Rabu, 03 Oktober 2012

Kongres Kebudayaan Madura, Untuk (Si)apa?


Kongres Kebudayaan Madura, Untuk (Si)apa?
Oleh: Ahmad Wiyono

Gagasan untuk melestarikan kebudayaan local Madura nampaknya betul-betul mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, utamanya kalangan budayawan Madura –baik yang menetap di Madura maupun yang ada di rantau-, hal itu menjadi manifistasi logis bahwa tidak ada yang bisa dan pantas untuk memperhatikan eksistensi kebudayaan Madura kecuali orang Madura sendiri, paling tidak rasa simpati yang harus terus dilahirkan ketika menyaksikan autentisitas kebudayaan local yang sudah mulai kusut. Terlepas dari apa penyebab terjadinya hal tersebut, tapi yang jelas sebagai orang yang tumbuh dan dibesarkan dari nilai-nilai kebudayaan Madura, maka menjadi fardu ain hukumnya untuk turut serta melakukan pengawasan, bahkan revitalisasi terhadap kebudayaan itu sendiri, apalagi jika telah terjadi dekradasi budaya seperti saat sekarang ini.

Kongres Kebudayaan Madura (KKM), yang digagas oleh beberapa tokoh Madura yang masih meiliki kepedulian kuat terhadap nilai-nilai kebudayaan beberapa waktu yang lalu merupakan medium representative dalam upaya melestarikan nilai-nilai kebudayaan, dalam konteks inilah kita perlu berfikir sejenak betapa pada akhirnya nanti akan lahir kembali kebudayaan Madura yang betul-betul autentik tanpa adanya distorsi nilai. Spekulatifkah?, pertanyaan seperti itu tetap akan lahir seiring dengan optimisme yang terus lahir untuk membangun kebudayaan Madura yang madani, sebab disadari atau tidak apa yang telah digelar dalam KKM (termasuk yang akan digelar pada KKM berikutnya) tersebut tetap hanyalah sebatas usaha, persoalan nantinya apa yang akan dihasilkan, itu masih menjadi PR besar bagi kita semua.

Prinsipnya, orientasi dari pelaksanaan KKM tersebut tetap megarah kepada upaya perbaikan nilai-nilai kebudayaan. fenomina krisis kebudayaan local Madura akan menjadi target prioritas dalam pembahasan tersebut, serap aspirasi konsep teoritis dari berbagai tokoh serta budayawan Madura juga akan menjadi pembahasan alot dalam setiap gelaran KKM, tentu semua itu dalam rangka mencari benang merah yang akan menambal sulam persoalan kebudayaan kita. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana kesanggupan KKM dalam menjawab segala problematika kebudayaan yang saat sekarang ini sudah memasuki fase kritis dan memperihatinkan?.

Kompleksitas persoalan yang melanda kebudayaan local Madura pada esensinya tidak lepas dari dinamika kehidupan manusia Madura itu sendiri, mengapa demikian?, karena sekali lagi yang berhak bahkan bertanggung jawab terhadap keberadaan kebudayaan Madura tentu manusia Madura sendiri, akan tetapi realitas kongkriet di lapangan hamper sebagian besar manusia Madura telah melupakan warna kebudayaannya sendiri, mereka telah lebih bangga memakai baju kebudayaan yang diadopsi dari luar, bahkan kadang dengan sangat lantangnya mereka banyak yang mengklaim bahwa budaya local sudah sangat klasik dan tidak relevan dengan perkembangan zaman, sehingga banyak diantara kita yang sangat gugup bahkan sangat ketakutan untuk menampakkan nilai kemaduraan di bumi Madura sendiri, apalagi ketika mereka sedang berada di luar Madura. Dari persoalan ini saja sangat jelas bahwa betapa nasionalisme kemaduraan kita masih relative rendah.

Dalam bahasa yang lain masalah di atas merupakan bagian dari pembunuhan karakter budaya Madura,  seorang Ibnu Hajar pernah memberikan gambaran tentang terjadnya kemerosotan budaya di Madura yang diakibatkan oleh pembunuhan karakter, menurutnya, telah terjadi pembunuhan karakter budaya di Madura, yang memperihatinkan hal tersebut malah dilakukan oleh orang-orang Madura sendiri, kita sendiri sadar sejak dahulu kepada orang tua kita biasa memanggil “Eppak, Embuk, Kaeh, Jujuk dan sejenisnya”, tapi sekarang banyak orang yang alergi dengan panggilan tersebut sehingga dirubah menjadi “Papa, Mama, dan sejenisnya”, inilah potert manusia Madura yang sudah mulai alergi dengan produk kebudayaannya sendiri.

Lantas apa saja peran KKM dalam melakukan pembenahan-pembenahan revitalisasi kebudayaan Madura disegala lini?, seperti yang kita ketahui, ada banyak agenda yang telah dan akan digelar dalam kegiatan KKM, mulai dari pembahasan manusia Madura sampai pada pemberdayaan potensi budaya Madura –yang konon katanya kaya dengan aneka kebudayaan-, baiklah mari kita coba menganalisis secara sederhana berbagai agenda yang dibahas dalam KKM tersebut.

Pertama, Pembahasan mengenai Gambaran Manusia Madura. sepintas barangkali kita akan mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara manusia Madura dengan manusia luar Madura, namun secara substansial ada perbedaan yang begitu mencolok yang hal ini terjadi akibat adanya stigma bahwa orang-orang Madura adalah orang keras, kejam dan sejenisnya. Persepsi stigmatif ini kemudian menjadi hokum public bagi manusia luar Madura sehingga orang-orang Madura diklaim sebagai sumber kekerasan.

Barangkali kita memang agak kesulitan untuk menghindar dari klaim semacam itu, karena kita sendiri sadar ada banyak kejadian yang dilakukan oleh orang-orang Madura yang mengarah pada perbuatan anarkhisme, kita contohkan saja Carok, di mana-mana ketika terjadi pertikaian atau perkelahian  yang berujung pada pembunuhan  dengan menggunakan senjata Celurit, maka hampir pasti pelakuknya adalah orang Madura, tak ayal klaim tersebut dituduhkan kepada semua manusia Madura, maka lahirlah gambaran sepihak bahwa manusia Madura adalah actor dari beberapa kekerasan yang sering terjadi.

Fakta ini menjadi gambaran awal tentang sosok manusia Madura yang katanya sumber kekerasan, Benarkah yang Demikian itu?. Disatu sisi mungkin harus mengakui ketika orang Madura selalu dituding semacam itu, karena hal itu diakibatkan oleh kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang Madura yaitu Carok, Dr. A. Latief Wiyata dalam buku Caroknya mengatakan bahwa meskipun carok merupakan tindakan kriminalitas yang secara hukum formal dan ajaran agama dilarang, tapi carok justru memperoleh justifikasi dan legitimasi secara social budaya, dengan kata lain bahwa carok tidak mempunyai relasi yang signifikan dengan fungsi dan peran hukum formal serta otoritas keagamaan (Carok: P. 227).

Akan tetapi disisi yang lain kita tetap harus menentang terhadap tudingan kerasnya orang Madura, karena hampir semua orang menyadari bahwa pada hakekatnya tidak semua orang Madura melakukan carok, anggaplah pelaku carok hanya segelintir manusia Madura yang menjadi oknom orang Madura tersebut, apalagi kalau kita bahas  sosok manusia Madura secara universal, justru kenyataannya Madura adalah asetnya manusia religius (baca: Kiyai dan Ulama), sehingga sangat tidak etis dan tidak rasional kalau madusia Madura harus dituding sebagai sumber utama terjadinya kekerasan. Bahkan selain itu, terdapat banyak karakteristik positif yang dimiliki oleh orang-orang Madura, kalau kita kilas historis sejak belanda berkuasa orang Madura telah menyandang beberapa karakter positif antara lain petualang, loyal, rajin, hemat, menyenangkan, antusias, dan harmonis (Muthmainnah: Jembatan Suramadu. 29). Nah, persoalannya adalah mengapa karakter dan pola positif yang dimiliki oleh manusia Madura di atas selalu kalah dibalik stereotype negative tersebut.

Bermula dari kenyataan inilah yang pada akhirnya berimplikasi pada menurunnya kredibilitas budaya Madura, artinya hanya karena ada carok sehingga Madura secara keseluruhan menjadi objek tudingan sebagai sumber kekerasan yang telah terjadi dibeberapa daerah di Indonesia. Itulah generalisasi yang kita yakini masih jauh dari unsur objektifikasi.

Kedua: Pembahasan mengenai Potensi Budaya, Bahasa dan Seni Madura. Pada realitasnya kita akui bahwa Madura sangat kaya dengan berbagai potensi budaya dan seni, begitu juga dengan dealek bahasanya yang sebenarnya sangat halus. Hal ini diakui oleh banyak kalangan termasuk beberapa pengamat dari luar Madura yang mengakui terhadap kekayaan kebudayaan di Madura, lantas mengapa KKM harus mengagendakan hal tersebut?, yah bukanlah sesuatu yang berlebihan jika potensi budaya, bahasa bahkan seni Madura harus dikongreskan pada saat sekarang ini, alasannya cukup singkat dan sederhana, yaitu karena semua kekayaan yang telah dimiliki Madura sudah mulai terkikis, bahkan terancam punah.

Coba kita perhatikan, mengapa banyak diantara kita yang melakukan urbanisasi dan imigrasi, ternyata selain factor ekonomi, banyak yang beralasan bahwa Madura kurang produktif dalam banyak hal, sehingga potensi Madura yang seharusnya dilestarikan malah ditinggalakan begitu saja, padahal kalau saja kita mau berapa banyak potensi budaya yang belum sempat kita gali. Ditambah lagi rasa sungkan yang melekat pada orang Madura sendiri untuk mengakui bahasa ibu (Madura), mereka seakan beralasan bahwa bahasa local Madura sudah tidak relevan sehingga mulai dilupakan, padahal betapa sebenarnya bahasa Madura sangat kental dengan nilai-nilai kesederhanaan (Tawadu’), dan kesahajaan, mengapa semua itu harus terkikis begitu saja.

Tidak hanya itu, keberadaan kesenian pun sudah mulai terkurangi, bayangkan Madura yang konon kaya dengan beragam kesenian local mulai dari kesenian tradisional klasik, tradisional kerakyatan, hingga kesenian tradisonal kerasi telah menjadi warna dan cirri khas Madura itu sendiri, akan tetapi telah terjadi kesenjangan dan pergeseran yang cukup luar biasa, dari menikmati kesenian local hasil produk sendiri malah lebih senang meangadopsi kesenian luar dengan segala keberagaman moderenisasinya. Tak ayal jika Musik Saronin, Lodruk, Macopat, Tandek dan beberapa kesenian local lainnya sudah mulai langka di daerah kita sendiri, padahal andai saja kita mau melestarikan semua bentuk dan jenis kesenian local tersebut betapa kesenian tersebut akan go public jika kita mampu mengkemas dan melestarikannya, karena realitasnya kesenian-kesenian Madura justru mendapat ruang berkesenian yang luas di mata orang luar Madura.

Intinya, Budaya, Bahasa dan kesenian Madura merupakan kekayaan dan potensi yang besar yang dimiliki Madura, yang seharusnya diperhatikan dan dilestarikan sehingga melahirkan satu prinsip bahwa budaya, bahasa, dan seni Madura masih layak untuk kita reaktualisasikan dalam konteks kekinian, untuk kita miliki, gunakan, bahkan disebar luaskan keseluruh penjuru tanah air dan dunia inetrnasional.

Ketiga: Pembahasan mengenai Pendidikan dan Pesntren. Secara geografis Madura yang terdiri dari empat kabupaten (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep) ternyata telah mempunyai kekhasan lokal  yang itu diakui menjadi kekuatan religiusitas orang Madura sekaligus menjadi symbol pendidikan islam. Pesantren adalah symbol budaya yang telah diakui menjadi tradisi pendidikan yang sangat representatif , betapa tidak, kalau kita teropong dalam perspektif historis bahwa sejak berdirinya berates-ratus tahun silam pesantren tetap konsisten dan telah mampu menunjukkan eksistensinya dalam pergulatan pendidikan Indonesia. Tidak hanya itu, keberadaannya sebagai institusi pendidikan islam dipandang telah mampu menjadi salah satu filter menjamurnya budaya luar yang diproduk oleh westernisasi.

Nor Kholis majid dalam bukunya Bilik-bilik Pesantren memberikan visualisasi  kongkriet tentang peranan pesantren dalam sector pendidikan hingga budaya, menurutnya Pesantren adalah salah satu institusi pendidikan yang berhasil mempertahankan nilai-nilai kekhasan klasik pendidikan islam sebagai benteng moral, sekaligus berhasil mengikuti laju perkembangan zaman. Pesantren yang walaupun secara structural menggunakan polarisasi perkembangan zaman, namun secara cultural tugas utamanya tetap mempertahankan nilai-nilai moral serta pendidikan etis. Sehingga kita akan sepakat bahwa benteng moral yang paling efektif adalah pesantren, inilah orientasi perioritas dilahirkannya pesantren sejak dahulu.

Selain membahas tiga tema diatas, KKM juga akan membahas mengenai eksistensi Pemuda Madura dalam konteks kekinian, hal ini menjadi urgen mengingat keberadaan pemuda Madura yang telah terasuki oleh imbas perkembangan zaman, terjadinya perubahan paradigma dikalangan pemuda Madura menjadi sesuatu yang urgen untuk diperbincangkan, termasuk juga pola hidup elitis yang sudah mulai mendarah daging  dikalangan pemuda madura hari ini harus segera dipecahkan bersama-sama.

Secara sederhana kita memahami bahwa transformasi sosial, modernisasi dan globalisasi telah mampu melahirkan dan merubah segala bentuk kehidupan pemuda Madura. Segala produk kebudayaan yang dilahirkan dari westernisasi dianggap sesuatu yang lebih bagus untuk diadopsi dan ditiru oleh mereka, kecendrungan ini sudah menjadi watak dan karakter dikalangan pemuda Madura. Kita pun akan sering mendapatkan mereka telah lebih bangga menyaksikan kesenian luar ketimbang menonton kesenian local Madura, alasannya mereka mengatakan bahwa kesenian dan kebudayaan local Madura sudah sangat klasik dan tidak gaul. Pemuda yang diharapkan menjadi penerus sejarah ternyata telah mengalami kemerosotan yang begitu dahsyat. Realitas ini menunjukkan bahwa nilai nasionalisme kemaduraan pemuda kita sudah mulai luntur, terutama dalam menjalani hidup masa mudanya. Mereka tidak merasa terkungkung oleh Lobin (tanah tumpah darah) atau dukuh tempat kelahirannya baik dalam mencari pekerjaan penuh berkah untuk menghidupinya, dalam menemukan jodoh setia untuk mendampinginya, maupun dalam mendapatkan permukiman layak untuk tempat menghabiskan sisa hayatnya dengan segala suka dukanya (Prof. Dr. Ir. Mien A. Rifai: Radar Madura 5/3/2007).

Selain itu, Moh. Fauzi Budayawan muda Sumenep juga memberikan gambaran tentang pemuda Madura saat ini, menurutnya fenomina sebagian (besar) kaum muda Madura sudah lebih senang Band dengan gitar dan keybordnya, dari pada menekuni saronen maupun kalennengan, bahkan budaya urban dan pop sudah menjadi gaya hidup kaum muda Madura (Radar Madura: 7/2/2007).

Praktis kita mungkin akan beranggapan bahwa semua fenomina tersebut diakibatkan oleh arus modernisasi yang begitu cepat merambat ke bumi Madura. Konsekuensinya telah mengeksploitasi nilai-nilai budaya masyarakat Madura, ironisnya malah banyak dianatar kita (masyarakat madura) meng-amini terhadap segala produk budaya yang dibawa oleh arus modernisasi tersebut. Apapun alasannya, kita tidak bisa (bahkan tidak boleh) menyalahkan modernisasi tersebut. Sehingga solusinya adalah memantapkan kearifan local yang bisa membendungnya, salah satu contohnya bahasa Madura yang menjadi salah satu unsur penting dari kebudayaan Madura, nyaris tak dipakai lagi dalam kehidupan sehari-hari, padahal dalam konsep kebudayaan  bahasa menunjukkan Bangsa. Kalau hal yang sederhana seperti ini saja sudah dilupakan, apalagi hal-hal yang lebih besar. Ketika seperti ini terjadi, penulsi jadi ingat pada bahasa salah satu iklan yang mengatakan Tanya Kenapa?.

KKM: Mimpi Nasionalisme dan Revitalisasi Budaya

Kongres Kebudayaan Madura (KKM) merupakan langkah positif yang visionir demi eksistensi dan perkembangan kebudayaan Madura kedepan, selama ini kebudayaan Madura hampir tidak pernah disentuh oleh orang-orang Madura, apalagi oleh orang lain (Dr. A. Latief Wiyata: Radar Madura 5/3/2007). Dengan KKM kita berharap bisa melihat konvigurasi kebudayaan kita dewasa ini dan menyiapkan strategi kebudayaan untuk masa depan masyarakat Madura yang lebih baik dalam berbagai aspeknya (Djamal D. Rahman: Radar Madura 5/3/2007). Kongres Kebudayaan Madura (KKM) diharapkan mampu mengidentifikasi potensi dan kendala pengembangan SDM Madura, hal itu merupakan moment tepat untuk menentukan arah pendidikan yang sesuai dengan budaya Madura (Prof. Sukur Ghazali: Radar Madura 5/3/2007).

Itulah sebagian harapan dari sekian banyak harapan yang ditumpuhkan pada pelaksanaan KKM, disadari atau tidak semua harapan di atas merupakan mimpi ideal  untuk terciptanya sebuah iklim kebudayaan Madura yang asri dan sesuai dengan cita-cita adiluhung. Paling tidak semua stetment di atas merupakan representasi dari harapan besar masyarakat Madura secara umum untuk melahirkan kembali serta menyiapkan strategi kebudayaan yang prospektif.

Kalau kita coba tarik ke akar persoalan diadakannya KKM tersebut, ternyata kita akan menemukan point penting yang menjadi dasar KKM itu, yaitu minimnya apresiasi dan sentuhan terhadap kebudayaan local Madura, ironisnya itu malah dilakukan oleh orang Madura sendiri. Rasa kepercayaan untuk mengangkat nilai-nilai kebudayaan local Madura ternyata sangat minim, sehingga semua iu mengakibatkan hilangnya autentisitas kebudayaan local Madura, bahkan kekayaan budaya local Madura yang dulu katanya sangat beragam kini sudah mulai langka.

Dari permasalahan di atas, pada akhirnya kita akan menmukan benang merah bahwa akar persoalan yantg krusial yang tengah melanda masyarakat Madura saat ini adalah minimnya nasionalisme kemaduraan yang dimiliki masyarakat Madura sendiri. Secara factual kita sudah dapat membuktikan betapa hampir sebagian besar masyarakat Madura sudah tidak lagi memperhatikan eksistensi serta masa depan kebudayaannya. Mereka sudah lebih bangga mengadopsi kebudayaan luar sebagai salah satu produk modernisasi. Selain itu, ragam kesenian yang dimiliki Madura juga sudah tidak mendapat ruang apresiasi dari masyarakat Madura sendiri, mereka lebih senang menonton berbagai kesenian yang diimpor dari luar. Yang tak kalah krusialnya adalah bahasa ibu (Madura) yang konon diakui sebagai cirri khas eksistensi Madura, sekarang sudah mulai langka dan bahkan orang Madura sudah alergi dengan bahasa tersebut.

Segala persoalan tersebut diharapkan bisa dijawab secara tuntas oleh KKM, KKM adalah mimpi ideal masyarakat Madura demi lahirnya nasionalisme kemaduraan yang kokoh. Segala apa yang dihasilkan dalam KKM tersebut akan menjadi acuan serta gambaran kebudayaan masa depan. Se;lain itu, juga diharapkan menjadi point penting  bagi revitalisasi kebudayaan Madura, yang pada akhirnya  akan ditemukan akar kebudayaan Madura yang humanis dan aplikatif, sehingga munculnya pertanyaan untuk apa dan untuk siapa KKM itu digelar, akan menemukan jawaban kongkriet di kemudian hari. Amien.

Santri dan Tantangan Transformasi Global

Santri dan Tantangan Transformasi Global
Oleh: Ahmad Wiyono

Pergulatan zaman, kecanggihan sains dan tekhnologi, serta derasnya gelombang transformasi multi deminsi tentunya akan mempuyai pegaruh tersendiri terhadap kehidupan santri, hal ini sudah tidak dapat kita pungkiri lagi sebab kemajuan tekhnologi lebih-lebih informasi telah berhasil masuk dan berkembang di dunia santri, karena yang jelas santri yang notabeni merupakan komunitas belajar (penuntut ilmu) juga merasa perlu untuk mengkonsumsi segala bentuk informasi baik yang dari dalam maupun dari  luar, demikian pula pesantren yang secara factual merupakan institusi yang mengfasilitasi komonitas santri juga tidak bisa memfilter secara utuh masalah tersebut, sehingga pada puncaknya santripun tidak sadar bahwa segala bentuk informasi yang telah di adopsinya merupakan ekspansi penjajahan implitif untuk mengeksploitasi budaya kesantrian itu sendiri.

Dalam pandangan spesifik, implikasi  atau pun dampak yang timbul terhadap sosok santri yang disebabkan oleh arus informasi memang tidak begitu Nampak, karena santri masih terkoptasi oleh aturan main pesantren yang ada, namun pada esensinya prilaku serta gaya hidup santri (baca yang terpengaruh) perlahan tapi pasti telah mengarah pada proses penurunan nilai-nilai kesantrian, contoh kecil misalya seorang santri yang mengidolakan seorang selebriti, maka dia cenderung meniru bagaimana prilaku serta gaya hidup dari yang di idolakan dan di idamkanya tersebut.

Coba kita bayangkan beberapa waktu yang lalu betapa kehadiran sosok F4 di dunia pesantren telah mampu mengobok obok kehidupan santri baik dari penampilan, asesoris, gaya hidup dan lain sebagainya, selain itu kehadiranya telah berpengaruh terhadap pola konsumtif yang realtif tinggi, dalam artian akibat memprofilkan bintang tersebut bayak santri yang berlomba-lomba membeli poster, buku, kaos, dll yang kesemuanya bergambar bintang tersebut. satu lagi yang tak kalah krusialnya yaitu ketika santri telah terhipnotis dengan lagu-lagu india.  “my darling I love” misalnya, lagu yang bertajuk bahasa Inggris ini berhasil masuk dalam kehidupan santri, fenomena tersebut sudah tidak dapat kita pungkiri lagi sehingga siyalemen yang muncul kemudian adalah santri tidak lagi disibukkan untuk menghafal muhradat-muhradat, membahas tensis atau mendiskusukan tentang gender, vaminisme dan lain sebagainya, akan tetapi santri lebih disibukkan untuk mengahafal syair dari lagu-lagu tersebut, jika siyalemen di atas memang benar betapa naïf nasib santri saat sekarang ini.

Menurut hemat penulis, santri sebagai komonitas belajar (penuntut ilmu) seharusnya bersikap selektif di dalam mengadopsi segala bentuk informasi dan budaya luar yang masuk ke dunia pesantren. Jika kita lihat secara luas, dekadensi moral yang melanda generasi muda saat sekarang ini hampir seluruhnya di sebabkan oleh masuknya budaya luar yang kemudian langsung dikonsumsi tanpa adanya obsevasi lebih jauh.

Menipisnya budaya ke santrian, jika kita komparasikan dengan situasi dan kondisi budaya madura yang kian termarginalkan oleh budaya lain (luar Madura) teryata kesenjangan tersebut disebabkan oleh adanya pembunuhan karakter budaya, dan yang paling ironis pembunuhan tersebut malah dilakukan oleh orang Madura sendiri seperti yang pernah di ungkapan oleh Drs. IBNU HAJAR M SI, bahwa untuk mencari akar kebudayaan yang humanis dan aplikatif orang Madura harus melepaskan sikap gengsi yang tak beralasan (seminar budaya PC PMII sumenep 20 feb 2003). demikian pula santri yang identik dengan budaya kesantrian (islami) teryata telah mengalami dekaradasi budaya yang hal itu disebabkan oleh adanya pembunuhan karakter budaya yang malah di likukan oleh santri sendiri, mereka berasumsi bahwa budaya kesantrian merupakan budaya klasik, konservatif, tidak relafan dengan perkembangan zaman, dan lain sebagainya  

Berbagai asumsi miring di atas dalam satu sisi kayaknya memang perlu di maphumi, namun disisi yang lain wajib  untuk dikritisi bersama karena yang jelas asumsi-asumsi tersebut lahir akibat keteledoran santri yang teryata lebih memihak terhadap perkembangan saman, modemisme, (lebih-lebih) westernisasi yang dalam pandangan mereka hal itu lebih indah menarik dan lebih asik, padahal andai saja mereka (santri) mengetahui bahwa merekalah sebenarnya objek prioritas dari pada masuknya budaya-budaya tersebut, dalam artian santrilah yang akan di jadikan tumbal oleh budaya itu sendiri, sungguh malang nasib santri yang tidak sadar bahwa ada belati dusta (misi munafik) yang dibawa oleh westernisasi dan modernisasi tersebut.  

Diskripsi menarik sebagai kongklusi sederhana dari wacana empirik di atas adalah bahwa eksistensi santri saat sekarang ini mengalami pergeseran nilai-nilai kesantrian yang hal itu di sebabkan oleh bebasnya informasi yang masuk ke dunia santri, selain itu terjadinya pembunuhan karakter budaya yang dilakukan oleh santri sendiri. oleh karena itu solusi alternative yang dapat menulis tawarkan adalah selektifitas seorang santri dalam mengadopsi segala bentuk informasi harus dijadikan komitmen yang kemudian dapat diaplikasikan dalam kehidupan. selain itu santri harus bisa menelaah konsekuensi krusial dari pada masuknya budaya budaya luar tersebut. dan juga pembunuhan karakter yang menggakibatkan sifat gengsiisme yang tak beralasan sudah saatnya dibuang jauh-jauh dalam kehidupan santri.

Menyoal Program BKM


Menyoal Program BKM
{Telaah Kritis terhadap Upaya Politisasi Pendidikan}
Oleh: Ahmad Wiyono

Beberapa waktu yang lewat pemerintah RI kembali mengeluarkan kebijakan baru berupa pemberian Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) yang dialokasikan kepada kurang lebih 400.000 mahasiswa diseluruh Indonesia yang dalam pemahaman pemerintah terkategori sebagai mahasiswa dari keluarga miskin, idealnya bantuan ini tidak jauh berbeda dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang telah digulirkan lebih awal kepada pendudk miskin di Indonesia, yang secara factual hanya akan didapat oleh mahasiswa yang betul-betul tergolong pada kelas ekonomi menengah kebawah.

Ada banyak versi yang terus mencuak seiring dengan dilahirkannya kebijakan tersebut, hal ini jelas sesuatu yang wajar karena saat ini Indonesia baru saja dihadapkan pada persoalan besar yang praktis menjadi berita buruk bagi bangsa Indonesia. Keputusan dinaikkannya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan isu besar yang akan terus actual sekaligus menyedihkan bagi bangsa Indonesia, maka sangat wajar jika keputusan untuk memberikan bantuan khusus kepada mahasiswa akan terus menuai protes bahkan penolakan dari berbagai elemin masyarakat.

Kabar terbaru barangkali bisa kita potert dari gerakan aktifis mahasiswa Jember yang jelas-jelas menolak program BKM tersebut. Kedatangan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) ke kabupaten Jember beberapa waktu yang lalu disambut aksi demonstrasi besar-besaran oleh beberapa elemen mahasiswa, tujuannnya tidak ada lain kecuali hanya untuk menyatakan sikap bahwa mereka menolak dengan tegas kebijakan pemerintah untuk memberikan BKM, karena para mahasiswa menilai kebijakan itu justru hanya akan mengkebiri konsistensi gerakan mahasiswa, bahkan dalam bahasa yang agak kasar program tersebut dikeluarkan hanya sebagai upaya pemerintah untuk membungkam suara lantang mahasiswa dalam memperjuangkan nasib rakyat ditengah gejolak kenaikan BBM (Sindo, 29 Mei 2008).
Itu hanyalah contoh kecil dari beberapa kejadian factual yang telah terjadi dibelahan Nusantara ini, gerakan aktifis mahasiswa di Jember hanya gambaran kecil bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut sangatlah tidak realistis bahkan terkesan kaku.

Dapat kita bayangkan, ditengah carut-marutnya kondisi perekonomian bangsa, termasuk menderitanya rakyat akibat naiknya harga BBM, lagi-lagi pemerintah malah mengeluarkan kebijakan tentang BKM, pertanyaannya adalah apakah kebijakan ini memang betul-betul murni upaya pemerintah dalam meringankan mahasiswa yang tergolong miskin, atau jangan-jangan semua itu adalah upaya konspiratif untuk menghentikan gerakan mahasiswa dalam menyuarakan kebebasan  serta kemerdekaan rakyat ditengah naiknya harga BBM, atau sederhananya ini adalah pengalihan isu untuk membendung gejolak massa.

Tulisan singkat ini akan mencoba menganalisis secara gamblang diskursus tersebut, Pertama: kita awali dengan mencoba melihat kondisi riel masyarakat Indonesia pasca dikeluarkannya kebijakan naiknya harga BBM, secara konseptual keputusan itu didasari oleh adanya pertimbangan untuk menyelamatkan APBN, karena naiknya harga minyak mentah dunia sekian persen per-barel, sehingga mau tidak mau harga BBM harus dinaikkan. Pertimbangan lain subsidi BBM yang diberikan pemerintah selama ini secara factual tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh masyarakat akar rumput, justru banyak dimanfaatkan oleh kalangan elit, maka dalam upaya objektifikasi subsidi BBM tersebut pemerintah harus mencabut subsidi BBM yang berimplikasi pada dinaikkannya harga BBM, yang idealnya subsidi yang dicabut tersebut akan tersalurkan secara tepat, objektif kepada masyarakat yang betul-betul berhak menerimanya.

Kedua: Konsep utama pemerintah untuk melakukan objektifikasi penyaluran subsidi  BBM yang telah dicabut itu, maka diputuskanlah  pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT jilid II) kepada masyarakat miskin. Lagi-lagi secara konseptual upaya ini dalam rangka memberikan bantuan secara objektif kepada masyarakat tidak mampu, sehingga mereka yang betul-betul membutuhkan akan secara langsung merasakan bantuan tersebut.

Ketiga: Kita mencoba mengkaji secara kritis kedua konsep di atas setelah direalisasikan di Negara tercinta ini. Fakta berbicara, ternyata yang terjadi di lapangan malah tidak sesuai dengan yang diharapkan, dari awal rencana realisasi kebijakan tersebut telah menuai kontroversi dari level masyarakat bawah hingga tingkat elit, hal itu disebabkan oleh karena kebijakan tersebut masih jauh dari harapan masyarakat. Pencabutan subsidi BBM yang kenudian diproyeksikan untuk diberikan secara langsug dalam wujud BLT justru menyusahkan rakyat sendiri. Bayangkan BLT yang direncanakan akan segera dicairkan malah menuai protes, fakta dibawah banyak BLT yang masih ditahan oleh petugas, akibatnya masyarakat bergejolak dan berimbas pada munculnya konflik di tingkat bawah.

Akibat dari persoalan tersebut, maka terjadilah gelombang aksi demonstrasi yang terjadi diseluruh pelosok nusantara, mulai dari masyarakat biasa hingga kalangan mahasiswa memprotes bahkan mengecam kebijakan tersebut, tidak hanya itu, tindakan anarkhis juga tak bisa dihindari seperti pembakaran poster Presiden dan wakil Presiden yang menjadi symbol kekesalan terhadap orang nomor satu di negeri ini yang dianggap telah bertindak semenah-menah, ujungnya terjadilah penangkapan bahkan penganiayaan terhadap aktifis demonstran oleh aparat keamanan.

Nah, ditengah santernya isu kecaman dan gelombang aksi penolakan terhadap kebijakan  pemerintah tersebut, secara tiba-tiba pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan bantuan kepada mahasiswa berupa BKM sebagai salah satu upaya objektifikasi penyaluran subsidi BBM, maka kontan kenyataan tersebut langsung menuai kontroversi yang luar biasa dari kalangan mahasiswa sendiri, karena hal itu justru melahirkan persepsi miring berupa indikasi “pembungkaman” mahasiswa yang selama ini ada di barisan depan untuk mengecam pemerintah. Logikanya ketika mahasiswa sedang hangat-hangatnya membela hak-hak rakyat, mereka malah akan digelontor bantuan uang yang dicurigai untuk menghentikan gerakan mereka.

Inilah realitas yang sangat mengecewakan yang telah dilakukan oleh penentu kebijakan negeri ini,  satu langkah yang sama sekali tidak realistis untuk dilakukan oleh sebuah negeri sebesar Indonesia. Pemebrian secara langsung kepada mahasiswa  sama artinya membuka celah kepada mahasiswa  untuk menjadi mitra perselingkuhan dalam rangka memuluskan rencana realisasi kebijakan pemerintah tersebut. Maka secara tegas bahwa bagi kalangan akademis dapat kita tafsirkan dan rasionalisasikan bahwa kebijakan tersebut merupakan “ide gila” yang dilahirkan dalam kondisi bangsa yang sedang labil.

Selain itu, pemberian BKM kepada mahasiswa dinilai oleh banyak kalangan bukanlah solusi tepat, sebenarnya yang lebih bijak pemerintah harus berfikir bagaimana membebaskan biayapendidikan terhadap mahasiswa secara sistemik. Pengamat Pendidikan Winarno Surakhmat mengatakan, lebih realistis jika pemerintah menggratiskan SPP bagi mahasiswa yang kurang mampu, karena penggratisan biaya kuliah mahasiswa jauh lebih tepat untuk membantu rakyat miskin dari pada memberikan bantuan langsung kepada mahasiswa lewat program BKM. Selain itu, mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu, lebih pas jika dibantu untuk pembelian buku, karena didasari oleh semakin mahalnya harga buku di pasaran. Maka sangatlah pas jika pemerintah menyalurkan bantuan lebih pada pengadaan buku dengan segala model yang bisa ditempuh. Misalnya mahasiswa yang kurang mampu diberi kupon pembelian buku dan mereka bisa mengambil buku di beberapa took buku yang telah ditunjuk, mereka cukup dengan hanya menukar kupon tadi, selanjutnya pemerintah yang akan membayar seluruh keuangan buku tersebut.

Lantas apakah semua rencana pemerintah yang –konon katanya ideal- sudah mampu menjadi representasi upaya kesejahteraan masyarakat luas, jika ternyata fakta di bawah justru selalu menuai masalah. Pemerintah selalu melahirkan kebijakan yang justru melahirkan kontroversi termasuk kebijakan untuk memberikan BKM. Nah fakta ini sudah cukup menjadi indicator bahwa pemerintah belum siap dalam setiap mengeluarkan kebijakan baru. Disini kita temukan betapa BKM yang secara konseptual dirumuskan untuk membantu mahasiswa miskin, sebenarnya tidak lebih dari upaya licik yang dijadikan senjata untuk melindungi pemerintah dari setiap resiko kebijakan yang telah digulirkan sebelumnya. Sekali lagi BKM adalah upaya pembungkaman terhadap suara lantang dan gerakan mahasiswa untuk membunuh dan mematikan ghiroh dan komitmen para mahasiswa itu sendiri.

Kamis, 07 Juni 2012

Antara Bahasa Hati dan Angan-angan Cinta


Antara Bahasa Hati dan Angan-angan Cinta
(Catatan Cinta Terlarang Batman dan Robin)

SETIAP MANUSIA di dunia ini hampir pasti menginginkan hisup seperti layaknya orang lain yang berkehidupan secara normal, menjalani kehidupan secara kodrati dan mampu berperan secara hakiki. Itulah sebabnya manusia tercipta dengan berpasang-pasnagan antara laki-laki dan perempuan, agar bisa saling berinteraksi dan saling menutupi satu sam lain.

Namun kadang takdir berbicara lain, catatan sejarah manusia yamg dilakoninya pada masa lampau kadang menjadi cikal bakal lahirnya catatan baru dihari esok, sehingga apa yang sempat diharapakn oleh dirinya dan orang lain tidak bernanding lurus dengan realitas dikemudian hari.

Setidaknya itulah yang tergambar pada perjalanan Amir, seorang pemuda dalam puisi Cnta terlarang Batman dan Robin, seorag pemuda yang terpaksa harus bertarung melawan kejujuran hati dan cintanya.

Proses perkenalannya -yang berujung pada keakraban yang kebablasan- dengan seorang Bambang membuatnya lupa bahwa di luar sana ada mahluk Tuhan yang sebenarnya lebih tepat untuk dijadikan pendamping masa depan. Entahlah, barangkali hanya karena dia tidak berkesempatan untuk melihat mahluk di luar sana sehingga menyinpulkan bahwa Bambang adalah teman hidupnya hingga akhir kahyatnya.

Tek terhitung berapa lama Amir menjalani hari-harinya dengan bambang, seakan ia sudah menemukan segalanya dari kehidupan yang dijalaninya itu.

Namun demikian, keputusan untuk terus bersama-sama dengan bambang ternyata harus berbadai, Dogma agama yang dia pelajari di Pesantren menjadi salah satu alasan awal mulai retaknya “cinta terlarang” diantara mereka. Alhasil mereka pun akhirnya berpisah. /Kalau begitu kita harus berpisah, sayang/bagaikan sembilu rasanya janji/untuk tidak bertemu lagi/Amir, kata Bambang, Aku Pamit/jadilah suami yang baik/.

Sejak saat itu Amir mulai berusahasa untuk “menyulap” dirinya menjadi sosok manusia yang kodrati, dia pun berjuang untuk menaklukkan angan-angan cintanya melalui kejujuran hantinya, hati yang sebenarnya masih mengakui keberadaannya sebagai laki-laki. Maka: /suatu sore disebuah taman/didekatinya sarinah, dirangkulnya, dipeluknya, diciumnya, -siapa tahu asmara bisa menyala/semuanya sia-sia/.

Barangkali lantaran terlalu lamanya dia bermain cinta dengan Bambang, sehingga mengakibatkan Asmara yang seharusnya dia nyalakan bersama sang lawan jenis menjadi tidak berarti apa-apa, malah tak ada sesuatu yang dia rasakan ketika dia mencium sarinah.

Hal itulah yang mebuat hari-hari Amir menjadi tak bercahaya, hampir tiap hari kehidupannya selalu diwarnai kemurungan, pergolakan cinta telarangnya masih terus membara, sementara kejujuran hatinya juga terus tak mau kalah. Itulah gemuruh badai kejujuran hati  melawan angan-angan cintanya yang tak pernah sepi dalam hari-harinya.

Adalah sang Ibu yang secara naluri sudah mencium aroma itu mencoba untuk mendekati sang buah hatinya, dengan sangat halus dia mencoba unuk membujuk Amir agar bercerita apa adanya. Meski sebenarnya sang ibu itu sudah menaruh kecurigaan terhadap anaknya itu.

Sang Ibu yang lembut itu mencoba merayu anaknya agar segera menikah dengan gadis yang sebanrnya merupakan murid kesayangannya, namanya Rini. Amir tak mampu bergeming, karena dia tak mau Ibunya tercinta harus tahu siapa dia sebenarnya, maka ketika pesan iu telah menjelma menjadi wasiat karena sang Ibu telah Memejamkan mata untuk selamanya, Amir pun terpaksa melakukannya.

Tapi sayang, bukan semata-mata pernikahan itulah yang diharapkan oleh sang Ibu yang telah Almarhun itu, jauh dibalik usahanya menyuruh anaknya untuk nikah ialah agar Amir bisa juur tetang kondisi dirinya. kejujuran itulah yang sebenarnya dinanti oleh seorang Ibu Amir, sosok ibu yang sejati, yah Ibulah itu Bidadari yang berselendang Biang Lala (D. Zawawi Imron: IBu)

Sang ibu Amir  itu akhirnya tersenyum di alam sana ketika Amir berani membuka topengya, dan mengatakan pada dunia siapa dia yang sebenarnya. Dan senyum ibunya semakin mekar untuk yang kedua kalinya ketika Amir sudah insaf dan berikrar untuk bangkit didepan puasar Ibunya. /Ibu di alam sana kembali tersenyum/anaknya memang tengah luka/tapi itu hanya awal menjadi perkasa/karena Amir sudah berani terbuka pada Dunia/. (*)

Minggu, 20 Mei 2012

Demi Sebuah Karya

Sekapur Sirih
“Demi Sebuah Karya”

“Aku Menulis, maka Aku Ada”, itulah kata bijak yang pernah dilontarkam oleh Almarhum KH. Zainal Arifin Thaha seorang penulis hebat asal Yogyakarta, dari bahasa itu beliau hendak menceritakan dan menegaskan bahwa eksistensi manusia akan Nampak jika mereka mampu berkarya dan semua itu sudah terwujudkan dalam bentuk karya tulis.

Sosok pria yang semasa hidupnya akrap dipanggil Gus Zainal itu nampaknya sangat getol mensyiarkan pentingnya menulis dalam kehidupan sehari-hari, sehingga seakan-akan dia berikrar bahwa Manusia itu sama dengan  tidak ada (wujuduhu ka adamihi) jika selama hidupnya tidak pernah menulis, itulah setidaknya makna filosofis Aku Menulis maka Aku Ada.

Spirit itulah yang terasa menjadi cambuk panas bagi saya untuk sekedar bisa mengumpulkan beberapa kayra tulis hingga menjadi buku yang sangat sederhana ini, rasa-rasanya tidak ada niat apapun dari munculnya buku ini terkecuali hanya dalam rangka untuk mewujudkan cita kemanusian saya hingga terakui menjadi manusia yang betul-betul “ada”.

Pada dasarnya Buku ini hanya merupakan kumpulan Artiekl pendek yang hampir semuanya pernah dimuat di media Cetak (Lokal dan Nasional), yang rasanya menjadi mubaddzir jika dibiarkan tercerai berai. maka inisiatif untuk mengumpulkan karya itu muncul yang diawali dari rasa panas saya ketika beberapa kali membaca Bukunya Gus Zainal.

Sedikit bercerita bahwa saya sudah gemar menulis sejak di bangku MTs (setara SMP), nah beberapa tulisan itu muncul dibeberapa media cetak, alhasil beberapa waktu yang lalu saya sempat mengklasifikasi tulisan-tulisan itu berdasarkan tema, sehingga muncullah tulisan yang bertema Pendidikan dengan jumlah paling banyak, meskipun tema-tema lainnya juga tidak sedikit yang sudah bermunculan di media.

Akhirnya terkumpullah karya itu menjadi sebuah “Antologi” Artikel seperti yang ada di hadapan pembaca saat ini. Meski sangat sederhana, namun inilah sebuah karya, ukuran baik jelak menjadi sangat relative, apalagi jika kita ingat pada satu maqal “berkaryalah meski sekali dalam hidup”. Rasanya semua akan menjadi luar biasa sejelek apapun karya itu.

Awalnya saya bingung bagaimana cara menerbitkan buku ini, karena sangat tidak mungkin jika tulisan-tulisan tersebut akan ditawarkan pada penerbit, mengingat susunan tulisan ini yang belum menyerupai Buku, apalagi ditambah persaingan penerbitan yang kian ketat, ah membuat saya kian tak pede untuk mengirim kumpulan karya ini pada penerbit.

Self Publishing akhirnya menjadi alternative sekaligus pilihan terbaik dalam proses penerbitan buku ini, ya tentu dengan biaya dan tenaga sendiri, sejak proses pengumpulan naskah, editing data hingga pada layouting. Wah begitulah perjuangan belajar membuat buku.

Namun itu bukan soal, bagi saya mampu mewujudkan keinginan untuk menerbitkan buku merupakan prestasi luar biasa, kepuasan pribadi yang bermanfaat bagi alam adalah kata kunci hidup saya.
Memang tidak gampang dalam melakukan aktifitas kepenulisan, banyak sekali cobaan, terutama waktu dn kemauan, apalagi jika dihadapkan pada lingkungan yang sepertinya “tidak tertarik” untuk menulis.
Saya menyadari betul di lingkungan saya saat ini jarang sekali saya temukan kawan-kawan saya bahkan senior-senior saya yang punya semangat untuk menulis, ya entah mereka punya kesibukan atau tidak, tapi yang jelas itulah faktanya.

Saya ingat betapa jogja menjadi sebuah kota yang tidak pernah sepi dari genersi Penulis, hampir setiap hari selalu bermunculan para penulis, awalnya saya berfikir kenapa itu bisa. Ternyata banyak hal yang manjadi faktor, meski endingnya ada pada kemauan setiap indifidu.

Setidaknya ada tiga fakta Jogja yang membuat kota itu terus produktif melahirkan penulis, Pertama: Iklim Akademis, Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan dengan ratusan sekolah dan Perguruan Tinggi yang tersebar disana, sementara salah satu factor yang dekat dengan dunia pendidikan adalah dunia tulis menulis. Kedua: Banyaknya Komunita-komunitas kepenulisan di Yogyakarta. Dan Ketiga: Hubungan sesama penulis –senioritas dan yunioritas- sangat cair dan mesra. (Baca: Mata Air Inspirasi/45).

Nah, itulah fakta Jogja, pertanyaan sederhanya adalah apakah Madura, atau lingkungan kita secara spesifik tidak mampu menirunya, kalau ujung pangkalnya ada pada kemauan setiap indifidu, sudah waktunya kita bangunkan Indifidu kita yang selama ini tertidur pulas.

Buku sederhana ini mencoba untuk memulai menjawab pertanyaan itu, setidaknya sebagai pelajaran awal untuk kita semua terutama bagi saya pribadi. Kedepan saya yakin akan banyak penulis yang juga akan menerbitkan buku-buku karya mereka.

Saya banyak berucap terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut andil dalam proses terbitnya buku ini, terutama Isteri saya yang telah banyak kehilangan waktu dengan saya karena sibuknya saya mengedit tulisan-tulisan ini.

Terimakasih dan salam hormat juga saya sampaikan kepada semua Senior saya seperti Bapak Rektor UIM Pamekasan, Bapak Dekan FKIP UIM pamekasan dan para senior yang lain yang tidak bisa saya sebut satu persatu, ternmasuk kepada semua sahabat-sahabat saya, “karena kalianlah saya selalu berusaha menatap masa depan”. Untuk Bapak Moh. Subhan yang sudi menyumbangkan sebuah tulisan untuk saya jadikan prolog dalam buku ini, saya juga ucapkan terimakasih.

Mudah-mudahan buku ini akan bermanfaat buat orang banyak, dan mudah-mudahan setelah ini akan muncul buku-buku baru yang lebih baik da lebih berkualitas. Selamat membaca.

Sabtu, 19 Mei 2012

Sepatu Butut


Sepatu Butut,
Dari Bangku Kuliah Hingga Meja Kerja

Kedengarannya mungkin agak aneh jika ada seorang mahasiswa mempunyai sebuah sepatu yang bisa bertahan hingga dia lulus bahkan masih bisa dipakai hingga menjadi karyawan (civitas akademika) pada kampus tempatnya kuliah tersebut.

Tapi tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, karena fakta itu yang pernah saya jalani, memang agak malu juga sih menceritakan semua ini, tapi ya begitulah faktanya.

Menginjak semester III (sekitar tahun 2005) saya berkesempatan membeli sebuah sepatu Pantofel, hal ini dimotifasi oleh keinginan saya untuk berpenampilan sedikit resmi. Meski dalam kondisi keuangan yang agak kritis saya memaksakan diri untuk membeli sepatu itu demi sebuah penampilan yang saya impikan sebelumnya. Ya meski pada akhirnya sepatu tersebut saya beli di trotoar (sejenis pedagang kaki lima), pertimbangan harga yang lebih murah dibanding harga toko itulah yang membuat saya mebeli sepatu itu di trotoar.
***
Senin pagi yang cerah saya berangkat dari kos-kosan menuju kampus dengan penampilan kali pertama menggunakan sepatu Pantofel, wow.. macam-macam respon kawan-kawan waktu itu, ada yang ngledek, ada yang memuji,  ada yang heran. Bahkan ada kawan yang sempat bilang dengan bahasa nyindir, “awas, ada Pak guru da Goa Hantu”, tapi bagi saya itu bukan soal. Prinsip saya waktu adalah biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Empat tahun lamanya saya kuliah dan  bertahan dengan sepatu itu, tak terasa kondisi sepatu itu mulai agak lusuh, maklum hampir setiap hari sepatu itu saya gunakan, mulai dari ke kampus, kegiatan organisasi dan semacamnya. Bahkan sepatu saya pakai menuju mimbar Wisuda sekitar tahun 2007.
Akhirnya saya pun berhasil meraih gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada tahun itu, sepatu itu terus setia menyertai saya.

Satu tahun pertama dari kelulusan, saya belum mempunyai aktifitas. Akhirnya untuk menghindari image negative terhadap sarjana maka saya meilih keluar tiap hari dari rumah dengan berpakaian resmi dan bersepatu itu yang seakan-akan saya seudah menjadi karyawan.

Hingga suatu ketika saya dipanggil oleh salah seorang Civitas di kampus saya, ternyata saya hendak direkrut menjadi saf di sana. Ya saya menerima saja, bahkan dengan sangat senang hati.
Aktifitas baru mulai saya tekuni sebagai staf, ada suasana baru saya rasakan. Tempat yang dulu menjadikan saya mahasiswa, saat itu berubah menjadi tempat bekerja dan mengabdi.

Namun demikian, ada yang tidak berubah, sepatu saya. Yah sepatu yang dulu saya pakai kuliah dan berorganisasi ternyata tetap saya pakai dengan jabatan beru saya sebagai staf. Bahkan sepatu butut itu bertahan hingga 1 tahun lamanya saya menjadi staf di kampsu itu. Setelah itu saya baru berfikir untuk mengganti sepatu butut itu.

Syukurlah akhirnya saya berkesmpatan utnuk membeli sebuah sepatu yang menurut ukuran saya sangat bagus. Namun sepatu butut yang telah setia menyertai saya sejak kuliah tetap saya simpan hingga saat ini, bahkan saya tempatkan berjajar dengan sepatu baru saya dan sandal-sandal saya yang lain.

Jumat, 30 Maret 2012

A. Haidar Jawis Syarqi Wiyono Putera

Kamis, 29 Maret 2012

Melek Informasi

Melek Informasi
Oleh: Ahmad Wiyono

Adalah Ruang Belajar Masyarakat (RBM) yang merupakan bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang terus getol meng-kampanyekan melek informasi terhadap masyarakat luas

Alfin Tofler, seorang Fotorolog terkemuka pernah mengatakan, barang siapa yang menguasai informasi, maka ia akan menggenggam dunia, satu pernyataan yang menggambarkan betapa sangat pentingnya sebuah informasi dalam kehidupan manusia, sehingga oleh Tofler diibaratkan mampu menggenggam dunia bagi manusia yang menguasai informasi.

Tentu bukanlah hal yang sederhana dalam memaknai “penguasa informasi”, ada banyak konotasi definitf terkait sang penguasa informasi tersebut, tapi setidaknya makna penguasaan informasi disini adalah keterlibatan kita sebagai mahluk Tuhan dalam setiap decade perubahan dan kemajuan zaman yang ditandai dengan merebaknya produk tekhnologi informasi.

Kalimat sederhana yang mungkin lebih mudah untuk kita ungkapkan adalah seseorang yang dikategorikan penguasa informasi adalah manusia yang tidak gagap terhadap berbagai produk dan kecanggihan tekhnologi informasi yang hampir setiap detik terus mengalami inovasi.

Bukankah kita sudah menyadari bahwa hampir semua informasi yang masuk dan mewarnai gerak hidup manusia selalu mengalami perkembangan, dan setiap perkembangan itu selalui diawaali dari berkembangnya produk tekhnologi informasi itu sendiri, maka wajar jika ada yang mengatakan bahwa saiapun yang menguasai informasi pastilah dia paham tekhnologi.

Tuntutan meguasai informasi saat ini tidak hanya terbatas pada kalangan masyarakat terpelajar yang ada di perkotaan, atau hanya bagi masyarakat yang stratifikasi sosialnya secara ekonomi menengah ke atas, akan tetapi tuntutan untuk melek informasi sudah merambah keseluruh masyarakat di saentero bumi nusantara ini.

Hal ini menunjukkan bahwa segenap lapisan masyarakat yang ada di pelosok-pelosok desa sudah diharuskan bisa mengakses informasi sesuai dengan kemampuan dari masyarakat itu sendiri. Meski kadang sedikit sekali masyarakat yang punya anemo untuk mengakses informasi itu sendiri. Itulah masalah yang sering kita hadapi.

Adalah Ruang Belajar Masyarakat (RBM) yang merupakan bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang terus getol mengkampanyekan melek informasi terhadap masyarakat luas, hal itu dilakukan sebagai upaya untuk penyetaraan konsumsi informasi terhadap lapisan masyarakat. semua itu diwujudkan melalui sosialisasi, pelatihan bahkan pada pendistribusian media informasi secara Cuma-Cuma kepada masrakat, yang semua itu dilakukan tidak lain hanya untuk merangsang kemauan masyarakat untuk berubah menjadi masyarakat yang cerdas.

Memang bukan hal yang mudah untuk merealisasikan idealisme tersebut. Apalagi problem utama adalah paradigma masyarakat yang masih apatis terhadap perkebangan zaman, akan tetapi tidak ada yang tidak mungkin jika semuanya konsisten dengan iktikat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sudah waktunya kita arahkan masyarakat kita menjadi masyarakat yang cerdas dan melek terhada informasi. Amien.

Mengenang Kubang Dikal






Rabu, 28 Maret 2012

Membangun Budaya Santun Dalam Gerakan Aksi Demo

Membangun Budaya Santun Dalam Gerakan Aksi Demo
Oleh: Ahmad Wiyono

Menjelang kenaikan harga Bahan bakar Minyak (BBM) yang sudah hampir pasti diberlakukan per 1 pril 2012 mendatang, gelombang aksi penolakan terus bergulir dari pusat hingga daerah. Beberapa pusat pemerintahan seperti kantor Wakil Rakyat hingga kantor pejabat Eksekutif terus dikepung ratusan massa dari berbagai elemin. Gejolak aksi itu sebagai symbol keglisahan rakyat terhadap kebijakan pemerintah tersebut.

Ada banyak model aksi yang telah dilakukan oleh massa tersebut, mulai dari aksi simpatik hingga aksi yang mengarah pada anarkhisme. Jelas secara naluri semua itu merupakan wujud pelampiasan rakyat atas kebijakan pemerintah yang diyakini akan menyengsarakan rakyat kecil.

Beberapa waktu yang lalu, ada peristiwa mengejutkan di Kabupaten Pamekasan, yaitu peristiwa Robohnya Pagar Beton Kantor DPRD Pamekasan itu ketika sekelompok mahasiswa melakukan aksi demonstrasi ke gedung DPRD Kabupaten Pamekasan, kericuhan pun nyaris mewarnai kegiatan aksi. Jumlah peserta aksi yang relative besar tak sebanding dengan jumlah aparat yang menjaga perjalanan aksi, tak ayal bemtrokan pun takdapat dibendung. Motifnya sangat sederhana yaitu hanya karena polisi melarang demonstran masuk ke areal gedung DPRD. Kondisi ini menyulut emosi para demonstran, sehingga pintu gerbang utama kantor DPRD Pamekasan dijebol oleh ratusan massa tersebut.

Fakta seperti ini selalu kita temui dalam setiap kegiatan aksi demonstarsi yang dilakukan oleh beberapa elemen aktifis mahasiswa, padahal kita tahu bahwa para demontrans sebagian besar merupakan kelompok intlektual dam masyarakat akademis yang punya kemampuan analisa yang tajam serta nalar kritis yang luar biasa yang seharusnya bisa menakar secara proporsional dampak negatif dari kegiatan aksi yang diwarnai kericuhan tersebut.

Setidakya mahasiswa bisa melakukan analisa social, apakah kegiatan aksi yang dilakukan oleh mahasiwa tidak mengganggu terhadap masyarakat luas. Ketika sikap anarkis dilakukan dalam kegiatan aksi yang diwujudkan dalam bentuk bakr ban dan memblokade jalan misalnya dengan tanpa berfikir bahwa banyak masyarakat kita yang juga berkepentingan dengan jalan yang kita lalui tersebut.

Belum lagi kerugian materi yang diakibatkan oleh tindakan anarkhis mahasiswa tersebut, bias kita bayangkam berapa banyak fasilitas umum yang rusak menjadi objek kebrutalan massa, ditambah lagi korban manusianya, tidak sedikit mahasiswa bahkan aparat yang terluka hanya gara-gara tindakan anarkhis tersebut. Logika sederhana yang buisa kita gunakan hari ini adalah kalau mahasiswa melakukan aksi demo dalam rangka memperjuangkan rakyat, lantas kenapa harus merusak fasilitas umum milik Negara yang notabeni itu semua dibeli dari uang rakyat. Apakah tidak menutup kemungkinan justru itu semua akan menyengsarakan rakyat.

Disinilah kemudian, mahasiswa juga diharuskan mempunyai kecerdasan berbudaya, adat ketimuran mengajarkan kita untuk selalu santun kepada setiap orang yang secara langsung ataupun tidak langsung berkomunikasi dan berinteraksi dengan kita, maka perlu kiranya mahasiswa berbenah untuk merubah pola gerakan yang selama terkesan selalu merugikan orang banyak akibat anarkisme dan kericuhan dalam setiap aksi yang mahasiswa lakukan.

Sebagai masyarakat akademis seyogyanya kita berfikir substantive dan detil, bukankah roh dari kegiatan aksi adalah medium untuk mneyampaikan aspirasi kepada pihak tertentu, lantas pertanyaannya sekarang jika aspirasi bisa kita sampaikan secara halus dan santun mengapa harus menggunakan jalan kekerasan dan anarkhisme?.

Maka sekali lagi, berbudaya santun adalah cara paling utama untuk merevitalisasi roh gerakan mahasiswa yang selama ini nyaris diklaim negtif oleh masyarakat akibat kericuhan yang selalu mewarnai dan merugikan masyarakat itu sendiri. Kita sadari bahwa gelora darah mahasiswa memang sangat luar biasa sehingga kadang tindakan yang dilakukan cendrung tidak realistis hanya karena mempertahankan satu prinsip yaitu Idealisme. Namun demikian tidak bisa kita pungkiri bahwa mahasiswa juga mempunyai tanggung jawab besar untuk memberikan pendidikan yang sehat kepada masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat terhadap gerakan mahasiswa tidak akan ternodai hanya karena ulah mahasiswa itu sendiri. Saatnya kita berdemonstrasi dengan budaya santun. Santun kepada masyarakat, santun kepada lingkungan. Katakan tidak pada anarkhisme

Memepertegas (Kembali) Pamekasan Sebagai Kabupaten Pendidikan

Memepertegas (Kembali) Pamekasan Sebagai Kabupaten Pendidikan
Oleh: Ahmad Wiyono*

Meski merupakan ide lama yang hari ini kembali diaktualisasi, namum perbincangan masalah Pamekasan yang di-idealisasikan menjadi sebuah kabupaten pendidikan dimadura, nampaknya terus mendapat perhatian serius serta apresiasi luar biasa dan berbagai pihak, mi menjadi indikasi kuat bahwa cita-cita tersebut bukanglah hanya harapan semu yang tidak bervisi apa-apa, akan tetapi lebih dari itu merupakan bagian dan idealisme yang akan segera direalisasikan secara nyata.

Sejak dahulu, Ada banyak hal yang telah dilakukan oleh berbagai pihak -baik tingkat akademisi, praktisi, dan yang lain- untuk mempersiapkan realisasi rencana tersebut, mulal dari penyusunan konsep sampai pada strategi actionya. Salah satu hukti upaya kongkret yang telah dilakukan oleh sebagian kalangan adalah digelamya Rembug Nasional dan Pra Kongres Forum Komunikasi Mahasiswa Pamekasan Seluruh Indonesia (FKMPSI) di yogyakarta beberapa wàktu yang lewat, -terlepas dan pertanyaan mengapa kegiatan mi diietakkan di yogyakarta- yang jelas pertemuan ini dirnaksudkan sebagai media representatif umtuk melahirkan konsepsi bersama serta merumuskan berbagai hal yang menyangkut persiapan Pamekasan menjadi Kabupaten pendidikan. Meski kegiatan ini hanya digagas oleh kalangan mahasiswa, namun apresiasi dari kalangan lainnya cukup luar biasa, terbukti dari sekian pesenta yang hadir pada saat itu terdapat banyak para akademisi, bahkan politisi dan lain sebagainya yang diyakini mereka punya kepedulian kuat terhadap pendidikan Pamekasan.

Sesuai dengan grand tema yang diusung waktu itu “Mempertegas Pamekasan Sebagai Kota Pendidikan” gagasan yang kemudian diinunculkan adalah bagaimana Kabupaten Parnekasan yang diyakini telah menjadi “kiblat” pendidikan madura mampu segera berbenah diri untuk lebih memperbaiki eksistensinya kearah yang lebih bennutu. Penulis mengatakan demikian, karena sejak awal kita sudah tahu bagaimana keberadaan pendidikan Pamekasan dimata madura, bahkan secara prestisius pendidikan di pamekasan memang sudah mendapatkan image yang bagus dari kalangan masyarakat madura secara umum. Sàlah satu contoh sederhana yang sering muncul adalah ketika anak-anak Sumenep bersekolah atau kuliah dipamekasan, maka mereka mendapatkan sanjungan dari masyarakat sekitar ketimbang sekolah atau kuliah di daerah sendiri atau ke daerah lain (baca: Kabupaten lain) selain Pamekasan di madura, nah, maka mimpi ideal ini dipandang sangat pas dan cocok dengan kondisi tersebut sehingga kita dengan mudah untuk menerjemahkan idealisasi tersebut.

Tidak hanya itu, berbagai prestasi yang sempat diraih oleh putera-puteri Pamekasan beberapa waktu yang tewat lewat sudah menjadi alasan kuat mengapa harus Pamekasan yang layak menjadi Kabupaten pendidikan, secara performent ini sudah sangat cukup menjadi modal keberadaan pendidikan dipamekasan. Akan tetapi satu hal yang perlu diingat bahwa ketika berbicara Pendidikan baik nasional lebih-lebih local Pamekasan, maka kita secara otomatis telah berbicara kebijakan, maka dalam konteks inilah keberadaan sarana dan infrastruktur pendidikan di pamekasan harus lebih siap dan lebih lengkap dari kabupaten lainnya di madura, termasuk kebijakan pemerintah dalam mem-back up pembiayaan pendidikan harus betul-betul maksimal.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah, sejauh mana peran pemerintah dalam melahirkan kebijakan dibidang pendidikan?, seberapa besar pula partisipasi pemerinntah daerah (PEMDA) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan melalui optimalisasi bantuan pembiayaan pendidikan?. Kalau selama mi ada sinyalemen bahwa anggaran belanja dibidang pendidikan di pamekasan sudah mencapai lebih dari 40°/o, yang hal mi sudah melebihi anggaran minimal pendidikan secara nasional, namun sekarang kehkawatiran yang muncul adalah: benarkah, dan objektifkah realisasi anggaran tersebut. Terlepas dan benar dan tidaknya hal tersebut yang terpenting sekarang adalah bagaimana meningkatkan kometmen kesadaran bersama, dan yang teipenting bagaimana meningkatkan optimalisasi peran pemerintah daerah terhadap upaya penerjemahan cita-cita luhur diatas, artinya bahwa logika positivisme harus kita gunakan sehingga tidak akan melahirkan masalah lain yang hanya akan menghambat proyeksi pendidikan tersebut, karena bagaimanapun cita-cita “Kabupaten Pendidikan” dibumi Gerbang Salam harus betul-betul kita perjuangkan.

Stelah beberapa lama mencuat kepermukaan, fakta lain berbicara, Upaya Untuk menjadikan Pamekasan sebagai kabupaten Pendidikan nampaknya mulai bergeser seiring bermunculannya beberapa icon baru di Kabupaten pamekasan, seperti Kabupaten batik yang mulai popular sejak pamekasan mendapat rekor Muri. Mimpi untuk menjadi kabupaten Pendidikan pun sudah mulai hilang pada waktu itu.

Namun demikian, semangat untuk mejadikan pamekasan sebagai kabupaten Pendidikan nampaknya tetap tumbuh subur dari benak masyarakat pamekasan (baik yang ada di daerah maupun yang ada di rantau), sehingga mimpi itu pun kembali disulam tepatnya terjadi pada akhir tahun 2010. bak gayiung bersambut Pamekasan pun akhirnya resmi (kembali) menjadi Kabupaten Pendidikan setelah dideklarasikan oleh Menteri Pendidikan Nasional Moh Nuh sebagai kabupaten pendidikan pada tanggal 24 November lalu.

Perlunya Karakterisitik
Kekhasan pendidikan menjadi sesuatu yang harus dimiliki oleh pendidikan Pamekasan, mi sebagai satu upaya mempersiapkan kondisi pendidikan yang bermutu, apalagi kita sadar bahwa keinajuan suatu hal salah satunya disebabkan oleh tingginya karakteristik dan suatu hat tersebut, maka inilah yang penulis maksudkan dengan pentingnya karakteristik pendidikan Pamekasan. Apa yang pemah ditulis oleh Uswatun Chasanah (Aktfis Mahasiswa UIN Yogyakarta) tentang perlunya karakteiistik sudah menjadi gambaran kuat bahwa Pamekasan sebagai kabupaten pendidikan harus mempunyai kekhasan local yang lebih kontributif terhadap pengembangan kearifan local itu sendiri, salah satu contoh adalah keberadaan tipoogy masyarakat Pamekasan yang lebih menjunjung tinggi pendidikan agama misalnya (Baca: Radar madura, 08/07), nah dari sini kita hams betul-betul rnemaharni bahwa kondisi riel masyarakat Pamekasan adalah sangat kental dengan tipology tersebut, sehingga strategi yang bisa kita bangun adalah penyeseuaian tipologys serta Iangkah-langkah yang sama sekali tidak kontras dengan hal tersebut, bahkan harus sangat kontributif

Hal mi sangat relevan dengan salah satu rumusan yang dihasilkan dan pleno Rembug Nasional dan Pra Kongres FKMPSI dahulu, yaitu menjadikan model Pendidikan Pesantren sebagal model strategis untuk menciptakan iklim pendidikan yang Iebih berkualitas, kenapa demikian, karena ternyata hamper dari seluruh out put pesantren mampu memposisikan dirinya disegala bidang, artinya bahwa model pendidikan pesantren adalah pendidikan yang lebih menjunjung nilai-nilai ke-agamaan, narnun telah mampu melakukan adaptasi-akumolatiff dengan perkembangan zaman sehingga para lulusannya tidak akan pemah ketinggalan, maka dari sinilah kita tinggal mengawal dan mengarahkan secara proporsional sesuai dengan formulasi yang telah kita hasilkan dan akan segera kita realisasikan.

Tapi yang perlu digaris bawahi adalah bahwa apa yang penulis ungkap diatas bukan dalam rangka menggagas “Pesantrenisasi Pendkiikan” di Pamekasan, atau melakukan distorsi terhadap pendidikan secara umum, akan tetapi itu penulis maksudkan sebagai langkah representatif untuk mewujudkan cita-cita kabupaten pendidikan di-pamekasan yang penulis persepsikan tentang perlunya karakteristik pendidikan, yang hal mi bisa dimulai dengan melakukan penyesuaian terhadap tipology masyarakat yang kalau kita lebih sederhanakan bahwa masyarakat telah lebth banyak paham dan pereaya terhadap pendidikan pesantren.

Kemudian bagaimana ketika ada asumsi bahwa pendidikan Parnekasan terindikasi akan meniru pola pendidikan Yogyakarta? Yah, asumsi itu sah-sah saja disampaikan, dan menjadi sah pula kita menimba pengetahuan pada kota manapun. Tapi yang perlu dipahami adalah kondisi Sosio-Kultur masyarakat madura lebih spesifik masyarakat Pamekasan sangatlah jauh berbeda dengan yogyakarta, sehingga kalau seandainya pendidikan Pamekasan akan meniru pendidikan yogyakarta, maka kemungkinan besar akan sangat kaku dan tidak representatif menghadapi masyarakat Pamekasan. Oleh karena itu, akan menjadi sah juga kalau asumsi tersebut (Baca: Meniru Pendidikan Yogyakarta) kitatepis pada hari mi. Artinya dengan sangat berani kita akan menyatakan bahwa kita akan melakukan banyak hal mempersipkan Pamekasan menjadi kabupaten pendidikan dengan tampa harus mengadopsi pendidikan yogyakarta secara utuh.

Sementara itu, Kalau kita cermati lebih jauh lagi, ada satu cara yang diterapkan oleh pendidikan yogyakarta yang kalau hal mi kita realisasikan dipamekasan maka akan sangat kesulitan, seperti yang disampaikan oleh Alimad Rozaki, M.Si (Desen UGM Yogyakarta) bahwa yogyakarta -termasuk juga malang telah mampu mengkaitkan Isu Pendidikan dengan Isu Pariwisata. Nah dari sinilah kita akan menemukan kejelasan bahwa kita akan menjumpai kesulitan yang luar biasa kalau kita barus mempola pendidikan Pamekasan seperti Yogykarta, karena tidak mungkin menggandeng isu pariwisata untuk pendidikan Pamekasan untuk saat mi. Maka kemudian kita akan sepakat membuaat karakteristik pendidikan Pamekasan dengan tampa hams meniru sepenulmya pola pendidikan yogyakarta ataupun malang dan kota-kota lainnya. maka menurut hemat penulis yang paling efektif dan sangat representatif adalah kita kembali pada gagasan awal yaitu dengan mengaitkan pendidikan Pamekasan dengan isu pesantren atau isu ke-agamaan secara umum.

Ada beberapa hal lagi yang teiah menjadi rumusan sekaligus akumulasi gagasan yang difornulasikan menjadi kesepakatan bersama yaitu, untuk mewujudkan Kabupaten pendidikan di Pamekasan hal penting yang barns diperhatikan adalah urgennya partisipasi masyarakat secara umum, dalam konteks ini Iebih pada pentingnya rneningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pendidikan, karena realitas masyarakat Pamekasan ternyata masih banyak yang tidak paham akan pentingnya pendidikan, bahkan jumlah masyarakat buta huruf dikota gerbang salam mi masih mencapai kurang lebth 40 nbu jiwa, mi masalah yang harus segera diselesaikan, tapi jangan diartikan bahwa persoalan mi akan menjadi tantangan paling berat dalam mewujudkan kota Pamekasan sebagai kabupaten Pendidikan, karena kehawatiran seperti ini hanya akan melahirkan skeptisme yang beriebihan dan jika terus diwacanakan maka hanya akan melahirkan pesimisme yang berlebihan pula.

Ada satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua, yaitu tentang “ironi Pendidikan Pamekasan”. Kurangnya konsistensi dan kalangan birokrasi terhadap pendidikan (termasuk juga akademisi, politisi dan lain sebagainya), dan juga mininmya apresiasi masyarakat terhadap pendidikan ini menjadi dasar pemikiran teijadinya ironi pendidikan di Pamekasan, contoh sederhana misalkan beberapa waktu yang lewat pristise pendidikan Pamekasan terangakat sangat tinggi dengan hadirnya putera-puteri pamekasan menjadi pemenang beberapa olimpiade dan perlombaan Pendidikan dari tingkat nasional sampai pada tingkat inteniasional, akan tetapi pristise itu anjlok dengan tiba-tiba disebabkan oleh terjadinya kasus kriminal carok massal didesa bujur tengah beberapa waktu lalu, sehingga kasus ini mampu menutupi secara utuh pristise Pamekasan dibidang pendidikan. Nah inilah yang penulis maksudkan dengan ironi pendidikan di-pamekasan. Oleh karena itu untuk selanjutnya hal seperti mi harus kita antisipasi sehingga kondisi pendidikan baik secara kualitas maupum secara prestisius mendapat ruang image yang terus positif, sehingga mimpi ideal untuk “menyu1ap” Pamekasan menjadi Kabupaten Pendidikan akan sangat mudah kita realisasikan dalam waktu yang “sesingkat singkatnya“. Maka sudah saatnya kita berikrar “Selamat Pagi Pendidikan Pamekasan”. Wallahu A ‘lam Bisshowab.

Kompensasi, Oh Kompensasi

Kompensasi, Oh Kompensasi
Oleh: Ahmad Wiyono

Beginilah cara Pemerintah untuk "memperdaya" rakyat, disetiap rencana kenaikan BBM, pemerintah selalu menjanjikan kompensasi dari kenaikan BBM itu sendiri. dengan alibi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin, karena proyeksinya kompensasi itu khusus untuk rakyat miskin.

saat ini pemerintah telah menganggarkan kompenasi itu sebesar 25,6 triliun, hal itu diketahui setelah ada kesepakatan antara badan anggaran DPR dengan pemerintah. yang katanya uang itu nantinya akan diberikan kepada jutaan rakyat miskin diseluruh nusantara.

berdasarkan rilis dari beberapa media, dana itu nantinya akan diwujudkan dalam tiga program besar, yaitu Bantuan langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), dan bantuan Pembangunan Infrastruktur Daerah.

sepintas, beberapa kegiatan tersebut memang terlihar sangat strategis dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin, apalagi dengan munculnya peningkatan infrastruktur daerah tersenut, namun demikian ada banyak kecurigaan bhahkan kekhawatiran yang akan muncul pasca digulirkannya program-program tersebut.

kita masih ingat sejarah kelam lahirnya Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai wujud kompensasi kenaikan BBM beberapa tahun yang lewat, yang ternyata justru menjadi mimpi buruk buat rakyat kita, BLT yang dijanjikan pemerintah akan menjadi "dewa" penolong bagi masyarakat miskin justru berbalik arah menjadi petaka yang sarat dengan konfik.

bukan tanpa alasan jika asumsi itu kita berani munculkan, karena pada dasarnya tidak seedikit imbas negatif akibat bergulirnya BLT tersebut, selain realisasinya yang nyaris tidak tepat sasran, aroma pungli pun kadang tidak bisa dihindarkan, meskipun hal ini tidak mudah terungkap secara kasat mata.

Yang lebih parah lagi adalah efek mentalitas, yaitu terciptanya watak cengeng dikalangan masyarakat dengan lahirnya budaya menunggu pemberian dari orang lain, sehingga tidak tertanam semangat berusaha dan berjuang malah sebaliknya. Ini adalah persoalan klasik memang, bahkan banyak sekali orang yang dengan lantang berkata, seharusnya Pemerintah memberikan pancing bukan memberikan ikannya. Terlepas benar dan salah asumsi-asumsi tersebut, tapi yang jelas akibat munculnya BLT beberapa waktu yang lalu masyarakat kita sudah terbius menjadi manusia Indonesia yang tidak “Mandiri”.

Pertanyaan sederhananya adalah, mengapa pemerintah tidak belajar pada sejarah BLT, seharusnya kalau pun toh BBM terpaksa harus dinaiikan, tidak harus dibarengi kompensasi yang justru mendestruktifikasi kemandirian masyarakat kita. Sejak awal banyak sekali program yang berupaya untuk membangun kemandirian masyarakat terutama di desa-desa, namun kenapa hal itu semua justru harus dibayar dengan munculnya program kompensasi yang seakan sangat paradox dengan program kemandirian itu sendiri. Entah siapa yang bisa menjawab semua ini.

Senin, 26 Maret 2012

A. HAIDAR JAWIS SYARQI

A. HAIDAR JAWIS SYARQI
(Kau Lahir, Maka Gemparkan Dunia)

Engkau pun akhirnya lahir menyempurnakan hiruk pikuknya dunia sebagi kholifah. kutitipkan cambuk kecil ini, agar kau mampu taklukkan gunung yang tinggi dan gunung-gunung itupun akhirnya menjadi tak berdaya karena kehebatanmu.

Hari Jum’at, 2 Maret 2012, kata orang adalah hari dan tanggal paling keramat sepanjang sejarah perjalanan Dunia. Siapapun yang lahir pada tanggal tersebut akan menjadi manusia hebat, cerdas dan berguna bagi Agama, nusa dan bangsa. Tapi kau tak perlu bangga dengan ucapan banyak orang, karena bukan hari dan tanggal itulah yang akan membuatmu luar biasa, namun kesungguhanmu kelak yang akan membawamu menggapai semuanya itu.

Setelah genap 3x24 jam, akhirnya kuberi kau nama A. HAIDAR JAWIS SYARQI, tentu bukan tanpa alasan jika nama itu kami sandangkan kepadamu nak, melalui proses yang tidak sebentar nama itu sangat layak untuk kau sandang sebagai calon peminpin yang Sidik, Amanah, Tabligh dan Fathonah kelak.

Secara Harfiah, “Haidar” bermakna “seoarang Pemberani yang mampu berjalan melampuai teman-temanya”, konotasi majasnya haidar berarti Pendekar yang kuat dan tangguh serupa Singa padang pasir bagi Umar Bin Khattab. Sementara “Jawis Syarqi” berarti “jawa timur”. Jika disambungkan A. HAIDAR JAWIS SYARQI berarti “Ahmad Sang Pendekar Jawa Timur”.

Sory nak, bukan dalam rangka melebih-lebihkan, nama itu semata-mata hanya untuk jadi motivasi dan cambuk kepadamu kelak, bahwa kau harus malu jika tak mampu menjadi Pendekar Jawa Timur. Ibumu yang cerdas dan Ayahmu yang punya tekad tinggi akan menjadi saksi sekaligus guru perjalananmu kelak dalam menapaki kehidupan ini.

Yang terpenting lagi nak, Ayah dan Ibumu pernah bahkan sering kelaparan karena perjuangan, maka kelak kau harus berani berdarah-darah demi memperjuangkan sebuah jati diri. Karena dengan itulah idealisme hidup akan bisa kita capai, bahkan karena semua itulah nak, tidak jarang Ayah Ibumu selalu di’wah’kan oleh banyak orang. Bukan sok Hebat nak, tapi begitulah kenyataanya.

Kemandirian dan konsistensi cukup menjadi taruhan leberhasilan sesorang nak, maka jangan pernah sekali-kali kelak kamu bergantung pada orang lain. Jadilah dirimu sendiri. Karena hal itu yang telah dilakukan Ayah Ibumu. Berbanggalah jika kamu makan Nasi Jagung dengan “Buje Minnyak”, tapi itu hasil keringat kita sendiri. Ketimbang makan roti keju hasil pemberian orang lain. Bukan berarti kamu tidak boleh menerima pemberian dari orang lain, tapi jangan sekali-kali itu menjadi watak, justru beriktikadlah untuk selalu memberi kepada orang lain.

Selain itu nak, ayah ingatkan satu Firman Allah dalam salah satu suratnya yaitu “Iqra’”, kutanamkan ayat itu padamu agar kelak kau bisa meniru Nabi kita yang selalu arif dalam membaca kehidupan ini, termasuk mambaca buku-buku yang sudah menghias di kamar ini. Sekedar cerita untukmu Nak, Ayah dan Ibumu sejak dulu paling suka baca, bahkan tak ada waktu terlewatkan sedikitpun untuk bergelut dengan Buku, Majalah dan sebagainya. Intinya nak, Ayah dan Ibumu sangat bangga jika kelak kau betul-betul menjadi kutu Buku, dari pada jadi Kutu beneran.

Nak, tapi ingatlah perkataan Syaf Rizal l Batubara. kelak ketika kau sudah beranjak dewasa bersumpahlah: "jika kau tak mampu membawa Ibumu ke puncak gunung, maka bawalah gunung itu kri Ibumu". doa ayah selalu mneyertaimu....

Demetologi Pendidikan Perempuan

Demetologi Pendidikan Perempuan
Oleh: Ahmad Wiyono*

Wacana Kesenjangan Pendidikan perempuan dengan Laki-laki, pada dasarnya merupakan Metos soial yang sudah tidak relevan jika diwacanakan dalam konteks kekeinian, dizaman yang sudah serba maju ini. Karena Perempuan maupun Laki-laki sama-sama berhak untuk mendapat Pendidikan Yang Layak seperti yang telah diamanatkan oleh UUD 45

Perbincangna masalah perempuan nampaknya akan selalu menjadi perbincanagn menarik, baik dalam forum diskusi ilmiah bahkan pada perbimcangan sederhana yang barangkali hanya dulakukan oleh segelintir orang, hal ini diakibatkan posisi perempuan yang selalu menjadi diskursus ditengah masyarakat.

Konsep domestifikasi perempuan misalnya, acapkali dijadikan alasan untuk menggeser kiprah kaum perempuan dalam struktur sosial. Sehingga tak heran jika hal seperti ini terus menjadi wacana hangat yang sepertinya tidak akan pernah sepi dalam setiap perbincangan.

Dunia Pendidikanpun tidak luput dari rentetan wacana perempuan, persoalan kesenjangan pendidikan perempuan menjadi sesuatu yang terus digulirkan, sehingga mengakibatkan adanya sebuah stratifikasi yang sangat lebar antara pendidikan perempuan dan laki-laki.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah wacana semacam ini hanya merupakan wacana buta yang secara faktual tidak pernah terjadi, atau dalam bahasa lain hal itu digelindingkan hanya untuk menjustifikasi posisi perempuan agar selalu ada dibawah kaum pria, atau jangan-jangan wacana semacam ini justru memang merupakan fakta yang secara tidak sadar sudah dialami oleh kaum perempuan.

Terlepas dari kontroversi diatas, yang jelas ada kemungkinan bahwa kedua asumsi tersebut memang benar, namun demikian untuk membuktikan tingkat pendidikan perempuan di indonesia perlu kita membuka data statistik yang menjadi gambaran kuat akselerasi pendidikan kaum perempuan di negeri tercinta ini.

Menurut data yang ditulis oleh Eka Hamidah (Peneliti SCINIE Bandung), selama pereode 1971-1990 Pendidikan kaum perempuan yang tidak tamat SD dan tidak sekolah turun dari 80,07% 52,90%, sedangkan tingkat partisipasi di sekolah untuk penduduk wanita usia 7-12 tahun pada laporan yang sama menunjukkan angka yang menggembirakan, antara kaum laik-laki dan perempuan tidak berbeda, bahkan sedikit lebih banyak, yakni 91,55% berbanding dengan 91,35% (Seputar Indonesia: 21 April 2007).

Dari data diatas ada kesimpulan sementara yang bisa dijadikan alasan kuat tentang adanya metologi pendidikan perempuan yang hal itu cendrung mendiskriminasikan kaum perempuan, yaitu bahwa pada dasarnya sejak tahun 90-an pendidikan kaum perempuan sudah hampir setara dengan kaum laki-laki, hanya saja stigma yang terus menggurita kaum perempuan megakibatkan terus terpuruknya posisi perempuan dalam bidang pendidikan.

Wacana rendahnya penididkan perempuan pada dasranya merupakan metos soial yang terus bergulir dan mengancam terhadap konsistensi kaum perempuan itu sendiri, maka dari itu langkah cerdas untuk mengikis konsep kesenjangan tersebut merupakan langkah yang harus dilakukan oleh siapa saja –lebih-lebih kaum perempuan itu sendiri-, sehingga metos-metos tersebut dengan sendirinya akan bergeser dan dengan itu posisi Pendidikan perempuan akan terus bangkit dan menyetarai dengan Pendidikan laki-laki.

Bahkan perlu kita garis bawahi, bahwa Dalam konteks islam-pun sudah ditegaskan, bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi pendidikan antara laki-laki dan perempuan, justru pendidikan itu sendiiri menjadi wajib dimliki oleh setiap orang islam baik laki-laki maupun perempuan.

Dasar ini cukup mejadi alsan bagi kita untuk sama-sama menghapus kesenjangan pendidikan tersebut. Maka metologi Pendidikan Perempuan yang menyatakan bahwa perempan masih tertinggal dibanding laki-laki dalam sektor pendidikan harus kita minimalisir dalam upaya menciptakan iklim pendidikan yang setara tanpa harus mempersoalkan jenis kelmain masing-masing, karena sekali lagi laki-laki maupun perempuan sama-sama punya hak dan kewajiban untuk meiliki peniddikan yang memadai.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons