Rabu, 26 Oktober 2022

Mewujudkan Pendidikan Tanpa Kekerasan

Judul Buku    : Membentuk Karakter Peserta Didik
Penulis        : Imam Nur Suharno
Penerbit    : Rosda Karya
Cetakan    : 1. 2021
Tebal        : 126 Halaman
ISBN        : 978-602-446-567-4

Tujuan pendidikan nasional sejatinya untuk melahirkan manusia yang beriman dan bertaqawa kepada Tuhan yang Maha Esa, maka semua proses pendidikan harus dijalankan dengan beik dan benar sehingga melahirkan produk yang memuaskan.


Sayangnya, dalam beberapa kasus masih kerap ditemui kesalahan proses yang mengakibatkan tercemarnya dunia pendidikan.  Kesalahan proses tersebut salah satunya adalah kekerasan dalam dunia pendidikan, kasus semacam ini menjadi kekhawatiran bersama karena menyagkut masa depan pendidikan itu sendiri.


Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut, pada tahun 2020 saja, kasusu kekerasan dalam dunia penddikan sudah menncapai 127 kasus, data ini belum termasuk data terbasru yang belum terdetek oleh media atau pihak KPAI. Kekerasan dalam dunia pendidikan seperti yang dirilist oleh KPAI itu mencakup semua jenis kekerasan, mulai dari yang terkecil hingga kasus kematian seperti yang melanda Guru Budi di Sampang Madura beberapa waktu lalu.


Untuk mencegah dan mengurangi kasus kekerasan dalam pendidikan, perlu upaya bersama yang dilakukan dari hulu hingga hilir, dalam hal ini sinergi antara pendidikan formal di sekolah dan pendidikan orang tua di rumah. Kedua unsur ini sama-sama memiliki peran vital dalam melakukan proses pendidikan termasuk melakukan pegawasan, sehingga bisa meminimalisir terjadinya kekerasan. Hal itu diawali dengan pemecahan akar persoalan yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan
Imam Nur Suharno dalam buku ini mencoba mengurai akar permasalahan dalam setiap kasus kekerasan di dunia pendidikan. Mengutip hasil penelitan Abd. Rahman Assegaf, didapati beberapa akar masalah yang menjadi pemicu kekerasan dalam dunia pendidikan; kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik.


Insiden semacam ini sering kita jumpai dalam proses pendidikan, terutama pada zaman lampau saat undang-undang kekerasan belum terbentuk, dan akibatnya saat ini seakan menjadi warisan bahwa selalu ada hukuman (megarah ke fisik) bagi setiap pelanggaran yang dilakukan, sementara di sisi lain sudah ada aturan yang membuat kita terjerat akan tindakan tersebut, sehingga disebutlah itu sebagai kekerasan.


Kekeran pendidikan juga bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku, juga bisa karena dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-kasi kekerasan. Selain itu, kekerasan dalam pendidikan juga bisa dipicu oleh perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran nilai, sehingga meniscayakan timbulnya sikap jalan pintas. (Hal. 17-18).


Inilah akar masalah terjadinya kasus kekerasan dalam pendidikan yang diurai dalam buku terbitan Rosda ini, pertanyaannya apakah hanya itu? Bisa saja masih banyak motif lain yang menjadi sumber masalah kekerasan dalam dunia pendidikan, namun demikian yang perlu kita telusuri lebih jauh adalah bagaimana model problem sulvingnya, agar kekerasan tak lagi terjadi dalam dunia pendidikan?.


Imam Nur Suharno berupaya mencari jalan keluar terbaik sebagai pemecahan akar masalah di atas, menurutnya ada bebrapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengendalikan budaya kekerasan dalam pendidikan. Pertama: internalisasi nilai-nilai agama melalui pembelajaran, ini dimaksudkan untuk membentuk karakter positif dalam diri peserta didik termasuk tenaga pendidik, sehingga dimungkinkan pelanggaran bisa ditekan, dan tindakan hukuman (fisik) otomatis terhindarkan.


Kedua: memberikan keteladanan, ini tentu menjadi tugas pendidik dalam memberikan potret kehidupan yang ramah bagi peserta didik, karakter peserta didik bisa terbentuk salah satunya dengan menunjukkan uswatn hasanah dari pendidik. Logika awam menyebut, jika guru kencing berdiri maka murid akan kencing berlari, di sinilah makna keteladanan  untuk menekan perilaku kekerasan.


Dan Ketiga: membentuk lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai agama, dalam konteks ini semua masyarakat sekolah menjadikan sekolah menjadi lebi berwibawa dibdanding dengan lingkungan pabrik, bengkel, pasar, hotel dan atau lingkungan barak militer. (Hal. 19). Visi ini diwujudkan dengan membentuk serententan aktivitas yang menuansakan lingkungan agamis dan edukatif, sehingga lingkungan belajar menjadi nyaman dan semua orang yang ada di dalamnya pun merasa nyaman dan terarah.


Secara umum buku ini sudah berhasil menyajikan konsep penyelamatan pendidikan dari praktik kekerasan, penulis sudah berupaya menuangkan akar masalah terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan, kemudian dibarengi dengan solusi untuk memecahkan masalah agar terwujud pendidikan tanpa kekerasan, namun demikian harus dakui bahwa penulis kurang detil dalam menyajkan data kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan, padahal itu bisa menjadi referensi untuk merenyuhkan para pembaca agar tidak melakukan hal serupa. Tapi yang jelas kita berharap tak ada lagi kekerasan dalam dunia pendidikan.

*Pegiat Literasi, tinggal di Pamekasan Madura

Minggu, 17 Juli 2022

Koperasi Pesantren Sebagai Basis Ekonomi Kerakyatan

 

Koperasi Pesantren Sebagai Basis Ekonomi Kerakyatan

Oleh: Ahmad Wiyono*

 


Hingga kini pesantren diyakini sebagai salah satu model pendidikan klasik yang tetap relevan dengan zaman, usianya yang sudah mencapai ratusan tahun ternyata tak membuat pendidikan pesantren ketinggalan, sebaliknya pesantren selalu mampu beradaptasi dengan laju perkembangan zaman.

Disampig itu, pesantren terus bertahan  menjadi banteng moral bangsa, disaat model model pendidikan moderen banyak menciptakan generasi amoral, pesantrenlah yang justru hadir sebagai penyelamat masa depan generasi bangsa itu sendiri. Inilah yang pernah disebut oleh Noer Kholis Madjid bahwa pesantren adalah lembaga yang terus dinamis beradaptasi dengan perkembangan zaman, namun tetap memiliki tembok besar sebagai banteng moral bangsa.

Selain dua hal tersebut, pesantren ternyata juga hadir sebagai basis pengembangan ekonomi ummat, sejak berdirinya ratusan tahun silam, salah satu misi penting yang dibawa oleh dunia pesantren adalah pengembangan ekonomi yang berasas keislaman dan bebasis kerakyatan, misi ini kemudian diterjemahkan oleh pesantren melalui pendirian koperasi berbasis syariah.

Gerakan koperasi syariah yang awal mulanya dimotori oleh dunia pesantren akhirnya berhasil mengakar di tengah kehiduan umat, polarisasi sistem keuangan bebas riba itulah yang kemudian menjadikan koperasi syariah itu digandrungi oleh banyak orang, bahkan oleh para praktisi perbakan sekalipun. Tak ayal, sistem koperasi stariah yang digawangi oleh pesantren akhirnya menjadi kiblat perbankan tanah air, banyak sekali bank konvensional yang mulai melirik dan bermaksud melahirkaan bank-bank syariah, dan hari ini bank-bank syariah sebagai anak perusahaan dari bank konvensional itu sudah bertebaran di mana-mana.

Selain koperasi syariah, sistem penguatan ekonomi yang dilakukan oleh pesantren adalah dengan melahirkan sejumlah produk lokal yang bersumber dari sumber daya pesantren, tak sedikit pondok pesantren di indonesia yang mulai merintis dan memproduksi sejumlah bahan kebutuhan pokok masyatakat yang semuanya dikelola secara mandiri oleh pesantren. Kegiatan ini tentu memiliki efek ekonomi yang luar biasa, karena seluruh tenaga yang difungsikan adalah murni masyarakat pesantren, minimal para alumninya.

Kita bisa lihat Pondok Pesantren sidogiri misalnya, sistem tata kelola perekonomian di Pesantren yang terletak di Pasuruan Jawa Timur tersebut sudah sangat luar biasa, bahkan sudah berkelas Inernasional. Aktivitas perkoprasian yang dijalankan oleh pesantren tersebut hari ini suda menjadi kiblat sistem perkoprasian tanah air, termasuk sejumlah produk yang dihasilkan oleh lembaga perekonomian yang ada di dalamnya. Dalam konteks ini Sidogiri sudah berhasil menjadikan pesantren sebagai basis ekonomi keummatan, di mana perputaran uang yang terjadi di dalamnya tidak untuk kepentingan pribadi namun untuk umat melalui pesantren.

 

Dari, Oleh dan Untuk Pesantren

Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) sebuah lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama yang bertugas dibidang kepesantrenan, tahun 2017 lalu merilis sedikitanya ada 24 ribu Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh idnonesia, data itu belum termasuk Pesantren yang ada di luar naungan NU. Kaitannya dengan ekonomi pesantren, Data tersebut menunjukkan bahwa Pesantren memiliki prospek luar biasa dalam bidang pengembangan perekonomian, setidaknya jika hal itu dikembangkan dalam konteks pengembangan jejaring  antar pesantren.

Ilustrasi sederhana yang bisa kita mainkan adalah, jika ribuan pesantren yang ada di Indonesia membentuk jaringan penguatan perekonmian secara massiv, maka seluruh produk yang dihasilkan dan dihabiskan oleh pesantren adaah hasil dari sumber daya pesantren itu sendiri, sehingga bisa dipastikan perputaran ekonomi pesantren lebih banyak berkutat di dunia pesantren. Dan hasilnya, jelas lebih besar keuntungannya untuk pengembangan pesantren.

Potensi kemajuan ekonomi pesantren semakin terbuka lebar, apalagi saat ini pesantren sudah dibekali dengan teknologi infomrasi, sumber daya manusia (SDM) yang mempuni, serta sarana pra sarana yang sudah memadai. Namun demikian,  yang lebih subtansi dari potensi pengembangan ekonomi pesantren adalah menguatnya moralitas kaum pesantren yang bisa menjadi pondasi kemajuan ekonomi itu sendiri.

Integasri moralitas masyarakat pesantren dalam konteks ekonomi belakangan diterjemahkan  dalam beberapa prinsip, anatara lain; As-Shidqu (benar atau jujur), Al-Amanah wal Wafabil’ Ahd (Amanah atau tepat janji), Al-Adalah (keadlian), At-Taawun (tolong menolong) dan Istiqomah (konsisten). Jika ini yang menjadi pondasi perjuangan perkenomian, maka tak ada rumus gagal dalam setiap pergerakan ekonomi. Dan inilah yang ternyata sudah dikembangkan di dunia pesantren, sebagai manifestasi dari konsep Mabadi Khoiroh Ummah,

Mengapa harus ada lima prinsisp dia atas?, sekali lagi tujuan ekonomi pesantren  bukan untuk kepentingan pribadi atau pun golongan, tapi murni untuk kepentingan umat melaui pengembangan pendidikan pesantren itu sendiri. Itu sebanya prinsip ekonomi pesantren selalu mengacu pada limah prinsip tersebut, sehingga dalam setiap pergerakan perekonmian pesantren selalu termaktub jihad keummatan sebagai spirit bagi para sumber daya yang ada di dalamnya. Karena titik kulminasi ekonomi pesantren adalah dari pesantren, oleh pesantren dan untuk pesantren.

 

Modernisasi Ekonomi Pesantren

Ada kebijakan menarik yang dilakukan Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia berkaitan dengan upaya pengembangan ekonomi pesantren. Beberapa waktu yang lalu, Kemenag melakukan dua terobosan penting yang diharapkan bisa berimplikasi terhadap pengembangan ekonomi pesantren. Dorongan secara formal ini tentu perlu ditangkap oleh kalangan Pesantren, sehingga ke depan eksistensi ekonomi pesantren semakin baik, bahkan bisa bersaing dikancah global.

Pertama: mengambil inisiatif kerjasama dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaan Modal) dan Kementerian Perindusterian, terutama dalam pengembangan kawasan industri melalui penyiapan tenaga kerja rerampil lulusan Pondok Pesantren, serta singkronisasi kawasan industri dan kawasan religius.

Kedua: bersama Bank Indonesia (BI) dan lembaga-lembaga lainnya mengembangkan kerjasama kemitraan dalam pemberdayaan ekonomi Pesantren sekaligus penguatan ekonomi syariah. Untuk kemitraan ini, Kemenag bersama lembaga mitra telah menyiapkan template inkubasi bisnis untuk pesantren, pelatihan usaha, roadmap virtual market produk pesantren, dan vestifal produk pesantren. (www.kemenag.or.id).

Dua kebijakan strategis di atas tentu menjadi angin segar bagi dunia Pesantren, terutama pada point kedua yang relatif signifikan dalam mendorong pengembangan ekonomi pesantren. Ke depan pesantren tinggal menangkap sejumlah peluang agar pengembangan ekonomi umat di pesantren bisa semakin maju. Selebihnya, SDM lulusan pesantren yang akan keluar sudah siap pakai dan juga mampu berkompetisi dalam segala lini kehidupan.

Kalau kita telaah lebih mendalam, kebijakan pemerintah terkait dengan pengembangan ekonomi pesantren di atas, sebenranya ada upaya modernisasi ekonomi pesantren yang diusung dalam paket kebijakan tersebut. Setidaknya, moderniasi tersebut  dalam konteks, pemasaran, pengolahan, termasuk branding. Tujuannya tentu tak ada lain kecuali dalam rangka meningkatkan mutu dan kualitas ekonomi pesantren terutama produk-produk yang dihasilkan. Dengan demikian, eksistensi ekonomi pesantren bisa terus bergerak maju dan bersaing dengan produk ekonomi moderen lainnya.

La Nyyala Mattaliti saat masih menjadi ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur pernah penegaskan bahwa Produk Made In Pesantren harus menjadi brand yang mampu memenangkan persaingan bisnis Nasional. Apalagi penduduk Indonesia mayoritas muslim yang juga banyak lulusan Pesantren. Ini menjadi momentum berikutnya yang harus ditangkap oleh pesantren. Kita berharap ke depan bisnis Indonesia akan mampu dikuasai oleh produk Mad In Pesantren seiring dengan bertambahnya populasi masyarakat pedantren yang ada di Indonesia. Agar pesantren sebagai basis ekonomi kerakyatan semakin menguat, karena disinilah hatapan ekonomi bangsa dtaruhkan. Meminjam bahasanya Irfan L. Syahindi (Lulusan University College London), bahwa penguatan ekonomi pesanten akan megakselerasi penguatan-penguatan kualitas ekonomi rakyat banyak. Wallahu A’lam Bissowab. #AyoBerkoperasi



Memperkuat Solidaritas Ekonomi Kerakyatan

 

Memperkuat Solidaritas Ekonomi Kerakyatan

(Kajian Pemikiran KH. Ma’ruf Amin dalam Buku The Ma’ruf Amin Way)

Oleh: Ahmad Wiyono*

 


Sistem ekonomi kapitalistik diyakini kurang memihak terhadap masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah, bahkan meredupkan gerakan ekonomi keumatan,  karena dalam sistem ini muncul persaingan hebat untuk mengejar keuntungan, sehingga siapa yang kuat maka dia akan jadi pemenang, sebaliknya yang lemah akan semakin terpuruk dan tak mampu mengambil bagian.

Untuk menengahi problematika tersebut, maka lahirlah Koperasi yang secara konseptual dan factual hadir untuk membangun perekonomian secara bersama sama, ini dibuktikan dengan munculnya rumusan perkoperasian yang berbasis anggota, yaitu dari, oleh dan untuk anggota. Maka, sangatlah jelas bahwa proses pengelolaan dilakukan bersama dan pencapaian keuntungan dirasakan bersama pula.di

Konsep koperasi ini oleh KH. Ma’ruf Amin disebut sebagai penguatan ekonomi kerakyatan, beliau sempat menuangkan gagasan luar biasa terkait pentingnya ekonomi berbasis kerakyatan, gagasan itu berhasil direkam oleh Sahala Panggabean dan Anwar Abbas dalam buku The Ma’ruf Amin Way ini. Di dalamnya diulas secara mendalam konsep ekonomi kerakyatan sebagai arah baru ekonmi yang memihak pada kepentingan umat.

Secara prinsip, ekonomi keumatan merupakan konsep ekonomi yang berlandaskan spirit kerakyatan. Menurut Mubyarto, arti dari ekonomi kerakyatan adalah kegiatan ekonomi yang berlandaskan pada keberpihakan pada rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 bahwa segala usaha dikelola bersama dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan kata lain, prinsip ekonomi keumatan sejalan dengan ekonomi kerakyatan, yakni berpihak pada umat.

Basis gerakan ekonomi kerakyatan ini adalah pengembangan ekonomi dari bawah, melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses pemberdayaan sesuai dengan keahlian yang dimiliki mereka. Ini yang juga menjadi kunci kesuksesan China membangun ekonominya sejak era Mao Zedong hingga saat ini. Pengembangan ekonomi dari bawah itu adalah membangun secktor ekonomi rakyat, pertanian, dan usaha mikro lainnya.

Inilah spirit ekonomi keuamatan bahwa pembangunan bermulai dari bawah (bottom-up economics development). Berbeda dengan ekonomi kapitalistik yang mengejar keuntungan dengan cara bersaing, ekonomi kerakyatan berprinsip pada kerja sama dan makmmur bersama. Apabila pengusaha besar mencapai efisiensi  dengan cara mematikan pesaing, di ekonomi kerakyatan efisiensi dicapai dengan kerja sama yang kompak. (Hal. 169).

Setidaknya ada empat landasan penguatan ekonomi kerakyatan atau keumatan yang diulas dalam buku terbitan Gramedia Pustaka Ini, yaitu ekonomi kerakyatan dilandasai oleh spirit kemitraan setara dan menguntungkan,  selanjutnya,  ekononomi kerakyatan dilandasai oleh sila ke-3 yakni “persatuan Indonesia. Kemudian sila ke-4 “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan” menjadi landasan ketiga. Sedangkan landasan keempat adalah prinsip pembangunan dengan pendekatan dari bawah. Empat prinsip inilah yang menjadi fondasi utama penguatan dan implementasi ekonomi berbasis kerakyatan.

Sementara itu, tujuan mulia dari penyelengaraan ekonomi kerakyatan atau keumatan ini adalah untuk meningkatkan pemberdayaan umat dibidang ekkonomi agar nantinya bisa melahirkan kemandirian ekonomi, kemandirian ekonomi inilah yang kelak menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan ekonomi kerakyatan, di mana umat menjadi subyek pepengembangan ekonomi sehingga mereka bisa maju bersama danm akmur bersama.

Dalam kemandirian ekonomi, pemberdayaan adalah uoaya mengangkat martabat ekonomi rakyat untuk mampu bersaing di pasar. Secara sederhana, kami selalu mengatakan pentingnya “membesarkan yang kecil dan tidak mengecilkan yang besar”. Membesarkan yang kecil adalah pemberdayaan. Tidak mengecilkan yang besar ialah sikap memperbolehkan usaha besar untuk berkembang baik dengan pengawasan Negara supaya tidak mematikan yang kecil. (Hal. 210).

Sebagai pusat gerakan ekonomi keumatan ini, KH. Ma’ruf Amin mencoba memulai hal tersebuut dari kelompok ekonomi Pondok Pesantren, hasilnya ternyata cukup membanggakan, pesantren rupanya mampu menjadi pusat pergerakan ekonomi umat yang dalam perjalanannya juga meluas hingga ke masyarakat umum. Penataan ekonomi umat dari pesantren inilah yang konon menjadi potret keberhasilan konsep ekonomi keumatan ala KH. Ma’ruf Amin, terbukti sudah lahir pasar pasar semi modern yang berbasis keumatan.

Apakah mungkin Ponpes dapat menjadi pusat unggulan ekonomi umat? Kami yakin bahwa hal ini dapat diterapkan dan mendorong Ponpes untuk menjadi pusat unggulan ekonomi umat. Setidaknya, kami mengidentifikasi ada empat modal yang yang telah dimiliki Ponpes yakni kuatnya internalisasi nilai-nilai keislaman  (Islamic volues), kapabilitas manusia terdidik (human capital), modal sosial (social capita), dan keuangan (financial capital). Ayo Berkoperasi.  #AyoBerkoperasi

*Pegiat Literasi, tinggal di Pamekasan Madura

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons