Rabu, 06 Januari 2016

Menggapai Esensi Kehidupan Hakiki

Judul : Mengaji Tajul Arus
Penulis : Ibnu Athaillah
Penerbit : Zaman
Cetakan : 1. 2015
Tebal : 528 Halaman
ISBN : 978-602-1687-36-9
Peresensi : Ahmad Wiyono

Kita tentu setuju bahwa setiap orang pasti menginginkan kebahagiaan, ya, kebahagiaan di dunia termasuk kebahagiaan di alam abadi. Makna kebahagiaan dunia selama ini diukur dari seberapa banyak kebutuhan kita yang tercukupi, dalam istilah lain, harta dan kekayaan yang bisa menutupi kebutuhan kita sehari-hari selalu menjadi ukuran kebahgiaan itu sendiri. Sementara kebahagiaan ukhrawi nantinya akan terwujud dalam bentuk capaian Ridla sang Ilahi yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya.

Untuk mencapai kebagian-kebahgian tersebut, setiap orang tentu memiliki cara dan upaya tersendiri, masing-masing akan bekerja dan berbuat sesuai dengan gaya serta target yang diinginkannya. Ini yang kemudian berimplikasi pada munculnya sistem kompetisi dalam kehidupan. Dan dari kompetisi inilah yang tak jarang melahirkan tindakan di luar batas kewajaran.

Dalam konteks itulah, manusia kadang tidak terukur dalam menerjemahkan makna kebahagiaan antara duniawi dan ukhrawi, gemerlapnya dunia kadang mampu menggelapkan akal sehat manusia sehingga tidak seimbang antara ikhtiyar keduniawian dan usaha ukhrawiyah.

Buku Mengaji Tajul Arus karya Ibnu Athaillah ini mengurai sisi edukasi jiwa manusia agar tak terlelap dalam gemuruh kompetisi duniawi, secara detile buku bergengsi karya Imam kenanaan ini berbicara tentang cara meniti hidup yang hakikiyah, yaitu hidup dengan penuh kesdaran menuju Ridla Tuhan. 

Selama ini kita kadang menganggap biasa perbuatan dosa kecil yang telah kita perbuat, kita meyakini bahwa dosa kecil itu akan mudah diampuni oleh Allah SWT, sehingga perbuatan dosa kecil tersebut bisa terulang untuk yang kedua dan bahkan kesekian kalinya. Dalam posisi inilah, kita sudah terhjerat pada keyakinan yang salah. Kita kurang peka bahwa sesuatu yang kecil yang dikerjakan berkali-kali akan menjadi besar.

Melakukan dosa kecil secara terus menerus lebih berbahaya dari pada melakukan sebuah dosa besar. Imam Al-Ghazali Rahemahullah mengatakan “Dosa besar yang berakhir dan tidak berlanjut lebih berpeluang dimaafkan dari pada dosa kecil yang dikerjakan terus-terusan. (Hal. 90).

Ini yang dimaksud pentingnya mendidik jiwa, Ibnu Ahaillah mengajak kita untuk sadar bahwa jiwa itu harus kita pupuk sebaik mungkin. Sehingga tidak salah memaknai sesuatu, termasuk memaknai dosa kecil yang dianggap enteng sehingga kerap dilakukan berulang-ulang.

Buku ini secara lengkap mengungkap hakekat hidup yang sebenarnya, kita akan dilatih mewaspadai tipuan-tipuan duniawi, termasuk hal-hal yang  mengotori hati dan menghalangi bersemayamnya cahaya Ilahi. Banyak sekali penyakit hati yang bisa membahaykan terhadap konsistensi kekaffahan keislaman kita di dunia ini, mulai dari sifat iri, dengki, hasut bahkan sifat pelit.

Seakan tak menyadari bahwa seluruh rezeki yang dimiliki oleh manusia merupakan karunia Allah yang sudah sewajarnya jika sebagaian itu dibagikan pada orang lain. Maka, hanya jiwalah yang bisa mengetuk akal logika manusia bahwa memberi kepada sesama merupakan perbuatan yang muliya. Termasuk yang terpenting adalah seluruh perbuatan baik yang kita lakukan semata-mata hanya untuk meraih Ridla Allah.
Jikau kau memberi maka pemberianmu ini hanya untuk Allah, bukan agar manusia menyebutmu dermawan atau pemurah. Sama halnya, ketika kita tidak memberi maka lakukanlah itu untuk Allah, bukan karena kepentingan duniawi yang murah. Jika kau membenci, bencilah karena Allah, bukan lantaran dengki dan ketidak sukaanm (Hal. 261).

Selain itu, cara lain untuk mendidik jiwa yang tertuang dalam buku ini adalah dengan mewaspadai hawa nafsu, sebagai mana kita tahu, bahwa hawa nafsu yang dimiliki manusia tak ubahnya sepeti bara yang siap mebakar kapan saja, maka jiwa yang sejuk dan bersandar kekuatan Allah akan mampu menjadi air yang menyiram bara tersebut. Maka, sejak dini manusia harus betul betul bisa menguasai hawa nafusnya agar tidak terjarah oleh nafsunya sendiri.

Semua maksiat dan dosa berasal dari nafsu karena ia memang cendrung kepadanya. Dengan begitu, nafsu menarik pemiliknya kepada siksa dan murka Allah. Maka, ingatkanlah ia kepada siksa-Nya agar ia kembali dan mendapat petunjuk  ke jalan yang benar. Ingatkan nafsumu bahwa nikmat dunia akan berujung dalam keburukan. Madu beracun harus ditinggalkan meskipun manis dan nikmat. Begitu pun kenikmatan dunia, ia harus ditinggalkan karena bersifat sementara dan menjadi pembawa bencana bagi pemiliknya kelak pada hari kiamat (Hal. 282-283).

Jalan terjal kehidupan dunia pada esensinya merupakan bagian dari jebakan nafsu, jika kita tak mampu mengendalikan, maka kita lah yang akan dijerumsukan, nafsu juga yang akan selalu mengajak manusia agar bisa berpaling dari jalan Allah dan Rasul-Nya. Sholat dan dzikir yang Istiqamah diyakini akan mampu mengendalikan nafsu secara bertahap, maka sudah seharusnya kita konsisten dengan ritual tersbut. Dan buku ini juga membahas seputar solat, dzikir dan rahasia-rahasianya.

Sempurna dan luar biasa, ini barangkali kata yang pas untuk menggambarkan buku setebal 528 halaman ini. Karya klasik Imam Ibnu Athaillah ini betul-betul menjadi tuntunan untuk kita bisa meraih kehidupan yang  sebenarnya. Buku ini menginspiasi kita untuk mengenal di mana kini kita berada, dan ke mana kita akan kembali. Wallahu A’lam

Ahmad Wiyono; Alumni PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep. tinggal di Pamekasan Madura.


Tulisan ini dimuat di Harian Suara Madura


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons