat yang tinggi untuk memenuhi harapan masyarakat.

Di samping itu, peran serta publik juga menjadi faktor penting dalam pengawasan di kejaksaan, publik harus berperan aktif memberikan masukan dan dorongan objektif untuk bersama-sama menciptakan kejaksaan sebagaimana yang kita cita-citakan.***

dimuat diharian Pikiran Rakyat

Pentingnya Peran Korporasi Dalam Pendidikan

Majunya pendidikan tidak akan lepas dari peran serta semua pihak, Peran Korporasi juga menjadi bagian penting dari proses majunya dunia Pendidikan, setidaknya masyarakat yang terancam mengalami kesulitan dalam menempuh Pendidikan akibat kondisi ekonominya yang kurang beruntung bisa sedikit tertangani melalui peran serta korporasi

Pematangan konsep pemerataan pendidikan memang harus lahir dari semua pihak, jika pemerintah dari awal sudah mebahkodai adanya upaya pemerataan pendidikan tersebut –terlepas dari berhasil atau tidak- ,maka saat ini sudah waktunya pihak lain ikut berpartisipasi untuk mewujudkan idealisasi penddikan merata tersebut.

Partisipasi dimaksud adalah dengan cara ikut serta memikirkan sekaligus mencari jalan keluar terhadap berbagai persoalan pendidikan yang dihadapi oleh dunia pendidikn saat ini, salah satunya adalah persoalan pembiayaan pendidikan yang sampai saat sekarang ini masih diasumsikan menjadi persoalan besar dalam dunia pendidikan itu sendiri.

Fenomina terjadinya klasifikasi sekolah yang berimplikasi pada munculnya dikotomi antara pendidikan faforit dan tidak faforit menyebakan meruncingnya wacan persoalan peniddikan dalam sektor pembiayaan, setidaknya akan terus bergulir sinyalemen bahawa pendidikan hanya akan bisa dinikmati oleh kaum yang ber-uang saja, hal ini jelas diakibatkan oleh melonjaknya biaya pendidikn pada lembaga-lembaga yang sudah berlabel faforit tersebut.

Tapi kemudian itu semua bukan persoalan besar, jika kita menyadari bahwa kunci utama masalah tersebut pada esensinya terletak pada kemauan masyarakat itu sendiri. Barangkai kita harus mengakui bahwa wacana pendidikan mahal memang benar, isu sekolah faforit memang harus diiyakan. Namun demikian semua orang berkesempatan untuk menikmati segala bentuk pendidiakn dan sekolah seperti yang dimaksud diatas.

Hal ini bisa terwujud jika masyarakat betul-betul bisa memanfaatkan peluang yang diberikan oleh beberapa stikc holder pendidikan yang pada dasarnya mereka juga mempunyai kesadaran kuat untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat yang kuirang beruntung agar sama-sama bisa menikmati indahnya pendidian bermutu yang diwujudkan melalaui sekolah faforit tersebut.

Salah satunya adalah peran Korporasi, peran korporasi dalam pembiayaan pendidikan ini akan diberikan dengan berbagai model, seperti besaiswa, penelitian bahkan pada bantuan langsung yang diberikan kepada institusi pendidikan, yang hal ini tidak ada lain terkecuali dalam rangka untuk ikut berpartisipasi dalam proses pemerataan pendidikan di indonesia.

Peran korporasi ini memberi beberapa kontribusi terhadap dunia pendidikan. Pertama: dibutuhkan sumbangan dana dari korporasi karena anggaran dari pemerintah belum bisa mencukupi kebutuhan, sementara masyarakat masih terjebak dalam kemiskinan. Kedua: Program-program yang disponsori korporasi juga memberi peluang bagi insan-insan pendidikan untuk keluar dari menara gading dan mengenal dunia kerja serta industri karena ada korporsai yang memberi pelatihan, soft skill. Ketiga: peran korporasi bisa menjadi penyeimbang kekuatan negara dalam penyelenggaraan pendidikan dan mendukung masyarakat yang secara umum masih belum berdaya dan terpinggirkan dari akses pendidikan. (Anita Lie: Kompas 2007)

Dari hal tersebut, ada angin segar yang bisa dinikamati oleh masyarakat secara umum, dengan catatan apabila masyarakat punya kemauan untuk merebut peluang tersebut, korporasi hanya akan menjadi motivator yang bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat yag masih kurang beruntung dalam sektor ekonomi namun punya kemauan untuk ikut andil dalam proses pengembangan pendidikan dirinya.

Oleh akrena itu, perlu ada upaya bersama untuk ikut meningkatkan peran korporasi dalam pendidikan yang hal itu lebih ditekankan pada peran pembiayaan pendidikan bagi masyarakat yang tidak mampu, sehingga cita-cita bersama tentang pemerataan pendidikan akan segera terwujud dengan baik dengan indikator uatamanya adalah sudah tidak ada lagi wacana penidikan mahal termasuk dikotomi pendidikan.

Ahmad Wiyono Alumni Tenaga Pendidik, dan Peneliti di Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons