Jumat, 30 Maret 2012

A. Haidar Jawis Syarqi Wiyono Putera

Kamis, 29 Maret 2012

Melek Informasi

Melek Informasi
Oleh: Ahmad Wiyono

Adalah Ruang Belajar Masyarakat (RBM) yang merupakan bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang terus getol meng-kampanyekan melek informasi terhadap masyarakat luas

Alfin Tofler, seorang Fotorolog terkemuka pernah mengatakan, barang siapa yang menguasai informasi, maka ia akan menggenggam dunia, satu pernyataan yang menggambarkan betapa sangat pentingnya sebuah informasi dalam kehidupan manusia, sehingga oleh Tofler diibaratkan mampu menggenggam dunia bagi manusia yang menguasai informasi.

Tentu bukanlah hal yang sederhana dalam memaknai “penguasa informasi”, ada banyak konotasi definitf terkait sang penguasa informasi tersebut, tapi setidaknya makna penguasaan informasi disini adalah keterlibatan kita sebagai mahluk Tuhan dalam setiap decade perubahan dan kemajuan zaman yang ditandai dengan merebaknya produk tekhnologi informasi.

Kalimat sederhana yang mungkin lebih mudah untuk kita ungkapkan adalah seseorang yang dikategorikan penguasa informasi adalah manusia yang tidak gagap terhadap berbagai produk dan kecanggihan tekhnologi informasi yang hampir setiap detik terus mengalami inovasi.

Bukankah kita sudah menyadari bahwa hampir semua informasi yang masuk dan mewarnai gerak hidup manusia selalu mengalami perkembangan, dan setiap perkembangan itu selalui diawaali dari berkembangnya produk tekhnologi informasi itu sendiri, maka wajar jika ada yang mengatakan bahwa saiapun yang menguasai informasi pastilah dia paham tekhnologi.

Tuntutan meguasai informasi saat ini tidak hanya terbatas pada kalangan masyarakat terpelajar yang ada di perkotaan, atau hanya bagi masyarakat yang stratifikasi sosialnya secara ekonomi menengah ke atas, akan tetapi tuntutan untuk melek informasi sudah merambah keseluruh masyarakat di saentero bumi nusantara ini.

Hal ini menunjukkan bahwa segenap lapisan masyarakat yang ada di pelosok-pelosok desa sudah diharuskan bisa mengakses informasi sesuai dengan kemampuan dari masyarakat itu sendiri. Meski kadang sedikit sekali masyarakat yang punya anemo untuk mengakses informasi itu sendiri. Itulah masalah yang sering kita hadapi.

Adalah Ruang Belajar Masyarakat (RBM) yang merupakan bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang terus getol mengkampanyekan melek informasi terhadap masyarakat luas, hal itu dilakukan sebagai upaya untuk penyetaraan konsumsi informasi terhadap lapisan masyarakat. semua itu diwujudkan melalui sosialisasi, pelatihan bahkan pada pendistribusian media informasi secara Cuma-Cuma kepada masrakat, yang semua itu dilakukan tidak lain hanya untuk merangsang kemauan masyarakat untuk berubah menjadi masyarakat yang cerdas.

Memang bukan hal yang mudah untuk merealisasikan idealisme tersebut. Apalagi problem utama adalah paradigma masyarakat yang masih apatis terhadap perkebangan zaman, akan tetapi tidak ada yang tidak mungkin jika semuanya konsisten dengan iktikat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sudah waktunya kita arahkan masyarakat kita menjadi masyarakat yang cerdas dan melek terhada informasi. Amien.

Mengenang Kubang Dikal






Rabu, 28 Maret 2012

Membangun Budaya Santun Dalam Gerakan Aksi Demo

Membangun Budaya Santun Dalam Gerakan Aksi Demo
Oleh: Ahmad Wiyono

Menjelang kenaikan harga Bahan bakar Minyak (BBM) yang sudah hampir pasti diberlakukan per 1 pril 2012 mendatang, gelombang aksi penolakan terus bergulir dari pusat hingga daerah. Beberapa pusat pemerintahan seperti kantor Wakil Rakyat hingga kantor pejabat Eksekutif terus dikepung ratusan massa dari berbagai elemin. Gejolak aksi itu sebagai symbol keglisahan rakyat terhadap kebijakan pemerintah tersebut.

Ada banyak model aksi yang telah dilakukan oleh massa tersebut, mulai dari aksi simpatik hingga aksi yang mengarah pada anarkhisme. Jelas secara naluri semua itu merupakan wujud pelampiasan rakyat atas kebijakan pemerintah yang diyakini akan menyengsarakan rakyat kecil.

Beberapa waktu yang lalu, ada peristiwa mengejutkan di Kabupaten Pamekasan, yaitu peristiwa Robohnya Pagar Beton Kantor DPRD Pamekasan itu ketika sekelompok mahasiswa melakukan aksi demonstrasi ke gedung DPRD Kabupaten Pamekasan, kericuhan pun nyaris mewarnai kegiatan aksi. Jumlah peserta aksi yang relative besar tak sebanding dengan jumlah aparat yang menjaga perjalanan aksi, tak ayal bemtrokan pun takdapat dibendung. Motifnya sangat sederhana yaitu hanya karena polisi melarang demonstran masuk ke areal gedung DPRD. Kondisi ini menyulut emosi para demonstran, sehingga pintu gerbang utama kantor DPRD Pamekasan dijebol oleh ratusan massa tersebut.

Fakta seperti ini selalu kita temui dalam setiap kegiatan aksi demonstarsi yang dilakukan oleh beberapa elemen aktifis mahasiswa, padahal kita tahu bahwa para demontrans sebagian besar merupakan kelompok intlektual dam masyarakat akademis yang punya kemampuan analisa yang tajam serta nalar kritis yang luar biasa yang seharusnya bisa menakar secara proporsional dampak negatif dari kegiatan aksi yang diwarnai kericuhan tersebut.

Setidakya mahasiswa bisa melakukan analisa social, apakah kegiatan aksi yang dilakukan oleh mahasiwa tidak mengganggu terhadap masyarakat luas. Ketika sikap anarkis dilakukan dalam kegiatan aksi yang diwujudkan dalam bentuk bakr ban dan memblokade jalan misalnya dengan tanpa berfikir bahwa banyak masyarakat kita yang juga berkepentingan dengan jalan yang kita lalui tersebut.

Belum lagi kerugian materi yang diakibatkan oleh tindakan anarkhis mahasiswa tersebut, bias kita bayangkam berapa banyak fasilitas umum yang rusak menjadi objek kebrutalan massa, ditambah lagi korban manusianya, tidak sedikit mahasiswa bahkan aparat yang terluka hanya gara-gara tindakan anarkhis tersebut. Logika sederhana yang buisa kita gunakan hari ini adalah kalau mahasiswa melakukan aksi demo dalam rangka memperjuangkan rakyat, lantas kenapa harus merusak fasilitas umum milik Negara yang notabeni itu semua dibeli dari uang rakyat. Apakah tidak menutup kemungkinan justru itu semua akan menyengsarakan rakyat.

Disinilah kemudian, mahasiswa juga diharuskan mempunyai kecerdasan berbudaya, adat ketimuran mengajarkan kita untuk selalu santun kepada setiap orang yang secara langsung ataupun tidak langsung berkomunikasi dan berinteraksi dengan kita, maka perlu kiranya mahasiswa berbenah untuk merubah pola gerakan yang selama terkesan selalu merugikan orang banyak akibat anarkisme dan kericuhan dalam setiap aksi yang mahasiswa lakukan.

Sebagai masyarakat akademis seyogyanya kita berfikir substantive dan detil, bukankah roh dari kegiatan aksi adalah medium untuk mneyampaikan aspirasi kepada pihak tertentu, lantas pertanyaannya sekarang jika aspirasi bisa kita sampaikan secara halus dan santun mengapa harus menggunakan jalan kekerasan dan anarkhisme?.

Maka sekali lagi, berbudaya santun adalah cara paling utama untuk merevitalisasi roh gerakan mahasiswa yang selama ini nyaris diklaim negtif oleh masyarakat akibat kericuhan yang selalu mewarnai dan merugikan masyarakat itu sendiri. Kita sadari bahwa gelora darah mahasiswa memang sangat luar biasa sehingga kadang tindakan yang dilakukan cendrung tidak realistis hanya karena mempertahankan satu prinsip yaitu Idealisme. Namun demikian tidak bisa kita pungkiri bahwa mahasiswa juga mempunyai tanggung jawab besar untuk memberikan pendidikan yang sehat kepada masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat terhadap gerakan mahasiswa tidak akan ternodai hanya karena ulah mahasiswa itu sendiri. Saatnya kita berdemonstrasi dengan budaya santun. Santun kepada masyarakat, santun kepada lingkungan. Katakan tidak pada anarkhisme

Memepertegas (Kembali) Pamekasan Sebagai Kabupaten Pendidikan

Memepertegas (Kembali) Pamekasan Sebagai Kabupaten Pendidikan
Oleh: Ahmad Wiyono*

Meski merupakan ide lama yang hari ini kembali diaktualisasi, namum perbincangan masalah Pamekasan yang di-idealisasikan menjadi sebuah kabupaten pendidikan dimadura, nampaknya terus mendapat perhatian serius serta apresiasi luar biasa dan berbagai pihak, mi menjadi indikasi kuat bahwa cita-cita tersebut bukanglah hanya harapan semu yang tidak bervisi apa-apa, akan tetapi lebih dari itu merupakan bagian dan idealisme yang akan segera direalisasikan secara nyata.

Sejak dahulu, Ada banyak hal yang telah dilakukan oleh berbagai pihak -baik tingkat akademisi, praktisi, dan yang lain- untuk mempersiapkan realisasi rencana tersebut, mulal dari penyusunan konsep sampai pada strategi actionya. Salah satu hukti upaya kongkret yang telah dilakukan oleh sebagian kalangan adalah digelamya Rembug Nasional dan Pra Kongres Forum Komunikasi Mahasiswa Pamekasan Seluruh Indonesia (FKMPSI) di yogyakarta beberapa wàktu yang lewat, -terlepas dan pertanyaan mengapa kegiatan mi diietakkan di yogyakarta- yang jelas pertemuan ini dirnaksudkan sebagai media representatif umtuk melahirkan konsepsi bersama serta merumuskan berbagai hal yang menyangkut persiapan Pamekasan menjadi Kabupaten pendidikan. Meski kegiatan ini hanya digagas oleh kalangan mahasiswa, namun apresiasi dari kalangan lainnya cukup luar biasa, terbukti dari sekian pesenta yang hadir pada saat itu terdapat banyak para akademisi, bahkan politisi dan lain sebagainya yang diyakini mereka punya kepedulian kuat terhadap pendidikan Pamekasan.

Sesuai dengan grand tema yang diusung waktu itu “Mempertegas Pamekasan Sebagai Kota Pendidikan” gagasan yang kemudian diinunculkan adalah bagaimana Kabupaten Parnekasan yang diyakini telah menjadi “kiblat” pendidikan madura mampu segera berbenah diri untuk lebih memperbaiki eksistensinya kearah yang lebih bennutu. Penulis mengatakan demikian, karena sejak awal kita sudah tahu bagaimana keberadaan pendidikan Pamekasan dimata madura, bahkan secara prestisius pendidikan di pamekasan memang sudah mendapatkan image yang bagus dari kalangan masyarakat madura secara umum. Sàlah satu contoh sederhana yang sering muncul adalah ketika anak-anak Sumenep bersekolah atau kuliah dipamekasan, maka mereka mendapatkan sanjungan dari masyarakat sekitar ketimbang sekolah atau kuliah di daerah sendiri atau ke daerah lain (baca: Kabupaten lain) selain Pamekasan di madura, nah, maka mimpi ideal ini dipandang sangat pas dan cocok dengan kondisi tersebut sehingga kita dengan mudah untuk menerjemahkan idealisasi tersebut.

Tidak hanya itu, berbagai prestasi yang sempat diraih oleh putera-puteri Pamekasan beberapa waktu yang tewat lewat sudah menjadi alasan kuat mengapa harus Pamekasan yang layak menjadi Kabupaten pendidikan, secara performent ini sudah sangat cukup menjadi modal keberadaan pendidikan dipamekasan. Akan tetapi satu hal yang perlu diingat bahwa ketika berbicara Pendidikan baik nasional lebih-lebih local Pamekasan, maka kita secara otomatis telah berbicara kebijakan, maka dalam konteks inilah keberadaan sarana dan infrastruktur pendidikan di pamekasan harus lebih siap dan lebih lengkap dari kabupaten lainnya di madura, termasuk kebijakan pemerintah dalam mem-back up pembiayaan pendidikan harus betul-betul maksimal.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah, sejauh mana peran pemerintah dalam melahirkan kebijakan dibidang pendidikan?, seberapa besar pula partisipasi pemerinntah daerah (PEMDA) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan melalui optimalisasi bantuan pembiayaan pendidikan?. Kalau selama mi ada sinyalemen bahwa anggaran belanja dibidang pendidikan di pamekasan sudah mencapai lebih dari 40°/o, yang hal mi sudah melebihi anggaran minimal pendidikan secara nasional, namun sekarang kehkawatiran yang muncul adalah: benarkah, dan objektifkah realisasi anggaran tersebut. Terlepas dan benar dan tidaknya hal tersebut yang terpenting sekarang adalah bagaimana meningkatkan kometmen kesadaran bersama, dan yang teipenting bagaimana meningkatkan optimalisasi peran pemerintah daerah terhadap upaya penerjemahan cita-cita luhur diatas, artinya bahwa logika positivisme harus kita gunakan sehingga tidak akan melahirkan masalah lain yang hanya akan menghambat proyeksi pendidikan tersebut, karena bagaimanapun cita-cita “Kabupaten Pendidikan” dibumi Gerbang Salam harus betul-betul kita perjuangkan.

Stelah beberapa lama mencuat kepermukaan, fakta lain berbicara, Upaya Untuk menjadikan Pamekasan sebagai kabupaten Pendidikan nampaknya mulai bergeser seiring bermunculannya beberapa icon baru di Kabupaten pamekasan, seperti Kabupaten batik yang mulai popular sejak pamekasan mendapat rekor Muri. Mimpi untuk menjadi kabupaten Pendidikan pun sudah mulai hilang pada waktu itu.

Namun demikian, semangat untuk mejadikan pamekasan sebagai kabupaten Pendidikan nampaknya tetap tumbuh subur dari benak masyarakat pamekasan (baik yang ada di daerah maupun yang ada di rantau), sehingga mimpi itu pun kembali disulam tepatnya terjadi pada akhir tahun 2010. bak gayiung bersambut Pamekasan pun akhirnya resmi (kembali) menjadi Kabupaten Pendidikan setelah dideklarasikan oleh Menteri Pendidikan Nasional Moh Nuh sebagai kabupaten pendidikan pada tanggal 24 November lalu.

Perlunya Karakterisitik
Kekhasan pendidikan menjadi sesuatu yang harus dimiliki oleh pendidikan Pamekasan, mi sebagai satu upaya mempersiapkan kondisi pendidikan yang bermutu, apalagi kita sadar bahwa keinajuan suatu hal salah satunya disebabkan oleh tingginya karakteristik dan suatu hat tersebut, maka inilah yang penulis maksudkan dengan pentingnya karakteristik pendidikan Pamekasan. Apa yang pemah ditulis oleh Uswatun Chasanah (Aktfis Mahasiswa UIN Yogyakarta) tentang perlunya karakteiistik sudah menjadi gambaran kuat bahwa Pamekasan sebagai kabupaten pendidikan harus mempunyai kekhasan local yang lebih kontributif terhadap pengembangan kearifan local itu sendiri, salah satu contoh adalah keberadaan tipoogy masyarakat Pamekasan yang lebih menjunjung tinggi pendidikan agama misalnya (Baca: Radar madura, 08/07), nah dari sini kita hams betul-betul rnemaharni bahwa kondisi riel masyarakat Pamekasan adalah sangat kental dengan tipology tersebut, sehingga strategi yang bisa kita bangun adalah penyeseuaian tipologys serta Iangkah-langkah yang sama sekali tidak kontras dengan hal tersebut, bahkan harus sangat kontributif

Hal mi sangat relevan dengan salah satu rumusan yang dihasilkan dan pleno Rembug Nasional dan Pra Kongres FKMPSI dahulu, yaitu menjadikan model Pendidikan Pesantren sebagal model strategis untuk menciptakan iklim pendidikan yang Iebih berkualitas, kenapa demikian, karena ternyata hamper dari seluruh out put pesantren mampu memposisikan dirinya disegala bidang, artinya bahwa model pendidikan pesantren adalah pendidikan yang lebih menjunjung nilai-nilai ke-agamaan, narnun telah mampu melakukan adaptasi-akumolatiff dengan perkembangan zaman sehingga para lulusannya tidak akan pemah ketinggalan, maka dari sinilah kita tinggal mengawal dan mengarahkan secara proporsional sesuai dengan formulasi yang telah kita hasilkan dan akan segera kita realisasikan.

Tapi yang perlu digaris bawahi adalah bahwa apa yang penulis ungkap diatas bukan dalam rangka menggagas “Pesantrenisasi Pendkiikan” di Pamekasan, atau melakukan distorsi terhadap pendidikan secara umum, akan tetapi itu penulis maksudkan sebagai langkah representatif untuk mewujudkan cita-cita kabupaten pendidikan di-pamekasan yang penulis persepsikan tentang perlunya karakteristik pendidikan, yang hal mi bisa dimulai dengan melakukan penyesuaian terhadap tipology masyarakat yang kalau kita lebih sederhanakan bahwa masyarakat telah lebth banyak paham dan pereaya terhadap pendidikan pesantren.

Kemudian bagaimana ketika ada asumsi bahwa pendidikan Parnekasan terindikasi akan meniru pola pendidikan Yogyakarta? Yah, asumsi itu sah-sah saja disampaikan, dan menjadi sah pula kita menimba pengetahuan pada kota manapun. Tapi yang perlu dipahami adalah kondisi Sosio-Kultur masyarakat madura lebih spesifik masyarakat Pamekasan sangatlah jauh berbeda dengan yogyakarta, sehingga kalau seandainya pendidikan Pamekasan akan meniru pendidikan yogyakarta, maka kemungkinan besar akan sangat kaku dan tidak representatif menghadapi masyarakat Pamekasan. Oleh karena itu, akan menjadi sah juga kalau asumsi tersebut (Baca: Meniru Pendidikan Yogyakarta) kitatepis pada hari mi. Artinya dengan sangat berani kita akan menyatakan bahwa kita akan melakukan banyak hal mempersipkan Pamekasan menjadi kabupaten pendidikan dengan tampa harus mengadopsi pendidikan yogyakarta secara utuh.

Sementara itu, Kalau kita cermati lebih jauh lagi, ada satu cara yang diterapkan oleh pendidikan yogyakarta yang kalau hal mi kita realisasikan dipamekasan maka akan sangat kesulitan, seperti yang disampaikan oleh Alimad Rozaki, M.Si (Desen UGM Yogyakarta) bahwa yogyakarta -termasuk juga malang telah mampu mengkaitkan Isu Pendidikan dengan Isu Pariwisata. Nah dari sinilah kita akan menemukan kejelasan bahwa kita akan menjumpai kesulitan yang luar biasa kalau kita barus mempola pendidikan Pamekasan seperti Yogykarta, karena tidak mungkin menggandeng isu pariwisata untuk pendidikan Pamekasan untuk saat mi. Maka kemudian kita akan sepakat membuaat karakteristik pendidikan Pamekasan dengan tampa hams meniru sepenulmya pola pendidikan yogyakarta ataupun malang dan kota-kota lainnya. maka menurut hemat penulis yang paling efektif dan sangat representatif adalah kita kembali pada gagasan awal yaitu dengan mengaitkan pendidikan Pamekasan dengan isu pesantren atau isu ke-agamaan secara umum.

Ada beberapa hal lagi yang teiah menjadi rumusan sekaligus akumulasi gagasan yang difornulasikan menjadi kesepakatan bersama yaitu, untuk mewujudkan Kabupaten pendidikan di Pamekasan hal penting yang barns diperhatikan adalah urgennya partisipasi masyarakat secara umum, dalam konteks ini Iebih pada pentingnya rneningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pendidikan, karena realitas masyarakat Pamekasan ternyata masih banyak yang tidak paham akan pentingnya pendidikan, bahkan jumlah masyarakat buta huruf dikota gerbang salam mi masih mencapai kurang lebth 40 nbu jiwa, mi masalah yang harus segera diselesaikan, tapi jangan diartikan bahwa persoalan mi akan menjadi tantangan paling berat dalam mewujudkan kota Pamekasan sebagai kabupaten Pendidikan, karena kehawatiran seperti ini hanya akan melahirkan skeptisme yang beriebihan dan jika terus diwacanakan maka hanya akan melahirkan pesimisme yang berlebihan pula.

Ada satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua, yaitu tentang “ironi Pendidikan Pamekasan”. Kurangnya konsistensi dan kalangan birokrasi terhadap pendidikan (termasuk juga akademisi, politisi dan lain sebagainya), dan juga mininmya apresiasi masyarakat terhadap pendidikan ini menjadi dasar pemikiran teijadinya ironi pendidikan di Pamekasan, contoh sederhana misalkan beberapa waktu yang lewat pristise pendidikan Pamekasan terangakat sangat tinggi dengan hadirnya putera-puteri pamekasan menjadi pemenang beberapa olimpiade dan perlombaan Pendidikan dari tingkat nasional sampai pada tingkat inteniasional, akan tetapi pristise itu anjlok dengan tiba-tiba disebabkan oleh terjadinya kasus kriminal carok massal didesa bujur tengah beberapa waktu lalu, sehingga kasus ini mampu menutupi secara utuh pristise Pamekasan dibidang pendidikan. Nah inilah yang penulis maksudkan dengan ironi pendidikan di-pamekasan. Oleh karena itu untuk selanjutnya hal seperti mi harus kita antisipasi sehingga kondisi pendidikan baik secara kualitas maupum secara prestisius mendapat ruang image yang terus positif, sehingga mimpi ideal untuk “menyu1ap” Pamekasan menjadi Kabupaten Pendidikan akan sangat mudah kita realisasikan dalam waktu yang “sesingkat singkatnya“. Maka sudah saatnya kita berikrar “Selamat Pagi Pendidikan Pamekasan”. Wallahu A ‘lam Bisshowab.

Kompensasi, Oh Kompensasi

Kompensasi, Oh Kompensasi
Oleh: Ahmad Wiyono

Beginilah cara Pemerintah untuk "memperdaya" rakyat, disetiap rencana kenaikan BBM, pemerintah selalu menjanjikan kompensasi dari kenaikan BBM itu sendiri. dengan alibi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin, karena proyeksinya kompensasi itu khusus untuk rakyat miskin.

saat ini pemerintah telah menganggarkan kompenasi itu sebesar 25,6 triliun, hal itu diketahui setelah ada kesepakatan antara badan anggaran DPR dengan pemerintah. yang katanya uang itu nantinya akan diberikan kepada jutaan rakyat miskin diseluruh nusantara.

berdasarkan rilis dari beberapa media, dana itu nantinya akan diwujudkan dalam tiga program besar, yaitu Bantuan langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), dan bantuan Pembangunan Infrastruktur Daerah.

sepintas, beberapa kegiatan tersebut memang terlihar sangat strategis dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin, apalagi dengan munculnya peningkatan infrastruktur daerah tersenut, namun demikian ada banyak kecurigaan bhahkan kekhawatiran yang akan muncul pasca digulirkannya program-program tersebut.

kita masih ingat sejarah kelam lahirnya Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai wujud kompensasi kenaikan BBM beberapa tahun yang lewat, yang ternyata justru menjadi mimpi buruk buat rakyat kita, BLT yang dijanjikan pemerintah akan menjadi "dewa" penolong bagi masyarakat miskin justru berbalik arah menjadi petaka yang sarat dengan konfik.

bukan tanpa alasan jika asumsi itu kita berani munculkan, karena pada dasarnya tidak seedikit imbas negatif akibat bergulirnya BLT tersebut, selain realisasinya yang nyaris tidak tepat sasran, aroma pungli pun kadang tidak bisa dihindarkan, meskipun hal ini tidak mudah terungkap secara kasat mata.

Yang lebih parah lagi adalah efek mentalitas, yaitu terciptanya watak cengeng dikalangan masyarakat dengan lahirnya budaya menunggu pemberian dari orang lain, sehingga tidak tertanam semangat berusaha dan berjuang malah sebaliknya. Ini adalah persoalan klasik memang, bahkan banyak sekali orang yang dengan lantang berkata, seharusnya Pemerintah memberikan pancing bukan memberikan ikannya. Terlepas benar dan salah asumsi-asumsi tersebut, tapi yang jelas akibat munculnya BLT beberapa waktu yang lalu masyarakat kita sudah terbius menjadi manusia Indonesia yang tidak “Mandiri”.

Pertanyaan sederhananya adalah, mengapa pemerintah tidak belajar pada sejarah BLT, seharusnya kalau pun toh BBM terpaksa harus dinaiikan, tidak harus dibarengi kompensasi yang justru mendestruktifikasi kemandirian masyarakat kita. Sejak awal banyak sekali program yang berupaya untuk membangun kemandirian masyarakat terutama di desa-desa, namun kenapa hal itu semua justru harus dibayar dengan munculnya program kompensasi yang seakan sangat paradox dengan program kemandirian itu sendiri. Entah siapa yang bisa menjawab semua ini.

Senin, 26 Maret 2012

A. HAIDAR JAWIS SYARQI

A. HAIDAR JAWIS SYARQI
(Kau Lahir, Maka Gemparkan Dunia)

Engkau pun akhirnya lahir menyempurnakan hiruk pikuknya dunia sebagi kholifah. kutitipkan cambuk kecil ini, agar kau mampu taklukkan gunung yang tinggi dan gunung-gunung itupun akhirnya menjadi tak berdaya karena kehebatanmu.

Hari Jum’at, 2 Maret 2012, kata orang adalah hari dan tanggal paling keramat sepanjang sejarah perjalanan Dunia. Siapapun yang lahir pada tanggal tersebut akan menjadi manusia hebat, cerdas dan berguna bagi Agama, nusa dan bangsa. Tapi kau tak perlu bangga dengan ucapan banyak orang, karena bukan hari dan tanggal itulah yang akan membuatmu luar biasa, namun kesungguhanmu kelak yang akan membawamu menggapai semuanya itu.

Setelah genap 3x24 jam, akhirnya kuberi kau nama A. HAIDAR JAWIS SYARQI, tentu bukan tanpa alasan jika nama itu kami sandangkan kepadamu nak, melalui proses yang tidak sebentar nama itu sangat layak untuk kau sandang sebagai calon peminpin yang Sidik, Amanah, Tabligh dan Fathonah kelak.

Secara Harfiah, “Haidar” bermakna “seoarang Pemberani yang mampu berjalan melampuai teman-temanya”, konotasi majasnya haidar berarti Pendekar yang kuat dan tangguh serupa Singa padang pasir bagi Umar Bin Khattab. Sementara “Jawis Syarqi” berarti “jawa timur”. Jika disambungkan A. HAIDAR JAWIS SYARQI berarti “Ahmad Sang Pendekar Jawa Timur”.

Sory nak, bukan dalam rangka melebih-lebihkan, nama itu semata-mata hanya untuk jadi motivasi dan cambuk kepadamu kelak, bahwa kau harus malu jika tak mampu menjadi Pendekar Jawa Timur. Ibumu yang cerdas dan Ayahmu yang punya tekad tinggi akan menjadi saksi sekaligus guru perjalananmu kelak dalam menapaki kehidupan ini.

Yang terpenting lagi nak, Ayah dan Ibumu pernah bahkan sering kelaparan karena perjuangan, maka kelak kau harus berani berdarah-darah demi memperjuangkan sebuah jati diri. Karena dengan itulah idealisme hidup akan bisa kita capai, bahkan karena semua itulah nak, tidak jarang Ayah Ibumu selalu di’wah’kan oleh banyak orang. Bukan sok Hebat nak, tapi begitulah kenyataanya.

Kemandirian dan konsistensi cukup menjadi taruhan leberhasilan sesorang nak, maka jangan pernah sekali-kali kelak kamu bergantung pada orang lain. Jadilah dirimu sendiri. Karena hal itu yang telah dilakukan Ayah Ibumu. Berbanggalah jika kamu makan Nasi Jagung dengan “Buje Minnyak”, tapi itu hasil keringat kita sendiri. Ketimbang makan roti keju hasil pemberian orang lain. Bukan berarti kamu tidak boleh menerima pemberian dari orang lain, tapi jangan sekali-kali itu menjadi watak, justru beriktikadlah untuk selalu memberi kepada orang lain.

Selain itu nak, ayah ingatkan satu Firman Allah dalam salah satu suratnya yaitu “Iqra’”, kutanamkan ayat itu padamu agar kelak kau bisa meniru Nabi kita yang selalu arif dalam membaca kehidupan ini, termasuk mambaca buku-buku yang sudah menghias di kamar ini. Sekedar cerita untukmu Nak, Ayah dan Ibumu sejak dulu paling suka baca, bahkan tak ada waktu terlewatkan sedikitpun untuk bergelut dengan Buku, Majalah dan sebagainya. Intinya nak, Ayah dan Ibumu sangat bangga jika kelak kau betul-betul menjadi kutu Buku, dari pada jadi Kutu beneran.

Nak, tapi ingatlah perkataan Syaf Rizal l Batubara. kelak ketika kau sudah beranjak dewasa bersumpahlah: "jika kau tak mampu membawa Ibumu ke puncak gunung, maka bawalah gunung itu kri Ibumu". doa ayah selalu mneyertaimu....

Demetologi Pendidikan Perempuan

Demetologi Pendidikan Perempuan
Oleh: Ahmad Wiyono*

Wacana Kesenjangan Pendidikan perempuan dengan Laki-laki, pada dasarnya merupakan Metos soial yang sudah tidak relevan jika diwacanakan dalam konteks kekeinian, dizaman yang sudah serba maju ini. Karena Perempuan maupun Laki-laki sama-sama berhak untuk mendapat Pendidikan Yang Layak seperti yang telah diamanatkan oleh UUD 45

Perbincangna masalah perempuan nampaknya akan selalu menjadi perbincanagn menarik, baik dalam forum diskusi ilmiah bahkan pada perbimcangan sederhana yang barangkali hanya dulakukan oleh segelintir orang, hal ini diakibatkan posisi perempuan yang selalu menjadi diskursus ditengah masyarakat.

Konsep domestifikasi perempuan misalnya, acapkali dijadikan alasan untuk menggeser kiprah kaum perempuan dalam struktur sosial. Sehingga tak heran jika hal seperti ini terus menjadi wacana hangat yang sepertinya tidak akan pernah sepi dalam setiap perbincangan.

Dunia Pendidikanpun tidak luput dari rentetan wacana perempuan, persoalan kesenjangan pendidikan perempuan menjadi sesuatu yang terus digulirkan, sehingga mengakibatkan adanya sebuah stratifikasi yang sangat lebar antara pendidikan perempuan dan laki-laki.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah wacana semacam ini hanya merupakan wacana buta yang secara faktual tidak pernah terjadi, atau dalam bahasa lain hal itu digelindingkan hanya untuk menjustifikasi posisi perempuan agar selalu ada dibawah kaum pria, atau jangan-jangan wacana semacam ini justru memang merupakan fakta yang secara tidak sadar sudah dialami oleh kaum perempuan.

Terlepas dari kontroversi diatas, yang jelas ada kemungkinan bahwa kedua asumsi tersebut memang benar, namun demikian untuk membuktikan tingkat pendidikan perempuan di indonesia perlu kita membuka data statistik yang menjadi gambaran kuat akselerasi pendidikan kaum perempuan di negeri tercinta ini.

Menurut data yang ditulis oleh Eka Hamidah (Peneliti SCINIE Bandung), selama pereode 1971-1990 Pendidikan kaum perempuan yang tidak tamat SD dan tidak sekolah turun dari 80,07% 52,90%, sedangkan tingkat partisipasi di sekolah untuk penduduk wanita usia 7-12 tahun pada laporan yang sama menunjukkan angka yang menggembirakan, antara kaum laik-laki dan perempuan tidak berbeda, bahkan sedikit lebih banyak, yakni 91,55% berbanding dengan 91,35% (Seputar Indonesia: 21 April 2007).

Dari data diatas ada kesimpulan sementara yang bisa dijadikan alasan kuat tentang adanya metologi pendidikan perempuan yang hal itu cendrung mendiskriminasikan kaum perempuan, yaitu bahwa pada dasarnya sejak tahun 90-an pendidikan kaum perempuan sudah hampir setara dengan kaum laki-laki, hanya saja stigma yang terus menggurita kaum perempuan megakibatkan terus terpuruknya posisi perempuan dalam bidang pendidikan.

Wacana rendahnya penididkan perempuan pada dasranya merupakan metos soial yang terus bergulir dan mengancam terhadap konsistensi kaum perempuan itu sendiri, maka dari itu langkah cerdas untuk mengikis konsep kesenjangan tersebut merupakan langkah yang harus dilakukan oleh siapa saja –lebih-lebih kaum perempuan itu sendiri-, sehingga metos-metos tersebut dengan sendirinya akan bergeser dan dengan itu posisi Pendidikan perempuan akan terus bangkit dan menyetarai dengan Pendidikan laki-laki.

Bahkan perlu kita garis bawahi, bahwa Dalam konteks islam-pun sudah ditegaskan, bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi pendidikan antara laki-laki dan perempuan, justru pendidikan itu sendiiri menjadi wajib dimliki oleh setiap orang islam baik laki-laki maupun perempuan.

Dasar ini cukup mejadi alsan bagi kita untuk sama-sama menghapus kesenjangan pendidikan tersebut. Maka metologi Pendidikan Perempuan yang menyatakan bahwa perempan masih tertinggal dibanding laki-laki dalam sektor pendidikan harus kita minimalisir dalam upaya menciptakan iklim pendidikan yang setara tanpa harus mempersoalkan jenis kelmain masing-masing, karena sekali lagi laki-laki maupun perempuan sama-sama punya hak dan kewajiban untuk meiliki peniddikan yang memadai.

Memotret Kembali Kesenjangan Pendidikan (2)

Memotret Kembali Kesenjangan Pendidikan (2)
Revitalisasi Tujuan Pendidkan Nasional
Oleh: Ahmad Wiyono*

Menuju bangsa yang cerdas, itulah orientasi dasar dari adanya pendidikan dalam rangka terbentuknya kulaitas Sumber daya manusia Indonesia yang mempuni. Oleh karena itu segala bentuk tindakan amoralisasi-pendidikan yang hanya akan menodai pendidikan harus betul-betul dimusnahakan untuk menyelematkan tujuan .Pendidikan nasional.

Pergolakan Politik yang tak etis menyebabkan wajah pendidikan kita telah mengalami pergeseran paradigma, dari yang normatif menjadi kapitalis. inilah yang harus diwapadai oleh praktisi dan pemerhati pendidikan. Sebab, kapitalisasi pendidikan jelas tidak sesuai dengan idealisme GBHN dalam memeratakan pendapatan pendidikan. Ironisnya ketika berbenturan dengan uang terkadang sikap kritis para praktisi dan akademisi pendidikan menjadi hilang, bahkan justru kebanyakan diantara mereka yang mencari celah (baca: peluang) dengan janji ingin memperbaiki kualitas dan mutu pendidikan dalam mengeksploitasi orang tua siswa. Pendidikan hanya dijadikan lahan bisnis untuk meraup keuntungan. Cukup tragis, lagi-lagi masyarakat miskin yang mejadi korban dan tertindas. Ah pendidikan, barangkali hanya sebuah mimpi yang takterbeli oleh kaum tak bermateri (Raharja:2004).

Memperhatikan nasib pendidikan di negeri ini, kita hanya bisa mengelus dada. Realitas yang paling menyedihkan dari semuanya adalah bahwa pemerintah selama ini terkesan tidak serius memberikan perhatian bagi terpenuhinya pendidikan sesuai dengan amant UUD 1945 dan deklarasi Hak Asasi Manusia. Lebih ironis lagi ketika anggaran pendidikan yang masih minim ternyata banyak mengalami kebocoran yang “kejahatan” tersebut dilakuakn oleh para praktisi itu sendiri (Kadir. Jurnal Edukasi: 2004). Lalu bagaimana mungkin rakyat kecil -yang dalam membiayai hidup rumah tangganya masih saja masihrelatif kurang- akan bisa merasakan manisnya pendidikan?. Pertanyaan ini cukup ambigu dan membingungkan.

Melalui tulisan ini, penulis mengharap loyalitas pemerintah secara kontinuitas mencari solusi alternatif demi memberikan kesempatan bagi masyarakat miskin (secara menyeluruh) memperoleh pendidikan ideal. Barangkali pemeberian besaiswa merupakan jalan satu-satunya yang dapat mengurangi siswa putus sekolah, dan sebisa mungkin memberikan biaya pendidikan secara gratis kepada anak-anak yang tidak mampu dengan harapan bisa menstimulasi sekaligus mencegah anak-anak putus sekolah ditengah jalan. Bahkan kalau perlu disubsidikan.

Pemerintah juga harus bisa membantu (baca: mengatasi) penyelewengan alokasi dana pemdidikan yang disalurkan pada tiap lembaga, yang dalam hal ini rawan dilaukan oleh para pengelola pendidikan itu sendiri, agar biaya pendidikan tidak semakin mencekek masyarakat -orang tua siswa- miskin.

Semua iktikad baik ini hanya meruapakn upaya sederhana untuk mengembalikan paradigma pendidikan kita yang sudah mulai bergeser, setidaknya harapan besar untuk lahirnya generasi penerus bangsa akan terus terwujud melalui pelaksanaan pendidikan yang memadai dan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa ada diskriminasi.

Oleh karena itu, sudah waktunya kita melakukan revitalisisi paradigma pendidikan dengan mengarahkan pada fungsi utama pendidikan serta peran penting pendidikan dalam mencetak generasi masa depan, yang hal ini tentunya akan bisa terwujud melalui kesadaran bersama baik pemerintah, praktisi juga msyarakat secra umum. Sehingga penyelewengan-penyelewengan yang justru akan menodai makna pendidikan akan bisa musnah dari dunia pendidian itu sendiri.

Memotret Kembali Kesenjangan Pendidikan (1)

Memotret Kembali Kesenjangan Pendidikan (1)
Mewaspadai Destruktifikasi Idealisme Pendidikan
Oleh: Ahmad Wiyono*

Masyarakat semakin sadar bahwa diantara sekian banyak kebutuhan hidup manusia, pendidikan merupakn kebutuhan “primer”. Namun demikian tidak semua masyarakat yang mempunyai kesadaran mendapat kesemapatan untuk sama-sama mengenyam nikmatnya Pendidikan yang bermutu Tinggi

Dalam wacana intlektual, Pendidikan diposisikan seperti sentral yang multi fungsi. Pendidikan merupakan impian sekaligus cita-cita bersama. Pendidikan tak hanya sekedar wahana mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, melainkan sarana untuk membebaskan dan memanusiakan manusia. Paulu Freiri pernah mengemukakan bahwa Pendidikan merupakan ikhtiar untuk mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan yang dialami oleh masyarakat, baik dari soal kebodohan sampai ketertinggalan.

Mempertahankan kulaitas pendidikan merupakan keniscayaan. Pendidikan bermutu diharapkan mampu merubah tatanan yang berkebudayaan (biadab) menuju masyarakat yang beradab. Dan hanya orang yang berpendidikanlah yang akan mampu mepertahankan Politik, Sosial, Ekonomi dan Budaya suatu bangsa.

Amanat GBHN, bahwa pendidikan diarahkan untuk memperbaiki kualitas SDM bangsa ini harus dijunjung tinggi, apalagi diantara tujuan awal kemerdekaan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Memang seharusnya pendidikan lebih dititik beratkan pada kecerdasan dan kebebasan otak, semua siswa teridentifikasi bakat, keterampilan, (kreatif) yang memungkinkan mereka menjadi dirinya sendiri.

Hal yang patut dibanggakan adalah semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Mereka yakin bahwa diantara sekian banyak kebutuhan hidup manusia, pendidikan merupakn kebutuhan “primer” yang mesti diprioritaskan. Namun disisi lain, ditengah daya beli yang terhimpit, harga-harga kebutuhan pokok yang mulai melangit, tak terkecuali biaya sekolah yang mulai tak terjangkau. Apalagi sekolah faforit yang diyakini dengan jaminan pendidiakn berkualitas tinggi, hanya bisa dijangkau oleh kalangan ekonomi menengah keatas, sementara para kaum “ELIT” (Baca; Ekonomi Sulit) harus rela menggigit jari dan cukup berandai-andai.

Memang benar, tidak ada sesuatu didunia ini yang gratis. Biaya pendidikan yang kian hari kian mahal merupakan konsekuensi logis dan menjadi hal yang wajar dalam memperoleh pendidikan bermutu tinggi, ‘price is quality and quality is price’. Namun, patutkah adegium diatas dijadikan dalil dan terus dibenarkan kalau nantinya hanya akan menyebabkan implikasi distruktif terhadap idelalisme pendidikan, sehingga yang terjadi kemudia, sekolah hanya milik mereka yang beruang, “yang kaya bersekolah, yang miskin menganggurlah”.

Mahalnya biaya pendidikan, kendati dengan seperangkat alasan kualitas dan mutu, bagaimanapun masih terkesan diskriminatif. Kritik pedas dan demonstrasi memang terjadi dimana-mana untuk mengembalikan kesenjangan ini, namun demikian pemerintah masih bersikap impasif akan tuntutan tersebut. Padahal sudah jelas, dalam alam demokrasi (baca: Demokratisasi) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, karena pendidikan bukan hanya milik orang-orang yang kaya.

Barangkali, masih segar dalam ingatan kita janji-janji para elit politik untuk memeratakan Pendidikan, mulai dari Pendidikan Murah hingga sekolah Gratis sempat dilontarkan sebelum Pemilu tahun lalu. Dengan lidah manis dan beraroma madu mereka mengungkapkan idealismenya. “memeberikan pendidikan secara merata bagi seluruh rakyat, tak terkecuali wong cilik”. Sebuah aforisme yang mengundang antusiasme masyarakat yang berada dalam kondisi lemah untuk mendapatkan kesempatan mengenyam bangku pendidikan.

Namun kenyataannya, pasca mereka (para elite politik) benar-benar menjadi “Top Leader” yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat belum bisa menikmati pendidikan secara adil dan merata, Beban finansial yang cukup berat membuat mereka frustasi,hanya bisa bersabar dan menunggu datngnya keajaiban. Pendidikan berkualitas dan bermutu tinggi bagi mereka sebatas angan-anagn belaka,

Revitalisasi Citera, Optimalisasi Kinerja

Catatan HUT Polda Metro Jaya 5 Januari 2012
Revitalisasi Citera, Optimalisasi Kinerja
Oleh: Ahmad Wiyono

Meskipun terkesan klasik, citra atau kewibawaan kepolisian di tengah masyarakat tetaplah menjadi perkara penting. Sebuah institusi publik seperti kepolisian, yang ingin bekerja efektif, membutuhkan legitimasi dari khalayak publik. Dengan kata lain, kepolisian perlu membangun dan menjaga wibawanya di masyarakat. Citra ini menjadi lebih mendesak sejak Indonesia memasuki era reformasi yang menjungkirbalikkan hampir semua kebijakan dan langkah pemerintah Orde Baru.

Akan tetapi sejak Orde Baru hingga hari ini, lembaga kepolisian tetap terseok-seok dalam memperbaiki citra dan wibawanya. Justru kian hari kinerja kepolisian kian mendapat pandangan miring dari masyarakat, hal itu diakibatkan kerena terjadi beberapa kasus internal yang dilakukan oknom kepolisian justru mencoreng institusi mereka sendiri. Contoh sederhana adalah terbongkarnya 8 anggota kepolisian di kabupaten Sumenep yang diduga kuat telah menkonsumsi Narkoba berdasar hasil tes uriene meraka. (berita jatim.com 21/12/2011)

Tragedi berdarah yang terjadi di Bima Nusa tenggara barat beberapa waktu yang lalu hingga menelan sedikitnya tiga korban jiwa kian menambah catatan hitam kepolisian kita, anggota kepolisian dianggap tidak mampu menjadi jembatan yang bias mengayomi masyarakat, justru sebaliknya malah menciptakan kondisi anarkhis dengan melepaskan tembakan kepada para demonstran yang mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah. Tak ayal, kecaman demi kecaman terus berdatangan dari berbagai pihak dengan anggapan tindakan kepolisian dinilai sangat represif dan telah melanggar HAM,

Tak pelak, citra lembaga kepolisian coreng-moreng. Kepolisian, yang awalnya diharapkan menjadi pelopor penegakan hokum, pemberantasan KKN dan mafia peradilan, justru harus terseret dalam lingkaran tersebut.

Mencermati hal yang demikian, kepolisian RI ke depan harus memberantas segala bentuk pelanggaran hukum di lingkungan sendiri terlebih dahulu. Sehingga hal itu bisa menjadi Uswah bagi masyarakat luas, karena penegakan hukum diinternal kepolisian akan menjadi cerminan kuat terhadap masyarakat. maka, Akan sangat bijak dan strategis bila kepolisian memanfaatkan momentum HUT Polda Metro Jaya ke 62 ini ini sebagai pintu masuk untuk mereformasi kinerja dan citera, terutama dalam pemberantasan beberapa kasus yang melilit di internal.

Optimalisasi kinerja
Sebagai ujung tombak, Kepolisian harus lebih mengedepankan kinerja yang baik dan teladan kepada masyarakat. Jika selama ini kepolisian dinilai menjadi institusi yang paling lamban dalam mereformasi penegakan hukum, terutama terkait pembersihan hukum internal di dalam institusinya sendiri serta memosisikan dirinya sebagai jaksa rakyat, bukan semata sebagai wakil eksekutif dalam penegakan hukum, maka sudah waktunya, sejak saat ini mesti dibuktikan bahwa kepolisian bisa menjadi lembaga independen yang sanggup menegakkan hukum, membongkar skandal KKN, dan memperjuangkan keadilan bagi bangsa Indonesia.

Untuk mengoptimalkan itu semua, para anggota kepolisian di mana saja bertugas harus membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan. Misalnya, dalam bidang perbankan, pencucian uang, kejahatan komputer, dan hak kekayaan intelektual. Dengan keahlian itu, para anggota kepolisian diharapkan mampu menjawab semua tantangan masa depan yang lebih berat.

Cara lain mempercepat pemulihan kepercayaan masyarakat adalah dengan menindaklanjuti, memeriksa, dan menjatuhkan sanksi keras kepada anggota kepolisian yang menyalahgunakan kewenangan dan jabatan (seperti kasus miras dan lain-lain). Segera umumkan jaksa-jaksa yang mencoreng Korps kepolisian kepada publik. Dalam kaitan dengan pengawalan integritas korps polisi, pengawasan langsung dan tegas dari pimpinan kepolisian terhadap kasus-kasus hokum, criminal bahkan korupsi di daerah menjadi sangat penting.

Keterbatasan energi dan sumber daya yang dimiliki pimpinan kepolisian dapat diatasi dengan menjaga dan meningkatkan komunikasi dengan para aktivis yang berada di berbagai daerah, seperti LSM, organisasi kemasyarakatan, dan aktifis kepemudaan. Kekuatan pimpinan kepolisian dalam memberantas segala pelanggaran hukum jelas tidak hanya terletak pada kehendak politik dan dukungan presiden, DPR, dan jajaran kejaksaan, tetapi juga pada kekuatan civil society di seluruh Indonesia.

Sambil terus melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga penting di bidang penegakan hokum pemberantasankriminalitas, seperti BPK, KPK, Kejaksaan, dan PPATK, kerja sama dengan kepolisian di negara-negara anggota ASEAN sangat diperlukan, terutama meyakinkan bahwa negara mereka perlu memberikan dukungan penuh terhadap upaya penegakan supremasi hukum, keadilan serta pemberantasan korupsi di Indonesia.

Selain itu, dibutuhkan sistem yang lebih efektif, transparan, dan accountable yang disesuaikan dengan karakteristik khusus kepolisian melalui penjabaran dari undang-undang kepolisian, visi dan misi kepolisian, doktrin, kode etik anggota, sumpah jabatan, dan prinsip-prinsip tata pemerintah yang baik (good corporate governance).

Pembaruan sistem pengawasan di kepolisian juga sangat bergantung pada perubahan sikap dan budaya kerja seluruh aparat kepolisian karena betapa pun baiknya suatu sistem tidak akan berjalan tanpa adanya komitmen kuat dan semangat yang tinggi untuk memenuhi harapan masyarakat.

Di samping itu, peran serta publik juga menjadi faktor penting dalam pengawasan di kepolisian, publik harus berperan aktif memberikan masukan dan dorongan objektif untuk bersama-sama menciptakan lembaga kepolisian sebagaimana yang kita cita-citakan.***

Ijazah Instan dan Musnahnya Kedaulatan Guru


Ijazah Instan dan Musnahnya Kedaulatan Guru
Oleh: Ahmad Wiyono*

Praktek Jual Beli Ijazah (Guru) adalah tindakan amoral yang jelas-jelas menodai kedaulatan Guru, hal ini bisa terselesaikan jika semua pihak (Guru. Pemerintah, Sekolah dan Masyarakat) bersinergi membangun kometmen untuk memahami tugas dan fungsinya masing-masing dalam dunia Pendidikan dengan cara mengedepankan masa Depan Jutaan generasi bangsa.

Dunia Pendidikan kembali tercederai, setelah sekian banyak persoalan yang dihadapi mulai dari polemik anggaran pendidikan yanh katamya tidak pro rakyat, hingga pada pengelolaan anggaran pendidikan yang kerap degan penyimpangan, kali ini dunia pendidikan dihadapkan pada persoalan maraknya penjualan ijazah (Aspal), Pada dasarnya kasus jua lbeli ijazah bukanlah hal yang baru lagi, hal seperti ini sudah menjadi rahasia umum dikalangan masyarakat Pendidikan.

Modusnyapun bermacam-macam, mulai dari kebutuhan untuk mengejar kepangkatan, hingga pada tuntuan Pristisius dan banyak lagi alasan yang barangkali sangat masuk dalam logika rasional kita sebagai manusia. Namun kemudian kita tetap harus bertanya apakah kemudian hal itu harus dijadikan dalil untuk melakukan praktek-praktrk yang sebenarnya snagat tidak wajar tersebut.

Kasus seperti ini ternyata lebih bayak dilakukan oleh Oknom Guru, yang notabeni mereka adalah sosok yang menurut Ki Hajar Dewantara harus “digugu dan ditiru”, namun sungguh ironis memang ketika orang yang dipercaya untuk melakukan pengayoman dan pembinaan kepada para generasi bangsa, namun malah menunjukkan sikap yang sama sekali tidak bermoral.

Seorang Guru (yang lebih dominan melakukan praktek Pembelian Ijazah), tampaknya sudah tidak lagi memperhatikan apa sebenarnya tigas utamanya sebagai Guru, hal ini terjadi akibat pola pikir yang selalu terbangun dibenaknya hanyalah bersifat materi yang berujung pada kesejahteraan pribadinya, sehingga hal itu menjadi alasan kuat mengapa sering terjadi praktek pemebelian ijazah yang ujung-ujungnya hanyalah untuk menaikkan kepangkatan dalam rangka menambah penghasilannya dalam hal finansial.

Fenomina ini merupakan tanda-tanda kuat akan terjadinya runtuhnya kredibilitas pendidikan yang diawali dari musnahnya kedaulatan seorang Guru, kenapa tidak, guru yang dicita-citakan menjadi ujung tombak masa depan bangsa telah ternodai akibat perbuatannya sendiri, tidak hanya itu, Guru yang dalam Proses Pendidikan diposisikan menjadi penentu utama faktor keberhasilan serta peningkatan mutu dan kualitas pendidikan itu sendiri, malah yang terjadi adalah guru sudah tidak paham terhadap tanggung jawab luhurnya sebagai Pahlawan Tanpa tanda Jasa tersebut.

Lantas mungkinkah cita-citan pendidikan nasional akan bisa terwujud, jika salah satu pilar utama yang menjadi penentu majunya pendidikan itu sendiri sudah menjadi virurs dalam dunianya sendiri. Entahlah, kita hanya bisa berharap semoga para guru yang telah terlanjur malukan praktek jual-beli ijazah tersebut akan segera sadar dan memahami posisi dan tanggung jawabnya sebagai pendidik yang menanggung masa depan jutaan anak bangsa.

Orientasi jangka pendek dengan hanya mengedepakan tujuan untuk mendapatkan keuntungan Materi sudah seharusnya dihilangkan dari pikiran Para guru itu sendiri, dan hal ini bisa dilakukan jika para guru sudah paham bahwa masa depan generasi dan anak didiknya jauh lebih berharga ketinmbang materi-materi yang selalu mereka bayangkan tersebut.

Sehingga pada akhirnya para guru akan menjadi lebih berdaulat seperti yang dimaksud Benni Setiawan akan memiliki kemampuan untuk bertindak sebagaimana tugasnya: membimbing, mengarahkan, dan membina.(Benni Setiawan: Manifisto Pendidikan Indonesia. 2006).

Oleh karean itu, tidak ada cara lain yang bisa mengembalikan semua itu, terkecuali semua pihak harus bersinergi dan bahu membahu memalui kesadaran dan komentem bersama, yaitu Guru harus paham bahwa dipundaknya teramanatkan jutaan Masa Depan Anak bangsa, selain itu, Pemerintah, sekolah dan masyarakat juga harus respek terhadap segala hal yang menjadi kebutuhan para Guru. Sehingga dengan cara ini setidaknya akan mampu meminimalisir terhadap terjadinya praktek-praktek jual beli ijazah yang jelas-jelas sudah menciderai sosok Guru sebagai Pahalawan Tanpa tanda Jasa.

Kemerdekaan Dan Cita-Cita Nasionalisme Bung Karno

Kemerdekaan
Dan Cita-Cita Nasionalisme Bung Karno
Oleh: Achmad Wiyono

Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan puncak monumental yang mampu melepaskan kita (rakyat indonesia) imprialisme-kolonialisme yang dirasakan beberapa abad lamanya. Merdeka, dalam konteks ini berarti independensi politik sebagaimana disampaikan bung Karno di depan siding BPUPKI 1 Juni 1945.

Sejak saat itu seluruh penjajahan diatas tanah rencong harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan keadilan (juctice). Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat, sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (lihat: Pembukaan UUD ‘45). Satu hal yang patut disukuri mengingat kemerdekaan bukanlah hal (Barang dagangan) yang mudah didapatkan dimana saja, akan tetapi air mata dan tumpah darah para pahlawanlah yang harus dibayarkan. Dengan senjata bambu runcing, keinginan luhur dan iringan do’a para pejuang kita mampu mengusir para penjajah dari bumi zamrud katulistiwa yang pada saat itu lengkap dengan persenjataannya. Dua motivasi tersebut (kekuatan materiil dan spritual) merupakan pondasi awal diraihnya kemerdekaan yang kemudian menjadi Negara kesatuan republic Indonesia (NKRI).

Nasionalisme Bung Karno.
Dalam pergulatan sejarah (historical back round) kemerdekaan republic Indonesia, soekarno atau yang lebih popular dengan sebutan Bung Karno merupakan sosok penggerak yang memiliki daya juanng luar biasa. Bung karnon adalah pribadi yang kompleks, proklamatoir RI, revolusioner, penyambung lidah rakyat, pendiri bangsa (the founding fathers), waliyul amri dan sebagainya. Ia mempererat persatuan untuk merebut hak kemanusiaan demi membawa pada kesentosaan dan kemulyaan dalam pergaulan masyarakat nusantara. Yang menarik dari sosok Bung karno, menurut onghokang, adalah tiga unsur pemikirannya yang radikal, yaitu anti inprialisme-kolonialisme, anti elitisme dan anti kapitalisme. Bagi bung karno faham-faham tersebut hanya mengarah pada pemiskinan, marjinalisasi peran dan hak, diskriminasi, hingga dikotomi antar golongan (rasisme).

Nasionalisme Bung Karno tidak sama halnya dengan nasionalisme yang berkembang (tren) di barat (eropa) pada abad ke-19. nasionalisme Indonesia (nasionalisme timur) berjiwa kemanusiaan (humanis), asasnya sosialistis, sementara nasionalisme barat berjiwa individualistis (self interest) sehingga mendorong reduksi postulat kapitalistik. Inilah tipikal ironi intisputabel yang pada kulminasi desisif membangkitkan “libidu” bangsa barat untuk melakukan ekstorsi-imprialistis Negara Negara berkembang atau yang masih belum merdeka, dan Indonesia merupakan salah satu imperium barat yang harus menderita sepanjang penjajahan.

Nasionalisme Indonesia tidak membenci bangsa lain tetapi lebih dititik beratkan pada persaudaraan, kecintaan terhadap bangsa, menjalin perdamaian antar sesama. Idiologi inilah yang sangat besar pengaruhnya pada saat perang melawan colonial dalam rangka merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Sehingga, sebagaimana penulis diskripsikan di awal, kemerdekaan bisa di proklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945 oleh pahlawan kita, Bung Karno.

Narasi singkat di atasa bukan dalam rangka menafikan jasa perjuangan para pahlawan lain atau terlalu ingin mengagungkan Bung karno akan tetappi bagaiman sebisa munkin perjuangan bung karno dijadikan sebuah refleksi untuk direaktulisasikan pada masa sekarang ini. Dengan kata lain penulis berharap, seluruh bangsa Indonesia wabil akhos pejabat pemerintah dapat melanjutkan citi-cita nasionalisme bung karno. Karena menurut hemat penulis nasionalisme dalam politik –kendati pada saat ini kebanyakan (kalau tidak semuanya) para eksekutif telah cacat moral, hidonistik, materialis, individualis, miskin ideology (the end of ideology) – cukup signifikan agar Negara kebangsaan terjamin eksistensinya. Tanpa nasionalisme – meminjam ungkapan kunto wijoyo- tidak akan ada kebudayaan nasional yang menjadi esensi pergaulan antar bangsa. Ingat, urgensi nasionalisme tidak hanya untuk memerangi kekuatan fisik inprialisme-kolonialisme, namun menjadi sangat penting ketika kita mau mempertahankan diri dari penjajahan (tranfomasi) kebudayaan (westernisasi), yang kontrs dari nilai-nilai ideologis, religiusitas keindonesiaan.

Pertanyaannya sekarang adalah, masih adakah diantara kita yang sanggup mempertahankan (sakralisasi) idealisme Bungkarno? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Namun jika kita merasa sebagai bangsa Indonesia yang turut merasakan manisnya kemerdekaan maka menjadi sangat miris dan ironis andai kita bersikap apatis di tenagah HUT akan jasa pahlawan kemerdekaaan NKRI., Bung karno pernah berpesan “jangan sekali-kali melupakan sejarah”.. Wallahu A’lam Bisshowab.

Menuju Kebangkitan Nahdliyin

Menuju Kebangkitan Nahdliyin
(Catatan Pemilukada Sumenep 2010)
Oleh: Ahmad Wiyono

Ajang Pemilihan umum di Indonesia –dari pusat hingga daerah- selalu tidak lepas dari peran serta beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) islam yang kerap menjadi motor penggerak perjalanan pemilu tersebut, salah satunya adalah Nahdlatul Ulama (NU), ormas terbesar di Indonesia ini sudah sangat sering dijadikan sarana siyasah dalam setiap pelaksanaan Pemilu termasuk pemilukada yang digelar disejumlah daerah.

Bahkan yang paling sering kita temui adalah keberanian para kandidat untuk "menyulap" dirinya didepan public menjadi bagian dari ormas itu sendiri, meski tak jarang pula harus mengaku pernah menjadi pengurus atau keluarga besar dari ormas itu sendiri. Hal itu dilakukan untuk peningkatan pristise dan popularitas para kandidat yang meyakini lebih ampuh ketika melekatkan label ke-ormasan-nya dalam setiap langkah gerakan sukseinya.

Sepintas bisa dikatakan sedikit aneh tiga kata diatas yang menjadi judul dari tulisan ini, karena idealnya sudah bukan waktunya lagi membincang kebangkitan warga Nahdlatul Ulama (NU) dalam konteks hari ini, namun demikian hal ini bukan berarti akan menarik kita pada sebuah pemahaman dekonstruktifikasi warga NU ketika hari ini kembali kita buka cakrawala berfikir untuk mengetahui bagaimana eksistensi NU (terutama NU Lokal) menjelang pemilihan Bupati dan Wakil Bupati kabupaten Sumenep tahun 2010.

Situasi dan kondisi perpolitikan kabupaten Sumenep menjelang Pemilukada inilah yang menjadi acuan asumsi kebangkitan warga NU dalam tulisan ini. Kenapa demikian, karena dengan sangat jelas bahwa betapa kehadiran beberapa kader NU telah menjadi bagian penting hangatnya suhu politik dalam bursa pemilukada kali ini, yang kemudian ini akan menjadi gambaran riel bagi kader NU di Kabupaten Sumenep bahkan di Indonesia bahwa kader NU telah mampu menjadi warna dalam percaturan politik di Indonesia.

Munculnya beberapa kader NU dalam bursa pemilukada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sumenep tahun ini menjadi indikator kuat bahwa posisi dan peran kaum NU tetap tidak bisa diremehkan, bahkan para kader NU yang muncul dalam pencalonan tersebut telah diakui sebagai kontestasi yang paling menonjol. Setidaknya hampir dari semua pasangan calon yang memang merupakan kader NU selalu tidak melepaskan identitas ke-NU-annya dalam segala program dan siyasah gerakannya.

Fenomina ini tentu akan menjadi pertanyaan besar bagi kita, apakah kondisi ini akan memberikan kontribusi besar kepada para kader NU, atau jangan-jangan hal ini hanya akan berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Nu itu sendiri yang diawali dari rasa dilematisasi ketika harus menentukan pilihan terhadap calon dari kalangan NU. Jelas dua hal ini akan dialami oleh semua masyarakat NU di Kabupaten ujung timur di pulau madura ini, setidaknya mereka akan berfikir bahwa persaingan elit NU dalam bursa pemilukada akan berakibat pada variatifnya pemahaman sekalius munculnya kelompok-kelompok yang menjadi lambang perbedaan di tubuh masyarakat NU sendiri.

Dalam konteks inilah perlu adanya pemahaman yang positif dari masyarakat NU untuk lebih bisa memahami perbedaan dalam berpolitik, sehingga munculnya perbedaan dalam pendistribusian suara dari warga NU terhadap calon yang dari kalangan NU tidak akan berpotensi konflik, justru bernuansa kompetitif demokratis.

Setidaknya ada dua hal –seperti yang ditulis oleh Listiyono Santoso- yang harus dilakukan oleh warga NU terutama elit NU menjelang Pemilukada tersebut, yang hal ini berorientasi pada upaya pemahaman politik masyarakat NU yang positif, Pertama: Kedewasaan Berpolitik, secara prinsip kedewasaan berpolitik sudah seharusnya ditunjukkan oleh elit NU yan berada dalam rivalitas politik Pilbup. Kedua: Pendidikan Politik, warga NU dapat menggunakan panggung Pemilukada ini sebagai sarana pendewasaan diri dalam berpolitik, selain itu warga NU bisa memposisikan diri sebagai subjek politik bukan lagi objek politik (Duta Masyarakat: 16 Juni 2008).

Kedua hal tersebut menjadi ujung tombak sekaligus penentu masa depan warga NU dalam proses pembentukan paradigma berfikir sekaligus kesadaran dalam berpolitik, diakui atau tidak jika kader NU sudah mampu melakukan dan menjadikan Pemilukada sebagai sarana pendidikan politik sekaligus menuju kedewasaan dalam berpolitik ditengah bermunculannya kader NU yang menjadi kontestan, maka secara otomatis akan lahir pula pemahaman untuk selalu mengharai perbedaan dan tetap dalam nuansa demokratisasi. Itu sebenarnya yang penulis maksudkan sebagai kebangkitan kaum Nahdliyin, karena jika selama ini kaum NU selalu berkutat pada gerakan kultural dan disibukkan dengan persoalan-persoalan fundamentalisme dalam islam yang kemudian kalau ditarik pada persoalan social apalagi politik akan terkesan kaku dan cendrung terjadi kesalah pahaman yang berimplikasi pada wilayah konfliktual, akan tetapi kali ini warga NU sudah mengalami kebangkitan dalam cara berfikir termasuk dalam berpolitik praktis. Sehingga dengan sangat sadar para warga NU akan memaknai bahwa politik bukanlah hal yang harus memecahkan ukhuwah dalam warga NU, namun sebaliknya panggung politik akan dimaknai sebagai sarana untuk sama-sama mengevaluasi diri antar kader NU, apalagi hanya dalam persoalan pemilihan Bupati dan wakil Bupati.

NU dan Kemajemukan peran
Pada dasarnya Nahdlatul Ulama (NU) diproyeksikan sebagai media representative untuk menampung dan menjadi muara para ulama di Indobesia, yang hal ini berimplikasi pada terciptanya sebuah kometmen keislaman yang didasari pada nilai-nilai Rahmatan Lil Alamin, yang endingnya diharapkan akan mampu menjadi lumbung aspirasi masyarakat islam terutama kaum Nahdliyin, sehingga semua permasalahan yang muncul dan berkembang dikalangan masyarakat islam akan ditemui jalan keluarnya melalui terobosan NU dengan segala program dan metodologinya. Hal ini yang sebenarnya menjadi target dari didirikannya NU pada tahun 1930, setidaknya ada empat point yang menjadi cita-cita luhur didirikannya NU tersebut, diantaranya: untuk menghimpun ulama (Kebangkitan intelektual islam), memposisikan islam, memperbanyak madrasah-madrasah islam, dan memperbanyak hal-hal yang berkaitan denan masjid, koperasi islam dan sebagainya. Semua point diatas merupakan garapan prioritas dari awal didirikannya NU di Indonesia, dan hingga hari ini idealitas tersebut tetap menjadi roh dari gerakan NU itu sendiri.

Sepintas kita akan menemukan sebuah pandangan bahwa ternyata garapan NU hanya focus pada gerakan cultural-klasik yang seakan-akan mengedepankan kepentingan golongan. Asumsi seperti itu wajar-wajar saja disampaikan uleh semua orang jika mereka berkaca pada empat point cita-cita utama didirikannya NU tadi, tapi yang jelas pemaknaan kontekstual gerakan NU mencoba mensinergikan bahkan mengeneralisir kepentingan semua golongan tanpa ada sebuah nilai diskriminasi. Selain itu gerakan kesalehan social yang menjadi konsep utama islam sebagai rahmatan lil alamin tetap menjadi acuan uatama dalam perjalanan NU sepanjang sejarahnya. Artinya kulturalisasi gerakan dalam tubuh NU merupakan konsep lama yang hari ini akan dimasuh oleh gerakan baru beruapa kontekstualisasi NU yang dalam bahasa kasarnya NU tidak hanya bergelut dalam masalah ritual keagamaan semata, akan tetapi jauh dari itu segala permasalahan yang menjadi kepentingan masyarakat demi kemaslahatan umat manusia juga menjadi target gerakan NU.

Dari sini kita akan berfikir bahwa betapa peran NU akan menjadi komplek ketika kita tarik beberapa poin tersebut secara kontekstual, sehingga semua point yang sepertinya sangat sederhana tersebut pada esensinya merupakan intisari atau representasi dari beberapa kebutuhan umat manusia secara umum. Betapa tidak, kita lihat saja betapa pendidikan dan ekonomi telah menjadi substansi dari cita-cita didirikannya NU tempo dulu, pendirian Madrasah (Pendidikan), koperasi (ekonomi) dan masjid yang menjadi point penting berdirinya NU secara substansial ternyata memang merupakan kebutuhan vital masyarakat islam hari ini.
Tidak hanya itu, upaya untuk terus melakukan kemaslahatan terhadap masyarakat umum tetap digalakkan NU dengan beberapa terobosan, salah satunya yang kita bincang hari ini adalah keikutsertaan kaum NU dalam percaturan politik Indonesia, secara prinsip keikutsertaan kaum NU dalam panggung politik bukan semata-mata dalam rangka menunjukkan kepentingan atau kelompok tertentu dalam NU, akan tetapi jauh dari hal itu lebih didasari pada kometmen bahwa masyarakat hari ini harus betul-betul dikawal dan kaum NU harus siap menjadi pengawal sebagai langkah nyata dalam menerjemahkan konsep kemaslahatan dalam NU.

Maka atas dasar itu kemudian sangatlah tidak mungkin proses pengawalan akan berjalan optimal jika system pengawalan tidak dikuasai, sehingga langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan mencoba melibatkan diri dalam proses penciptaan sampai pada implementasi system itu sendiri. Oleh karena itu, turunnya beberapa kader NU ke panggung politik pada esensinya sebenarnya adalah untuk mewujudkan mimpi ideal NU sebagai muara penyelesaian berbagai permasalahan masyarakat secara luas.

Dalam konteks Sumenep, munculnya beberapa kader NU dalam bursa pencalonan Bupati dan Wakil Bupati –baik yang menjadi Cabub ataupun Cawabup- merupakan bukti kongkrit betapa NU hari ini betul-betul berkometmen untuk menjadi benteng sekaligus muara dari kebutuhan umat manusia, sehingga hari ini perlu secara tegas kita maknai bahwa kehadiran kader-kader NU tersebut bukan dalam rangka melahirkan kemelut dikalanan bawah, akan tetapi sebaliknya sebagai langkah strategis untuk menjadikan NU sebagai muara umat.

Dari uraian diatas setidaknya ada dua hal yang menjadi esensi dari tulisan ini, yang kemudian patut kita reaktualisasikan dalam konteks gerakan NU hari ini. Pertama, sejak berdirinya, NU merupakan sebuah organisasi yang bercita-cita untuk menjadi pusat aspirasi yang mampu memberikan kemaslahatan secara riel kepada masyarakat islam secara luas, yang pada akhirnya akan tercipta sebuah iklim keislaman yang berdasar pada nilai rahmatan lil alamin.

Kedua: NU lahir dan berkembang menjadi organisasi yang multi peran, yang tidak hanya mengedepankan kepentingan golongan apalagi perorangan, justru kepentingan umat yang dengan segala model kebutuhannya menjadi garapan utama dalam tubuh NU, salah satunya adalah dengan menjadikan kader NU sebagai bagian kontestan pada pelaksanaan pesta demokrasi. Artinya keikutsertaan kader NU dalam pelaksanaan Pemilukada merupakan manifistasi logis dari proses implementasi amanah yang diembankan NU kepada kader-kadernya. Karena yang jelas NU memang diproyeksikan untuk melahirkan kader yang tidak hanya paham dan intens dalam hal ritual keagamaan, akan tetapi berbagai hal juga harus dikuasai oleh kader NU termasuk salah satunya adalah kegiatan politik praktis.

Kesadaran dan kometmen untuk menjalankan amanah ke-NU-an dalam konteks politik praktis inilah yang hari ini kita sebut sebagai awal kebangkitan kaum nahdliyin, sehingga warga NU tidak lagi terjebak hanya pada wilayah cultural, akan tetapi wilayah yang lain juga mampu digarap sesuai dengan kebutuhan zaman. Hari ini patut kita semua berdoa semoga pada akhirnya kader-kader NU yang hari ini terjun dalam bursa pencalonan Bupati dan wakil Bupati Sumenep tahun 2010 ini nantinya akan mampu menerjemahkan mimpi ideal NU sekaligus menjalankan amanah sesuai dengan cita-cita didirikannya Nahlatul Ulama di Indonesia.

Menuju Pendidikan Pesantren Progresif

Menuju Pendidikan Pesantren Progresif
(Grand Strategi Menghadapi Transformasi Global)


Pendahuluan
Salah satu tujuan awal didirikannya Pondok Pesantren adalah untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan keagamaan (Syar’ie) kepada anak didik (Santri) yang diyakini sebagai generasi para ulama’, warasatul anbiya’. Pesantren tumbuh sebagi jawaban terhadap tantangan kebutuhan yang paling mendasar yaitu terpebuhinya insan kamil, baik untuk menegakkan syariat islamiah (Liyatafaqqohaa fil addin) maupun untuk membimbing manusia dengan berpijak pada tatanan masyrakat islamiah.

Berangkat dari inilah segala aktifias Pondok Pesantren selalu identik degan nilai-nilai kultural islamiah, baik dari pengajian kitab kuning hingga bimbingan pemahaman moralitas sebagai ciri khas santri, sehingga dapat memperkuat jiwa pemuda yang berbekal iman, ilmu dan akhlakul karimah dengan dibiasi kecakapan dan kecerdasan untuk mengaplikasikannya ditengah-tengah mayarakat.

Namun denikan kita tidak boleh memandang prsantren dari sudut pandang dan sumbangsihnya dalam soal keagamaan saja, sebab secara faktual pesantren telah mampu memflter kehidupan sosial masyarakat baik dalam soal moralitas, humanitas dan mempertahankan harga diri. Sejarah telah mencatat bahwa keberadaan pesantren dalam menjawab dinamika pergolakan sosial-politik cukup signifikan. Hal ini dapat kita lihat dari sumbangsih massyarakat pesantren dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, mengarahkan fase-fase perubahan politik, serta pembinaan moralitas sehari-hari dalam masyarakat telah menjadi spektrum tersendiri yang tipikal bagi pondok pesantren. Masdar F. Mas’udi direktur P3M menyebutkan bahwa pesantren memiliki potensi yang luar biasa besar sebagai center of exelen masyarakat bawah sekaligus sebaga pusat perubahan yang berbasis kepada kesadaran masyarakat serta sumber daya kulturalnya.

Pesan ini sejalan dengan misi profetik (samawi) santri, yang dalam al-qur’an disebut sebagai syahid, mubassyir, nadzir, dan siraj-munir (Al-Ahzab: 45-46). Secara sosiologis peran ini dapat disebut sebagai agent of social change, dimana peran ulama-santri disini sebagai agen perubahan masyarakat, turut mengarahkan (baca: Basyir), Mengontrol (baca; Nadzir), dan mencerahkan (baca: siraj-munir) masyarakat.

Dala tatanan tersebut sosok santri akan dijadikan patronise dan barometer karakteristik bagi masyarakat, dengan harapan kehadirannya menjadi media kedamaian (mefium of peace) yang bertitik tolak pada intens keislaman yang dileburkan oleh wacana pencerahan yang melingkupinya, sehinga menjadi titik pencerahan islam. Masyarakat begitiu yakin dan mengharap bahwa sanri adalah sosok ideal yang tanpa cacat sedikitpun. Santri, menurut anggapan mereka adalah manusia yang memiliki moral tinggi, pendidikan berkualitas dan sebagainya


Diskursus Pendidikan Pesantren
Dalam konteks pesantren, pendidikan diskursus signifikan dalam mewarnai siklus perkembangan dunia pendidikan islam, ini berarti lembaga berdasarkan islam tersebut identik dengan poia dan sistem pendidikan yang dianut sebagai akselerasi gerak pesantren pada ruang masa depannya, sekaligus gejala diterminan wujud progresibvitas pada fase-fase terakhir. Dari itu, diperlukan sekali menyibak suasana pendidikan pesantren bersama pola pendidikan yang teraktualisasi di peasntren yang kian melesat sedemikian cepat, memasuki ruang sinar kecerahan, merengkuh beragam khazanah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup dijadikan bukti konkret bagi eksistensi pesantren selaku miniatur dan sental ilmu pengetahuan, terutama dbidang keagamaan.

Semisal pondok Gontor, Pesantren Darunnajah Jakarta, yang dikenal sebagai pesantren moderen telah mampu membidik bentuk pendidikan bersama fase perubahan kehidupan manusia. Dan bobot yang dikeluarkan dapat kita telusuri melalui legalitas kelimuan yang dimiliki, intlektual agresif, dan fantastik, banyak menghadirkan pemikiran canggih , seprti pemikiran Nurcholis Madjid (alm), Musthafa Bisri, MH. Ainun Nadjib, Abdurrahman Wahid dan fgur intlektual lain yang menjadi bintang fokus kompeten yang melahirkan gagasan jitu artistik, melalui strsta kelimuan yang cukup handal disertai kedisiplinan yang gigih dipertahankan, selaku kerangka dasar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dari generasi muda intlektual muslim selajutnya.


Globalisasi: Sebuah Harapan Dan Tantangan Pendidikan Pesantren
Globalisasi atau masyarakat era industri telah membawa ekses-ekses positif maupun negatif yang kini muali dirasakan oleh masyarakat luas. Ekses itu pada gilirannya meniscayakan suatu nilai-nilai baru pula. Hal semacam itu pula yang nulai terjadi di dunia pesantren. Gejala yang tampak pada akhir-akhir ini menunjukkan bahwa masyarakat pesantren mulai terbiasa mengadopsi sikap pragmatais, formalistik, keterbukaan, nilai-nilai kebebasan, rasionalaisasi, skularisasi, serta menjadi pula dari bagian pop cultur.

Kalau kita telaah secara hipotesis, salah satu akar utamanya nilai-nilai sebagaimana disinggung diatas adalah kurangnya kemampuan atau kelambanan dunia pendidikan dan pesantren dalam merumuskan kembali keilmuan yang diajarkan serta seluk beluk yang berkaitan dengan itu. Ada kesan bahwa makna ilmu telah mengalami reduksi atau penyimpangan dari nilai-nilai keilmuan itu sendiri.

Adanya pemetakan ilmu agama dan ilmu umum jelas menjadi problem krusial pendidikan kita. Hal itu diperburuk lagi dengan sikap lembaga pendidikan terhadap displin ilmu yang diajarkannya. Pada satu pihak, penddikan agama yang diajarkan dalam pendidikan nasional terkesan sekedar bersifat aksesori yang kurang diarahkan pada pembentukan sikap dan prilaku yang bermoral. Pada pihak lain, dalam dunia pesantren –melalui sistem pendidikan klasikal yang dikelolanya- Al-Ulumul Aqliyah yang dimasukkan kedalamn kurikulum terkesan hanya diterima dengan “setengah hati”. Ilmu-ilmu tersebut seakan tidak memiliki signifikansi dan subtansi pendidikan itu sendiri. Padahal kalau kita sadari, santri merupakan elemen kecil yang mampu bergerak dalam segala sektor keilmuan, bukan hanya bergelut dalam penggodokan ilmu syar’ie dan dogma agama, tapi juga harus mampu berdaptasi dengan perkembangan zaman (globalisasi), baik dalam sektor pendidikan, politik, budaya, ekonomi dan sebaginya. KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) pernah berasumsi bahwa pesantren tidak lagi dapat dilihat sebagai sub kultur, dalam artian gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan tidak harus diidentikkan dengan ritue ataupun teologi islam. Tetapi pesantren juga mengacu kepada kegiatan pendidikan dalam arti sosialisasi nilai-nilai dan tradisi islam serta pengambangan profesi. Termasuk juga adaptasi dengan dunia luar. Apalagi kesadaran perlunya mengejar kemajuan untuk menyesuaikan diri dengan abad teknologi, kini sudah kian meresap kesemua lapisan masyarakat bahkan dikalangan masyarakat tradisional sekalipun. Maka sudah saatnya pesantren terbuka dan menerima ide-ide luar.

Idealisme ini dapat terealisasi apabila kita rela mentransformasikan sistem salafy pesantren dalam mengayuh generasi ulama (santri) yang multi fungsi kegerbang rasionalitas. Alisjahbana pernah mengemukakan bahwa jika pendidikan pesantren tetap berpola salafiyah, tanpa dimasuki dialektika formalitas, berarti kita mempertahankan keterbelakangan, kejumudan di ruang kaum muslim. Kalau hal ini yang terjadi, maka pesantren hanya akan mencetak generasi “mandul” yang sulit menjawab tantangan perubahan zaman yang semain global.

Disinilah kemudian, pesantren masa depan diharapkan mampu melahirkan alumninya yang ideal dan meningkatnkan kualitas kehidpannya. Namun pesantren yang merupakan hasil dari sebuah kebudayaan yang dijadikan sebagai tameng pokok untuk menyeimbangi perputaran masa yang semakin lama semakin berkembang, sesuai dengan kebutuhan manusia yang bersifat duniawi tidaklah harus bersimpang siur terlalu jauh dari tradisi lamanya, yang dijadikan ideologi kepesantrenan, dan tidak terlalu terbelalak terhadap kebudayaan moderen, melainkan harus menyeimbangi, memilah dan memilih plus minus globalisasi, sebab diterima atau tidak kita harus ingat qa’idah usul fiqh yang senantiasa dijadikan paradigma atau jargon pesantren “Alpmuhafadzatu alaa al-qadimi al-shaleh wa al-akhdzu bil jahidi al-ashlah” (memelihara nilai-nilai yang lama yang baik, dan mengamnil nilai-nilai baru: moderen yang lebih baik), sehingga tidak menimbulkan kesan yang pada akhirnya mengalami kemunduran yang terlalu jauh dari kehidupan serba modern pada abad sekarang ini, yang pada titik klimaksnya mengakibatkan minimnya intlektual muslim yang lahir dari pondok pesantren, padahal kaum santri yang dilahirkan dari pesantren relatif banyak. Oleh karena itu, penting bagi pondok pesantren untuk secara kontinuitas bergerak dalam menguasai pergumulan masyarakat selaku representasi dan refleksi masyarakat madani yang bersikukuh dengan transformasi sosial yang berdasarkan legalitas islam daam menggagas perubahan produktif guna mengembangkan pada skala yang lebih unversal.

Dalam hal ini menjadi kewajiban tersendiri bagi pengelola pondok pesantren mengadopsi pola pendidikan yang progresif guna mengekspansi dan memperlebar peran pesantren sebagai wahana pendidikan acceplable dengan memunculkan kader intlektualnya. Kita harus sadar bahwa paradigma pendidikan yang selama ini diterapkan di pondok peantren, lebih-lebih pesantren salafiyah terlampau mengekang dan sangat tradisional. Jhon Dewey , salah seorang pakar pendidikan sekaligus ahli sosiologi pernah memaparkan secara seksama, bahwa pendidikan tradisional (pesantren: pen) terlalu terpisah dari dunia belajar sehari-hari. Seorang siswa diminta untuk mempelajari dan menghafal mengenai ide-ide, tanpa diajari agar mampu melihat realitas dan mampu memecahkan persoalannya sehari-hari. Oleh karena itu, pembenahan krikulum merupaka suatu jalan menuju tercapainya idealisme pendidikan pesantren yang bonafide, siap pakai, demi melanjutkan perjuangan agama islam ditengah maraknya arus globalisasi, transformasi dan modernisasi.

Dengan demikian dapat disandarkan rasionalisasi berfikir selaku media mobilisator utama dalam mencipta intlektual canggih yang menyatu dalam bendera keislaman sejati. Bila kita transformasikan atau diverganitas posisi pesantren selaku media multi fungsi maka yang perlu ditentukan adalah pendidikan bukan hanya “tilawatul ayat” dan “hafidzul kitab” tetapi yang lebih penting adalah “tazqiayatun nafsi”. Pendidikan pada dasrnya dipahami sebagai –meminjam istilah Paulu Freire-wahana membebaskan dan memerdekakan, bukan indoktrinasi dan pembelengguan, senagaimana diterapkan di pondok pesantren salafiyah. Dan pendidikan seharusnya bukan hanya mengarah pada “life skill” dan “labour skill” melainkan harus lebih memberikan prioritas pada “leadership skill”.

Dalam menelaah globalisasi sebagai problem pendidikan pesantren, setidaknya ada lima langkah yang harus kita tempuh. Pertama, pesantren senantiasa dituntut memiliki kemampuan untuk mengantisipasi perubahan dunia dalam era globalisasi, sehingga tidak tertuup kemungkinan bagi para santri untuk mengembangkan bakatnya dan mempelejari pelabagai disiplin ilmu, termasuk bidang sains dan tekhnologi tanpa menguarangi bobot santri dalam penguasaan itab-kitab kuning sebagai ciri khas santri. Kedua, Melakukan peubahan-perubahan pendidikan pesantren, mulai dari paradigma, visi-misi, sistem pengajaran dan metodologinya. Ketiga, memberikan pendidikan al akhlakul karimah (Moral) secara mendasar pada santri. Tentunya hal ini dimaksudkan untuk menfilter kehidupan santri dari kegoncangan dan dampak negatif globalisasi. Keempat, mempertahankan nilai-nilai (tradisi) pesantren, seperti kemandirian, keikhlasan, kesederhanaan dan keteladanan, serta tradisi belajar mengajar dan kehidupan santri sehari-hari yang tawadlu’ qanaah dan istiqamah yang merupakan aset moral untuk menghentikan penghancuran kemanusiaan (dehumanisasi). Kelima, pesantren juga perlu mengembangkan pendekatan teoritis dalam memenuhi kebutuhan masyarakat pesantren, lebih dari itu, pesantren senantiasa mengadakan training kepeminpinan demi mencetak santrinya yang siap terjun ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian progresivitas pendidikan pesantren akan menjadi kesejahteraan pesantren dan sekaligus responsif terhadap persoalan yang berkembang di masyarakat. Lebih-lebih soal globalisasi.

Sebelum tulisan in ditutup, penulis ingin menyampaikan satu hal, bahwa pendidikan dan masyarakat adalh dua variabel yang tak dapat dipisahkan. Masyarakat adalah realitas. Pada hakekatnya tidak ada realitas yang jumud karena rentang waktu akan selalu berputar. Peristiwa yang akan terjadi besok tidak akan sama dengan yang terjadi sebelumnya. Zaman akan senantiasa berkembang, globalisasi, tekhnologi tak bisa dielakkan kehadirannya. Kita boleh saja mempertahankan tradisi, tapi jangan sekali-kali menjadikan tradisi sebgai doktrin yang hanya membawa kita pada keterasingan. Musa Asy’ari pernah menulis sebagai berikut:

Pendidikan kita harus dubah menjadi realitas. Pendidikan harus menyerap realitas dan menjadi jawaban atas realitas. Karena itu, pendidikan adalah perubahan terus menerus, bukan hanya untuk menghafal teori-teori saja, tetapi untuk berteori sesuai perubahan realitas.

Sebagai proses perubahan, pendidikan pesantren harus membentuk konstruksi pemikiran anak didik yang dinamis, terbuka, dan progresif guna mengembangkan kemampuan kreatifitasnya menghadapi tantangan perubaan hidup.

Penutup
Ditengah perkembanga zaman yang semakin global pendidikan pesanten senantiasa dihadapkan pada persoalan-persoalan yang sangat rumit. Hal yang sangat menjadi tuntutan pengelola pendidkan pesantren adalah dalam menyesuaikan diri dengan perubahan lobal pula,dengan memahami, menguasai dan menfilter diri dari adanya globalisasi yang mulai merambah pada ranah kehidupan pesantren.

Membangun sebuah pendidikan pesantren yang benar-benar memiliki jangkauan jauh kedepan dan mampu melahirkan manusia kompetitif ditengah masyarakt global memang bukan hal yang sulit, namun bukan berarti mustahil, jika pesantren memilki kometmen dan keberanian untuk menransformasikan sistem klasikal pesantren kearah pendidikan progresif, barangkali pesantren akan semakin eksis dan benar-benar akan menjadi lembaga pendidikan alternatif bagi masyarakat.. Wallahu A’lam Bisshawab.


*Ahmad Wiyono adalah Alumni PP. Annuqayah Sumenep Madura,

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons