Rabu, 03 Oktober 2012

Kongres Kebudayaan Madura, Untuk (Si)apa?


Kongres Kebudayaan Madura, Untuk (Si)apa?
Oleh: Ahmad Wiyono

Gagasan untuk melestarikan kebudayaan local Madura nampaknya betul-betul mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, utamanya kalangan budayawan Madura –baik yang menetap di Madura maupun yang ada di rantau-, hal itu menjadi manifistasi logis bahwa tidak ada yang bisa dan pantas untuk memperhatikan eksistensi kebudayaan Madura kecuali orang Madura sendiri, paling tidak rasa simpati yang harus terus dilahirkan ketika menyaksikan autentisitas kebudayaan local yang sudah mulai kusut. Terlepas dari apa penyebab terjadinya hal tersebut, tapi yang jelas sebagai orang yang tumbuh dan dibesarkan dari nilai-nilai kebudayaan Madura, maka menjadi fardu ain hukumnya untuk turut serta melakukan pengawasan, bahkan revitalisasi terhadap kebudayaan itu sendiri, apalagi jika telah terjadi dekradasi budaya seperti saat sekarang ini.

Kongres Kebudayaan Madura (KKM), yang digagas oleh beberapa tokoh Madura yang masih meiliki kepedulian kuat terhadap nilai-nilai kebudayaan beberapa waktu yang lalu merupakan medium representative dalam upaya melestarikan nilai-nilai kebudayaan, dalam konteks inilah kita perlu berfikir sejenak betapa pada akhirnya nanti akan lahir kembali kebudayaan Madura yang betul-betul autentik tanpa adanya distorsi nilai. Spekulatifkah?, pertanyaan seperti itu tetap akan lahir seiring dengan optimisme yang terus lahir untuk membangun kebudayaan Madura yang madani, sebab disadari atau tidak apa yang telah digelar dalam KKM (termasuk yang akan digelar pada KKM berikutnya) tersebut tetap hanyalah sebatas usaha, persoalan nantinya apa yang akan dihasilkan, itu masih menjadi PR besar bagi kita semua.

Prinsipnya, orientasi dari pelaksanaan KKM tersebut tetap megarah kepada upaya perbaikan nilai-nilai kebudayaan. fenomina krisis kebudayaan local Madura akan menjadi target prioritas dalam pembahasan tersebut, serap aspirasi konsep teoritis dari berbagai tokoh serta budayawan Madura juga akan menjadi pembahasan alot dalam setiap gelaran KKM, tentu semua itu dalam rangka mencari benang merah yang akan menambal sulam persoalan kebudayaan kita. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana kesanggupan KKM dalam menjawab segala problematika kebudayaan yang saat sekarang ini sudah memasuki fase kritis dan memperihatinkan?.

Kompleksitas persoalan yang melanda kebudayaan local Madura pada esensinya tidak lepas dari dinamika kehidupan manusia Madura itu sendiri, mengapa demikian?, karena sekali lagi yang berhak bahkan bertanggung jawab terhadap keberadaan kebudayaan Madura tentu manusia Madura sendiri, akan tetapi realitas kongkriet di lapangan hamper sebagian besar manusia Madura telah melupakan warna kebudayaannya sendiri, mereka telah lebih bangga memakai baju kebudayaan yang diadopsi dari luar, bahkan kadang dengan sangat lantangnya mereka banyak yang mengklaim bahwa budaya local sudah sangat klasik dan tidak relevan dengan perkembangan zaman, sehingga banyak diantara kita yang sangat gugup bahkan sangat ketakutan untuk menampakkan nilai kemaduraan di bumi Madura sendiri, apalagi ketika mereka sedang berada di luar Madura. Dari persoalan ini saja sangat jelas bahwa betapa nasionalisme kemaduraan kita masih relative rendah.

Dalam bahasa yang lain masalah di atas merupakan bagian dari pembunuhan karakter budaya Madura,  seorang Ibnu Hajar pernah memberikan gambaran tentang terjadnya kemerosotan budaya di Madura yang diakibatkan oleh pembunuhan karakter, menurutnya, telah terjadi pembunuhan karakter budaya di Madura, yang memperihatinkan hal tersebut malah dilakukan oleh orang-orang Madura sendiri, kita sendiri sadar sejak dahulu kepada orang tua kita biasa memanggil “Eppak, Embuk, Kaeh, Jujuk dan sejenisnya”, tapi sekarang banyak orang yang alergi dengan panggilan tersebut sehingga dirubah menjadi “Papa, Mama, dan sejenisnya”, inilah potert manusia Madura yang sudah mulai alergi dengan produk kebudayaannya sendiri.

Lantas apa saja peran KKM dalam melakukan pembenahan-pembenahan revitalisasi kebudayaan Madura disegala lini?, seperti yang kita ketahui, ada banyak agenda yang telah dan akan digelar dalam kegiatan KKM, mulai dari pembahasan manusia Madura sampai pada pemberdayaan potensi budaya Madura –yang konon katanya kaya dengan aneka kebudayaan-, baiklah mari kita coba menganalisis secara sederhana berbagai agenda yang dibahas dalam KKM tersebut.

Pertama, Pembahasan mengenai Gambaran Manusia Madura. sepintas barangkali kita akan mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara manusia Madura dengan manusia luar Madura, namun secara substansial ada perbedaan yang begitu mencolok yang hal ini terjadi akibat adanya stigma bahwa orang-orang Madura adalah orang keras, kejam dan sejenisnya. Persepsi stigmatif ini kemudian menjadi hokum public bagi manusia luar Madura sehingga orang-orang Madura diklaim sebagai sumber kekerasan.

Barangkali kita memang agak kesulitan untuk menghindar dari klaim semacam itu, karena kita sendiri sadar ada banyak kejadian yang dilakukan oleh orang-orang Madura yang mengarah pada perbuatan anarkhisme, kita contohkan saja Carok, di mana-mana ketika terjadi pertikaian atau perkelahian  yang berujung pada pembunuhan  dengan menggunakan senjata Celurit, maka hampir pasti pelakuknya adalah orang Madura, tak ayal klaim tersebut dituduhkan kepada semua manusia Madura, maka lahirlah gambaran sepihak bahwa manusia Madura adalah actor dari beberapa kekerasan yang sering terjadi.

Fakta ini menjadi gambaran awal tentang sosok manusia Madura yang katanya sumber kekerasan, Benarkah yang Demikian itu?. Disatu sisi mungkin harus mengakui ketika orang Madura selalu dituding semacam itu, karena hal itu diakibatkan oleh kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang Madura yaitu Carok, Dr. A. Latief Wiyata dalam buku Caroknya mengatakan bahwa meskipun carok merupakan tindakan kriminalitas yang secara hukum formal dan ajaran agama dilarang, tapi carok justru memperoleh justifikasi dan legitimasi secara social budaya, dengan kata lain bahwa carok tidak mempunyai relasi yang signifikan dengan fungsi dan peran hukum formal serta otoritas keagamaan (Carok: P. 227).

Akan tetapi disisi yang lain kita tetap harus menentang terhadap tudingan kerasnya orang Madura, karena hampir semua orang menyadari bahwa pada hakekatnya tidak semua orang Madura melakukan carok, anggaplah pelaku carok hanya segelintir manusia Madura yang menjadi oknom orang Madura tersebut, apalagi kalau kita bahas  sosok manusia Madura secara universal, justru kenyataannya Madura adalah asetnya manusia religius (baca: Kiyai dan Ulama), sehingga sangat tidak etis dan tidak rasional kalau madusia Madura harus dituding sebagai sumber utama terjadinya kekerasan. Bahkan selain itu, terdapat banyak karakteristik positif yang dimiliki oleh orang-orang Madura, kalau kita kilas historis sejak belanda berkuasa orang Madura telah menyandang beberapa karakter positif antara lain petualang, loyal, rajin, hemat, menyenangkan, antusias, dan harmonis (Muthmainnah: Jembatan Suramadu. 29). Nah, persoalannya adalah mengapa karakter dan pola positif yang dimiliki oleh manusia Madura di atas selalu kalah dibalik stereotype negative tersebut.

Bermula dari kenyataan inilah yang pada akhirnya berimplikasi pada menurunnya kredibilitas budaya Madura, artinya hanya karena ada carok sehingga Madura secara keseluruhan menjadi objek tudingan sebagai sumber kekerasan yang telah terjadi dibeberapa daerah di Indonesia. Itulah generalisasi yang kita yakini masih jauh dari unsur objektifikasi.

Kedua: Pembahasan mengenai Potensi Budaya, Bahasa dan Seni Madura. Pada realitasnya kita akui bahwa Madura sangat kaya dengan berbagai potensi budaya dan seni, begitu juga dengan dealek bahasanya yang sebenarnya sangat halus. Hal ini diakui oleh banyak kalangan termasuk beberapa pengamat dari luar Madura yang mengakui terhadap kekayaan kebudayaan di Madura, lantas mengapa KKM harus mengagendakan hal tersebut?, yah bukanlah sesuatu yang berlebihan jika potensi budaya, bahasa bahkan seni Madura harus dikongreskan pada saat sekarang ini, alasannya cukup singkat dan sederhana, yaitu karena semua kekayaan yang telah dimiliki Madura sudah mulai terkikis, bahkan terancam punah.

Coba kita perhatikan, mengapa banyak diantara kita yang melakukan urbanisasi dan imigrasi, ternyata selain factor ekonomi, banyak yang beralasan bahwa Madura kurang produktif dalam banyak hal, sehingga potensi Madura yang seharusnya dilestarikan malah ditinggalakan begitu saja, padahal kalau saja kita mau berapa banyak potensi budaya yang belum sempat kita gali. Ditambah lagi rasa sungkan yang melekat pada orang Madura sendiri untuk mengakui bahasa ibu (Madura), mereka seakan beralasan bahwa bahasa local Madura sudah tidak relevan sehingga mulai dilupakan, padahal betapa sebenarnya bahasa Madura sangat kental dengan nilai-nilai kesederhanaan (Tawadu’), dan kesahajaan, mengapa semua itu harus terkikis begitu saja.

Tidak hanya itu, keberadaan kesenian pun sudah mulai terkurangi, bayangkan Madura yang konon kaya dengan beragam kesenian local mulai dari kesenian tradisional klasik, tradisional kerakyatan, hingga kesenian tradisonal kerasi telah menjadi warna dan cirri khas Madura itu sendiri, akan tetapi telah terjadi kesenjangan dan pergeseran yang cukup luar biasa, dari menikmati kesenian local hasil produk sendiri malah lebih senang meangadopsi kesenian luar dengan segala keberagaman moderenisasinya. Tak ayal jika Musik Saronin, Lodruk, Macopat, Tandek dan beberapa kesenian local lainnya sudah mulai langka di daerah kita sendiri, padahal andai saja kita mau melestarikan semua bentuk dan jenis kesenian local tersebut betapa kesenian tersebut akan go public jika kita mampu mengkemas dan melestarikannya, karena realitasnya kesenian-kesenian Madura justru mendapat ruang berkesenian yang luas di mata orang luar Madura.

Intinya, Budaya, Bahasa dan kesenian Madura merupakan kekayaan dan potensi yang besar yang dimiliki Madura, yang seharusnya diperhatikan dan dilestarikan sehingga melahirkan satu prinsip bahwa budaya, bahasa, dan seni Madura masih layak untuk kita reaktualisasikan dalam konteks kekinian, untuk kita miliki, gunakan, bahkan disebar luaskan keseluruh penjuru tanah air dan dunia inetrnasional.

Ketiga: Pembahasan mengenai Pendidikan dan Pesntren. Secara geografis Madura yang terdiri dari empat kabupaten (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep) ternyata telah mempunyai kekhasan lokal  yang itu diakui menjadi kekuatan religiusitas orang Madura sekaligus menjadi symbol pendidikan islam. Pesantren adalah symbol budaya yang telah diakui menjadi tradisi pendidikan yang sangat representatif , betapa tidak, kalau kita teropong dalam perspektif historis bahwa sejak berdirinya berates-ratus tahun silam pesantren tetap konsisten dan telah mampu menunjukkan eksistensinya dalam pergulatan pendidikan Indonesia. Tidak hanya itu, keberadaannya sebagai institusi pendidikan islam dipandang telah mampu menjadi salah satu filter menjamurnya budaya luar yang diproduk oleh westernisasi.

Nor Kholis majid dalam bukunya Bilik-bilik Pesantren memberikan visualisasi  kongkriet tentang peranan pesantren dalam sector pendidikan hingga budaya, menurutnya Pesantren adalah salah satu institusi pendidikan yang berhasil mempertahankan nilai-nilai kekhasan klasik pendidikan islam sebagai benteng moral, sekaligus berhasil mengikuti laju perkembangan zaman. Pesantren yang walaupun secara structural menggunakan polarisasi perkembangan zaman, namun secara cultural tugas utamanya tetap mempertahankan nilai-nilai moral serta pendidikan etis. Sehingga kita akan sepakat bahwa benteng moral yang paling efektif adalah pesantren, inilah orientasi perioritas dilahirkannya pesantren sejak dahulu.

Selain membahas tiga tema diatas, KKM juga akan membahas mengenai eksistensi Pemuda Madura dalam konteks kekinian, hal ini menjadi urgen mengingat keberadaan pemuda Madura yang telah terasuki oleh imbas perkembangan zaman, terjadinya perubahan paradigma dikalangan pemuda Madura menjadi sesuatu yang urgen untuk diperbincangkan, termasuk juga pola hidup elitis yang sudah mulai mendarah daging  dikalangan pemuda madura hari ini harus segera dipecahkan bersama-sama.

Secara sederhana kita memahami bahwa transformasi sosial, modernisasi dan globalisasi telah mampu melahirkan dan merubah segala bentuk kehidupan pemuda Madura. Segala produk kebudayaan yang dilahirkan dari westernisasi dianggap sesuatu yang lebih bagus untuk diadopsi dan ditiru oleh mereka, kecendrungan ini sudah menjadi watak dan karakter dikalangan pemuda Madura. Kita pun akan sering mendapatkan mereka telah lebih bangga menyaksikan kesenian luar ketimbang menonton kesenian local Madura, alasannya mereka mengatakan bahwa kesenian dan kebudayaan local Madura sudah sangat klasik dan tidak gaul. Pemuda yang diharapkan menjadi penerus sejarah ternyata telah mengalami kemerosotan yang begitu dahsyat. Realitas ini menunjukkan bahwa nilai nasionalisme kemaduraan pemuda kita sudah mulai luntur, terutama dalam menjalani hidup masa mudanya. Mereka tidak merasa terkungkung oleh Lobin (tanah tumpah darah) atau dukuh tempat kelahirannya baik dalam mencari pekerjaan penuh berkah untuk menghidupinya, dalam menemukan jodoh setia untuk mendampinginya, maupun dalam mendapatkan permukiman layak untuk tempat menghabiskan sisa hayatnya dengan segala suka dukanya (Prof. Dr. Ir. Mien A. Rifai: Radar Madura 5/3/2007).

Selain itu, Moh. Fauzi Budayawan muda Sumenep juga memberikan gambaran tentang pemuda Madura saat ini, menurutnya fenomina sebagian (besar) kaum muda Madura sudah lebih senang Band dengan gitar dan keybordnya, dari pada menekuni saronen maupun kalennengan, bahkan budaya urban dan pop sudah menjadi gaya hidup kaum muda Madura (Radar Madura: 7/2/2007).

Praktis kita mungkin akan beranggapan bahwa semua fenomina tersebut diakibatkan oleh arus modernisasi yang begitu cepat merambat ke bumi Madura. Konsekuensinya telah mengeksploitasi nilai-nilai budaya masyarakat Madura, ironisnya malah banyak dianatar kita (masyarakat madura) meng-amini terhadap segala produk budaya yang dibawa oleh arus modernisasi tersebut. Apapun alasannya, kita tidak bisa (bahkan tidak boleh) menyalahkan modernisasi tersebut. Sehingga solusinya adalah memantapkan kearifan local yang bisa membendungnya, salah satu contohnya bahasa Madura yang menjadi salah satu unsur penting dari kebudayaan Madura, nyaris tak dipakai lagi dalam kehidupan sehari-hari, padahal dalam konsep kebudayaan  bahasa menunjukkan Bangsa. Kalau hal yang sederhana seperti ini saja sudah dilupakan, apalagi hal-hal yang lebih besar. Ketika seperti ini terjadi, penulsi jadi ingat pada bahasa salah satu iklan yang mengatakan Tanya Kenapa?.

KKM: Mimpi Nasionalisme dan Revitalisasi Budaya

Kongres Kebudayaan Madura (KKM) merupakan langkah positif yang visionir demi eksistensi dan perkembangan kebudayaan Madura kedepan, selama ini kebudayaan Madura hampir tidak pernah disentuh oleh orang-orang Madura, apalagi oleh orang lain (Dr. A. Latief Wiyata: Radar Madura 5/3/2007). Dengan KKM kita berharap bisa melihat konvigurasi kebudayaan kita dewasa ini dan menyiapkan strategi kebudayaan untuk masa depan masyarakat Madura yang lebih baik dalam berbagai aspeknya (Djamal D. Rahman: Radar Madura 5/3/2007). Kongres Kebudayaan Madura (KKM) diharapkan mampu mengidentifikasi potensi dan kendala pengembangan SDM Madura, hal itu merupakan moment tepat untuk menentukan arah pendidikan yang sesuai dengan budaya Madura (Prof. Sukur Ghazali: Radar Madura 5/3/2007).

Itulah sebagian harapan dari sekian banyak harapan yang ditumpuhkan pada pelaksanaan KKM, disadari atau tidak semua harapan di atas merupakan mimpi ideal  untuk terciptanya sebuah iklim kebudayaan Madura yang asri dan sesuai dengan cita-cita adiluhung. Paling tidak semua stetment di atas merupakan representasi dari harapan besar masyarakat Madura secara umum untuk melahirkan kembali serta menyiapkan strategi kebudayaan yang prospektif.

Kalau kita coba tarik ke akar persoalan diadakannya KKM tersebut, ternyata kita akan menemukan point penting yang menjadi dasar KKM itu, yaitu minimnya apresiasi dan sentuhan terhadap kebudayaan local Madura, ironisnya itu malah dilakukan oleh orang Madura sendiri. Rasa kepercayaan untuk mengangkat nilai-nilai kebudayaan local Madura ternyata sangat minim, sehingga semua iu mengakibatkan hilangnya autentisitas kebudayaan local Madura, bahkan kekayaan budaya local Madura yang dulu katanya sangat beragam kini sudah mulai langka.

Dari permasalahan di atas, pada akhirnya kita akan menmukan benang merah bahwa akar persoalan yantg krusial yang tengah melanda masyarakat Madura saat ini adalah minimnya nasionalisme kemaduraan yang dimiliki masyarakat Madura sendiri. Secara factual kita sudah dapat membuktikan betapa hampir sebagian besar masyarakat Madura sudah tidak lagi memperhatikan eksistensi serta masa depan kebudayaannya. Mereka sudah lebih bangga mengadopsi kebudayaan luar sebagai salah satu produk modernisasi. Selain itu, ragam kesenian yang dimiliki Madura juga sudah tidak mendapat ruang apresiasi dari masyarakat Madura sendiri, mereka lebih senang menonton berbagai kesenian yang diimpor dari luar. Yang tak kalah krusialnya adalah bahasa ibu (Madura) yang konon diakui sebagai cirri khas eksistensi Madura, sekarang sudah mulai langka dan bahkan orang Madura sudah alergi dengan bahasa tersebut.

Segala persoalan tersebut diharapkan bisa dijawab secara tuntas oleh KKM, KKM adalah mimpi ideal masyarakat Madura demi lahirnya nasionalisme kemaduraan yang kokoh. Segala apa yang dihasilkan dalam KKM tersebut akan menjadi acuan serta gambaran kebudayaan masa depan. Se;lain itu, juga diharapkan menjadi point penting  bagi revitalisasi kebudayaan Madura, yang pada akhirnya  akan ditemukan akar kebudayaan Madura yang humanis dan aplikatif, sehingga munculnya pertanyaan untuk apa dan untuk siapa KKM itu digelar, akan menemukan jawaban kongkriet di kemudian hari. Amien.

Santri dan Tantangan Transformasi Global

Santri dan Tantangan Transformasi Global
Oleh: Ahmad Wiyono

Pergulatan zaman, kecanggihan sains dan tekhnologi, serta derasnya gelombang transformasi multi deminsi tentunya akan mempuyai pegaruh tersendiri terhadap kehidupan santri, hal ini sudah tidak dapat kita pungkiri lagi sebab kemajuan tekhnologi lebih-lebih informasi telah berhasil masuk dan berkembang di dunia santri, karena yang jelas santri yang notabeni merupakan komunitas belajar (penuntut ilmu) juga merasa perlu untuk mengkonsumsi segala bentuk informasi baik yang dari dalam maupun dari  luar, demikian pula pesantren yang secara factual merupakan institusi yang mengfasilitasi komonitas santri juga tidak bisa memfilter secara utuh masalah tersebut, sehingga pada puncaknya santripun tidak sadar bahwa segala bentuk informasi yang telah di adopsinya merupakan ekspansi penjajahan implitif untuk mengeksploitasi budaya kesantrian itu sendiri.

Dalam pandangan spesifik, implikasi  atau pun dampak yang timbul terhadap sosok santri yang disebabkan oleh arus informasi memang tidak begitu Nampak, karena santri masih terkoptasi oleh aturan main pesantren yang ada, namun pada esensinya prilaku serta gaya hidup santri (baca yang terpengaruh) perlahan tapi pasti telah mengarah pada proses penurunan nilai-nilai kesantrian, contoh kecil misalya seorang santri yang mengidolakan seorang selebriti, maka dia cenderung meniru bagaimana prilaku serta gaya hidup dari yang di idolakan dan di idamkanya tersebut.

Coba kita bayangkan beberapa waktu yang lalu betapa kehadiran sosok F4 di dunia pesantren telah mampu mengobok obok kehidupan santri baik dari penampilan, asesoris, gaya hidup dan lain sebagainya, selain itu kehadiranya telah berpengaruh terhadap pola konsumtif yang realtif tinggi, dalam artian akibat memprofilkan bintang tersebut bayak santri yang berlomba-lomba membeli poster, buku, kaos, dll yang kesemuanya bergambar bintang tersebut. satu lagi yang tak kalah krusialnya yaitu ketika santri telah terhipnotis dengan lagu-lagu india.  “my darling I love” misalnya, lagu yang bertajuk bahasa Inggris ini berhasil masuk dalam kehidupan santri, fenomena tersebut sudah tidak dapat kita pungkiri lagi sehingga siyalemen yang muncul kemudian adalah santri tidak lagi disibukkan untuk menghafal muhradat-muhradat, membahas tensis atau mendiskusukan tentang gender, vaminisme dan lain sebagainya, akan tetapi santri lebih disibukkan untuk mengahafal syair dari lagu-lagu tersebut, jika siyalemen di atas memang benar betapa naïf nasib santri saat sekarang ini.

Menurut hemat penulis, santri sebagai komonitas belajar (penuntut ilmu) seharusnya bersikap selektif di dalam mengadopsi segala bentuk informasi dan budaya luar yang masuk ke dunia pesantren. Jika kita lihat secara luas, dekadensi moral yang melanda generasi muda saat sekarang ini hampir seluruhnya di sebabkan oleh masuknya budaya luar yang kemudian langsung dikonsumsi tanpa adanya obsevasi lebih jauh.

Menipisnya budaya ke santrian, jika kita komparasikan dengan situasi dan kondisi budaya madura yang kian termarginalkan oleh budaya lain (luar Madura) teryata kesenjangan tersebut disebabkan oleh adanya pembunuhan karakter budaya, dan yang paling ironis pembunuhan tersebut malah dilakukan oleh orang Madura sendiri seperti yang pernah di ungkapan oleh Drs. IBNU HAJAR M SI, bahwa untuk mencari akar kebudayaan yang humanis dan aplikatif orang Madura harus melepaskan sikap gengsi yang tak beralasan (seminar budaya PC PMII sumenep 20 feb 2003). demikian pula santri yang identik dengan budaya kesantrian (islami) teryata telah mengalami dekaradasi budaya yang hal itu disebabkan oleh adanya pembunuhan karakter budaya yang malah di likukan oleh santri sendiri, mereka berasumsi bahwa budaya kesantrian merupakan budaya klasik, konservatif, tidak relafan dengan perkembangan zaman, dan lain sebagainya  

Berbagai asumsi miring di atas dalam satu sisi kayaknya memang perlu di maphumi, namun disisi yang lain wajib  untuk dikritisi bersama karena yang jelas asumsi-asumsi tersebut lahir akibat keteledoran santri yang teryata lebih memihak terhadap perkembangan saman, modemisme, (lebih-lebih) westernisasi yang dalam pandangan mereka hal itu lebih indah menarik dan lebih asik, padahal andai saja mereka (santri) mengetahui bahwa merekalah sebenarnya objek prioritas dari pada masuknya budaya-budaya tersebut, dalam artian santrilah yang akan di jadikan tumbal oleh budaya itu sendiri, sungguh malang nasib santri yang tidak sadar bahwa ada belati dusta (misi munafik) yang dibawa oleh westernisasi dan modernisasi tersebut.  

Diskripsi menarik sebagai kongklusi sederhana dari wacana empirik di atas adalah bahwa eksistensi santri saat sekarang ini mengalami pergeseran nilai-nilai kesantrian yang hal itu di sebabkan oleh bebasnya informasi yang masuk ke dunia santri, selain itu terjadinya pembunuhan karakter budaya yang dilakukan oleh santri sendiri. oleh karena itu solusi alternative yang dapat menulis tawarkan adalah selektifitas seorang santri dalam mengadopsi segala bentuk informasi harus dijadikan komitmen yang kemudian dapat diaplikasikan dalam kehidupan. selain itu santri harus bisa menelaah konsekuensi krusial dari pada masuknya budaya budaya luar tersebut. dan juga pembunuhan karakter yang menggakibatkan sifat gengsiisme yang tak beralasan sudah saatnya dibuang jauh-jauh dalam kehidupan santri.

Menyoal Program BKM


Menyoal Program BKM
{Telaah Kritis terhadap Upaya Politisasi Pendidikan}
Oleh: Ahmad Wiyono

Beberapa waktu yang lewat pemerintah RI kembali mengeluarkan kebijakan baru berupa pemberian Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) yang dialokasikan kepada kurang lebih 400.000 mahasiswa diseluruh Indonesia yang dalam pemahaman pemerintah terkategori sebagai mahasiswa dari keluarga miskin, idealnya bantuan ini tidak jauh berbeda dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang telah digulirkan lebih awal kepada pendudk miskin di Indonesia, yang secara factual hanya akan didapat oleh mahasiswa yang betul-betul tergolong pada kelas ekonomi menengah kebawah.

Ada banyak versi yang terus mencuak seiring dengan dilahirkannya kebijakan tersebut, hal ini jelas sesuatu yang wajar karena saat ini Indonesia baru saja dihadapkan pada persoalan besar yang praktis menjadi berita buruk bagi bangsa Indonesia. Keputusan dinaikkannya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan isu besar yang akan terus actual sekaligus menyedihkan bagi bangsa Indonesia, maka sangat wajar jika keputusan untuk memberikan bantuan khusus kepada mahasiswa akan terus menuai protes bahkan penolakan dari berbagai elemin masyarakat.

Kabar terbaru barangkali bisa kita potert dari gerakan aktifis mahasiswa Jember yang jelas-jelas menolak program BKM tersebut. Kedatangan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) ke kabupaten Jember beberapa waktu yang lalu disambut aksi demonstrasi besar-besaran oleh beberapa elemen mahasiswa, tujuannnya tidak ada lain kecuali hanya untuk menyatakan sikap bahwa mereka menolak dengan tegas kebijakan pemerintah untuk memberikan BKM, karena para mahasiswa menilai kebijakan itu justru hanya akan mengkebiri konsistensi gerakan mahasiswa, bahkan dalam bahasa yang agak kasar program tersebut dikeluarkan hanya sebagai upaya pemerintah untuk membungkam suara lantang mahasiswa dalam memperjuangkan nasib rakyat ditengah gejolak kenaikan BBM (Sindo, 29 Mei 2008).
Itu hanyalah contoh kecil dari beberapa kejadian factual yang telah terjadi dibelahan Nusantara ini, gerakan aktifis mahasiswa di Jember hanya gambaran kecil bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut sangatlah tidak realistis bahkan terkesan kaku.

Dapat kita bayangkan, ditengah carut-marutnya kondisi perekonomian bangsa, termasuk menderitanya rakyat akibat naiknya harga BBM, lagi-lagi pemerintah malah mengeluarkan kebijakan tentang BKM, pertanyaannya adalah apakah kebijakan ini memang betul-betul murni upaya pemerintah dalam meringankan mahasiswa yang tergolong miskin, atau jangan-jangan semua itu adalah upaya konspiratif untuk menghentikan gerakan mahasiswa dalam menyuarakan kebebasan  serta kemerdekaan rakyat ditengah naiknya harga BBM, atau sederhananya ini adalah pengalihan isu untuk membendung gejolak massa.

Tulisan singkat ini akan mencoba menganalisis secara gamblang diskursus tersebut, Pertama: kita awali dengan mencoba melihat kondisi riel masyarakat Indonesia pasca dikeluarkannya kebijakan naiknya harga BBM, secara konseptual keputusan itu didasari oleh adanya pertimbangan untuk menyelamatkan APBN, karena naiknya harga minyak mentah dunia sekian persen per-barel, sehingga mau tidak mau harga BBM harus dinaikkan. Pertimbangan lain subsidi BBM yang diberikan pemerintah selama ini secara factual tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh masyarakat akar rumput, justru banyak dimanfaatkan oleh kalangan elit, maka dalam upaya objektifikasi subsidi BBM tersebut pemerintah harus mencabut subsidi BBM yang berimplikasi pada dinaikkannya harga BBM, yang idealnya subsidi yang dicabut tersebut akan tersalurkan secara tepat, objektif kepada masyarakat yang betul-betul berhak menerimanya.

Kedua: Konsep utama pemerintah untuk melakukan objektifikasi penyaluran subsidi  BBM yang telah dicabut itu, maka diputuskanlah  pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT jilid II) kepada masyarakat miskin. Lagi-lagi secara konseptual upaya ini dalam rangka memberikan bantuan secara objektif kepada masyarakat tidak mampu, sehingga mereka yang betul-betul membutuhkan akan secara langsung merasakan bantuan tersebut.

Ketiga: Kita mencoba mengkaji secara kritis kedua konsep di atas setelah direalisasikan di Negara tercinta ini. Fakta berbicara, ternyata yang terjadi di lapangan malah tidak sesuai dengan yang diharapkan, dari awal rencana realisasi kebijakan tersebut telah menuai kontroversi dari level masyarakat bawah hingga tingkat elit, hal itu disebabkan oleh karena kebijakan tersebut masih jauh dari harapan masyarakat. Pencabutan subsidi BBM yang kenudian diproyeksikan untuk diberikan secara langsug dalam wujud BLT justru menyusahkan rakyat sendiri. Bayangkan BLT yang direncanakan akan segera dicairkan malah menuai protes, fakta dibawah banyak BLT yang masih ditahan oleh petugas, akibatnya masyarakat bergejolak dan berimbas pada munculnya konflik di tingkat bawah.

Akibat dari persoalan tersebut, maka terjadilah gelombang aksi demonstrasi yang terjadi diseluruh pelosok nusantara, mulai dari masyarakat biasa hingga kalangan mahasiswa memprotes bahkan mengecam kebijakan tersebut, tidak hanya itu, tindakan anarkhis juga tak bisa dihindari seperti pembakaran poster Presiden dan wakil Presiden yang menjadi symbol kekesalan terhadap orang nomor satu di negeri ini yang dianggap telah bertindak semenah-menah, ujungnya terjadilah penangkapan bahkan penganiayaan terhadap aktifis demonstran oleh aparat keamanan.

Nah, ditengah santernya isu kecaman dan gelombang aksi penolakan terhadap kebijakan  pemerintah tersebut, secara tiba-tiba pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan bantuan kepada mahasiswa berupa BKM sebagai salah satu upaya objektifikasi penyaluran subsidi BBM, maka kontan kenyataan tersebut langsung menuai kontroversi yang luar biasa dari kalangan mahasiswa sendiri, karena hal itu justru melahirkan persepsi miring berupa indikasi “pembungkaman” mahasiswa yang selama ini ada di barisan depan untuk mengecam pemerintah. Logikanya ketika mahasiswa sedang hangat-hangatnya membela hak-hak rakyat, mereka malah akan digelontor bantuan uang yang dicurigai untuk menghentikan gerakan mereka.

Inilah realitas yang sangat mengecewakan yang telah dilakukan oleh penentu kebijakan negeri ini,  satu langkah yang sama sekali tidak realistis untuk dilakukan oleh sebuah negeri sebesar Indonesia. Pemebrian secara langsung kepada mahasiswa  sama artinya membuka celah kepada mahasiswa  untuk menjadi mitra perselingkuhan dalam rangka memuluskan rencana realisasi kebijakan pemerintah tersebut. Maka secara tegas bahwa bagi kalangan akademis dapat kita tafsirkan dan rasionalisasikan bahwa kebijakan tersebut merupakan “ide gila” yang dilahirkan dalam kondisi bangsa yang sedang labil.

Selain itu, pemberian BKM kepada mahasiswa dinilai oleh banyak kalangan bukanlah solusi tepat, sebenarnya yang lebih bijak pemerintah harus berfikir bagaimana membebaskan biayapendidikan terhadap mahasiswa secara sistemik. Pengamat Pendidikan Winarno Surakhmat mengatakan, lebih realistis jika pemerintah menggratiskan SPP bagi mahasiswa yang kurang mampu, karena penggratisan biaya kuliah mahasiswa jauh lebih tepat untuk membantu rakyat miskin dari pada memberikan bantuan langsung kepada mahasiswa lewat program BKM. Selain itu, mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu, lebih pas jika dibantu untuk pembelian buku, karena didasari oleh semakin mahalnya harga buku di pasaran. Maka sangatlah pas jika pemerintah menyalurkan bantuan lebih pada pengadaan buku dengan segala model yang bisa ditempuh. Misalnya mahasiswa yang kurang mampu diberi kupon pembelian buku dan mereka bisa mengambil buku di beberapa took buku yang telah ditunjuk, mereka cukup dengan hanya menukar kupon tadi, selanjutnya pemerintah yang akan membayar seluruh keuangan buku tersebut.

Lantas apakah semua rencana pemerintah yang –konon katanya ideal- sudah mampu menjadi representasi upaya kesejahteraan masyarakat luas, jika ternyata fakta di bawah justru selalu menuai masalah. Pemerintah selalu melahirkan kebijakan yang justru melahirkan kontroversi termasuk kebijakan untuk memberikan BKM. Nah fakta ini sudah cukup menjadi indicator bahwa pemerintah belum siap dalam setiap mengeluarkan kebijakan baru. Disini kita temukan betapa BKM yang secara konseptual dirumuskan untuk membantu mahasiswa miskin, sebenarnya tidak lebih dari upaya licik yang dijadikan senjata untuk melindungi pemerintah dari setiap resiko kebijakan yang telah digulirkan sebelumnya. Sekali lagi BKM adalah upaya pembungkaman terhadap suara lantang dan gerakan mahasiswa untuk membunuh dan mematikan ghiroh dan komitmen para mahasiswa itu sendiri.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons