Rabu, 19 November 2014

Belajar Pada Keterbatasan

Judul : Sabar Gorgy; Satu kaki daki Gunung tertinggil
Penulis : Dodi Mawardi
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
Cetakan : 1 2014
Tebal : 155 Halaman
ISBN : 978-602-02-4092-3

Peresensi: Ahmad Wiyono*


Keterbatasan fisik manusia bagi sebagian orang kadang menjadi kendala hidup, bahkan acap kali dimaknai menjadi sebuah “kehinaan”, sehingga tak jarang seseorang yang hidup dalam kekurangan fisik kerap dimarginalkan dalam kehidupan sehari hari.

Namun demikian, hal itu tidak kemudian berlaku untuk semua orang, masih banyak manusia yang hidup dalam keterbatasan fisik, namun juga bisa berbuat seperti halnya orang kebanyakan, bahkan kadang melebihi apa yang dilakukan oleh orang normal pada umumnya.

Kita tentu mengakui jika ada orang normal secara fisik kemudian dia memainkan piano dengan lihai, maka hal itu menjadi sesuatu yang biasa, karena kedua tangannya lengkap, kemudia fisik lainnya juga ada, akan tetapi menjadi sangat luar biasa ketika kita menyaksikan ada anak manusia yang kebetulan hanya memiliki satu tangan kemudia dia mampu memainkan piano sama persis dengan manusia yang memiliki tangan lengkap.

Kalau kita ingat Presiden ke 4 RI Alamarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dikalangan ulama beliau dikenal sebagai seseorang yang memiliki keterbatasan fisik, karena penglihatan beliau yang agak terganggu, namun siapa yang bisa menyangka seorang Gus Dur akhirnya menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Adalah Sabar Gorky, seorang warga solo yang belakangan kita tahu menjadi manusia hebat karena mampu menaklukkan beberapa gunung tertinggi dengan satu kaki yang dimilikinya, ini mengartikan bahwa keterbatasan fisik yang dialami Sabar bukan lantas menjadi rintangan untuk mewujudkan cita-citanya.

Buku True Story (kisah Nyata) yang dirangkum oleh Dodi Mawardi ini menyajikan fragmen kehidupan seorang sabar dalam menjelajahi kehidupannya sehingga bisa menjadi orang pertama dengan kondisi keterbatasan fisik yang mendaki gunung tertinggi tersebut.

Memang sulit dipercaya secara nalar, seorang yang hanya memiliki satu kaki mana mungkin mampu mendaki gunung dengan ketinggian yang luar biasa itu, tapi itulah fakta yang telah diukir oleh seorang Sabar, Gunung Elbrus di Rusia, gunung Kilimanjaro di Afrika telah ia taklukkan dengan satu kakinya.

Barangkali, Tekad kuat dan cita cita yang telah ia bangun sejak kecil itulah yang mampu mengantarkannya menjadi pendaki hebat, karena memang, sabar sudah menggeluti dunia pendakian sejak masih kecil. Sabar mulai menyukai panjat memanjat setelah duduk di bangku SMP, yaitu di SMP Purnama 1 Solo. Teman temannya mulai lebih banyak, dan sudah mulai suka mencoba coba. (hlm. 7).

Sejak saat itulah Sabar mulai giat berlatih dunia panjat memanjat tentu bersama teman temannya, seorang sabar kecil waktu itu masih hidup dalam kondisi normal. Sehingga ia semakin yakin bahwa cicta citanya akan mampu ia raih dikemudian hari, tentu dengan tekad dan perjuangan yang kuat.

Namun, siapa yang bisa menerka takdir, seorang sabar yang notabeni adalah orang Normal pada akhirnya harus berubah status menjadi orang cacat, takdir jua yang telah memaksanaya menjadi manusia yang kehilangan satu kaki kanannya di usianya yang masih muda, yah itulah takdir.

Saat itu tanggal 5 April 1990, tepat pukul 14.30 WIB, Stasiun Karawang menjadi saksi tragedi yang mengenaskan itu (hlm. 21). 

Peristiwa mengenaskan itu terjadi saat Sabar turun dari kereta karena hendak membeli air minum, namun tiba tiba kereta itu akan berangkat, dan sabar hendak mengejarnya, namun lagi lagi siapa yang bisa menerka takdir, Sabar malah terjatuh dan kaki kananya terseret kurang lebih 20 meter. Dan itulah awal mula kehidupan baru sabar yang berbuntut hilangnya satu kaki kanannya.

Namun demikian, bukan sabar namanya, jika ia lantas harus menyerah pada takdir, meski sempat didera trauma dan pesimisme, namun pada akhirnya Sabar bisa menunjukkan kelebihannya ditengah keterbatasan fisiknya. Persis di Hari Ulang Tahun (HUT) RI 17 Agustus 2011 dia bisa memberikan kado yang sangat istimewa yaitu mengibarkan bendera Merah Putih di puncak gunung Elbrus.  Tak berlibah jika buku ini diberi judul “Satu kaki Daki Gunung Tertinggi”.

Dengan prestasinya tersebut, sabar akhirnya mampu menjadi perhatian Dunia, tak sedikit tokoh tokoh mengapresiasi keberhasilan sabar tersebut, salah satunya disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo (saat itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta), “Sabar Gorky adalah sosok yang ulet dan optimis, dia tidak hanya mampu menginspirasi rekan rekan sesama disabilitas, tapi juga masyarakat normal lainnya” (Joko widodo).

Pelajaran penting yang bisa diambil dari pejalanan sabar yang telah komplit terangkum pada buku setebal 155 halaman ini adalah bahwa setiap Manusia selalu memiliki kesempatan untuk meraih apa yang dia impikan, termasuk oleh penyandang disbilitas bisa juga melakukan apa yang dilakukan oleh orang normal lainnya, maka jangan sekali kalai hina mereka.

Untuk membentuk kekuatan fisik, tidak bisa diperoleh secara instan. Siapa pun dia, baik orang Normal maupun cacat, harus melewati proses berkeseimbangan agar fisiknya menjadi lebih kuat. Latihan fisik harus dilakukan secara bertahap dan terus menerus untuk mendapatkan hasil yang maksimal (hlm. 142). Buku ini sungguh menginspirasi.

Ahmad wiyono; Jurnalis, Pengajar, Peneliti dan pengasuh Rumah Baca “Haidar Pustaka” Pamekasan Madura



Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura Edisi Kamis 20 Nopember 2014

Minggu, 16 November 2014

Mengintip lika Liku Duka Rasulullah

Judul Buku : Kala Rasulullah Berduka
Pemulis : Abdul Wahid Hasan
Penerbit : Mizania
Cetakan : 1 2014
Tebal : 251 Halaman
ISBN : 978-602-1337-19-6

Peresensi : Ahmad Wiyono

Hampir semua perjalanan dakwah yang dilakukan para Nabi dan Rasul selalu deihadapkan pada tantangan dan penolakan besar dari umatnya, bahkan yang paling sulit ketika penolakan dan tantangan itu muncul dari kerabat dekat bahkan keluarganya sendiri.

Demikian juga dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah Nabi Muhammad SAW, sejak pertama kali menyampaikan risalah kenabiannya, beliau ditentang oleh beberapa kerabat dekatnya, bahkan beberapa paman beliau, dan yang paling dahsyat adalah tentangan dari suku Quraisy waktu itu.

Namun semua itu tidak menjadi penghalang bagi beliau untuk terus menyampaikan kebenaran Islam, dari waktu kewaktu beliau terus menyampaikan agama Islam kepada seluruh penduduk yang sempat Beliau jumpai. Dalam rentetan perjalan dakwah itulah, tak sedikit duka yang dialami oleh Beliau, namun semua itu dianggap sebagai cobaan dalam sebuah perjuangan.

Dalam buku yang Berjudul “Kala Rasulullah Berduka” karya Abdul Wahid Hasan ini diurai beberapa rentetan duka yang dialami beliau, pada bab pembuka misalnya, penulis merangkum beberapa peristiwa yang menjadikan hati Beliau berduka, yaitu peristiwa meninggalnya beberapa orang dekat Rasulullah. Seperti wafatnya Aminah, Abdul Mutthalib, Abu Thalib, Hamzam dan Juga Ibrahim, semua itu secara langsung melahirkan duka pribadi bagi Beliau karena harus ditinggal pergi kerabat dekat Beliau.

Tidak hanya itu, beliau juga harus merasa kehilangan karena ditinggal oleh Siti Khatija isteri beliau, kita ketahui betapa Siti Khatijah sangat banyak membantu dakwah beliau, bahkan hartanya juga tak segan segan dikorbankan untuk perjalanan dakwah Rasulullah SAW.

Namun, waktu jua yang akhirnya memisahkan Beliau, setelah puluhan tahun Beliau hidup bersama Siti Khatijah, akhirnya harus berpisah lantaran maut yang memisahkan.

Setelah sekitar 25 tahun ia mendampingi Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah ikatan suci pernikahan dan menghadapi suka duka bersama. Akan tetapi belum hilang mendung duka di hati Nabi Muhammad SAW setelah meninggalnya paman tercinta, beberapa hari setelah itu isteri tercintanya ini  yang telah menjadi belahan jiwanya juga harus pergi menghadap Allah (hlm. 70).

Selain itu, terjadinya penghinaan terhadap Rasulullah utamanya dari bani quraisy tentu menjadi duka batin bagi beliau dalam menjalankan dakwah, tak jarang beliau di olok olok, dilempari kotoran onta, diludahi bahkan diancam untuk dibunuh, semua perjalanan itu beliau alami hampir dalam setiap menjalankan dakwah.

Suatu hari Nabi Muhammad SAW memasuki area ka’bah, Beliau bermaksud melakukan thawaf dan mencium hajar aswad. Saat itu para pemuka Quraisy kebetulan sedang berkumpul di dekah Hijir Ismail, melihat ada nabi Muhammad SAW di dekat mereka, satu sama lain bersepakat untuk mengganggu beliau sorak sorai dan caci maki dilontarkan kepada beliau yang sedang Thawaf (hlm. 121).

Peristiwa cemohan dari kalangan Quraisy itu hampir terjadi setiap waktu, dan setiap perjalanan dakwah beliau selalu ada masyarakat Quraisy yang menjadi penentang utama. Tapi lagi lagi itulah cobaan dalam berdakwah, Beliau menjalani dengan sabar.

Duka lain yang dirasakan Rasulullah saat berdakwah adalah terjadinya penyiksaan yang dilakukan bani Quraiys terhadap beberapa sahabat Beliau, pada Bagian kedua buku ini, penulis juga sempat mengurai beberapa Sahabat nabi yang sempat disiksa oleh Quraisy, seperti penyiksaan Ammar ibn Yasir, beliau dibawa ke padang pasir dan dijemur di bawah terik matahari yang memabakar. Termasuk juga penyiksaan kaum Kafir yang dilakukan kepada Bilal ibn rabah. Serentetan penyiksaan yang dilakukan oleh kaum kafir itu jelas menjadi duka mendalam bagi nabi Muhammad SAW.

Kebiadaban kaum kafir dalam merongrong dakwah nabi Kita Muhammad SAW selalu terjadi kala itu, seakan akan tidak akan diberikan kesempatan bagi Rasulullah untuk menyampaikan kebenaran Islam. Namun demikian, hukum bahwa kebenaran akan selalu Nampak, rupanya terwujud pelan tapi pasti. Satu persatu penduduk mekkah mulai meyakini bahwa islam adalah agama yang benar.
Berbagai upaya untuk menghentikan dakwah Nabi Muhammad SAW sudah dilakukan, tetapi tetap saja tidak berhasil, bahkan pengikut Beliau semakin banyak (hlm. 126).

Kita sebagai kaum Muslim, penting sekali untuk membaca secara utuh buku yang ditulis oleh Abdul Wahid hasan ini, sehingga bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari setiap tangga perjuangan rasulullah. Sebagai lulusan pesantren Penulis dengan sempurna menyusun buku ini dengan irama khas pesantrennya. 

Ahmad wiyono; Jurnalis, Pengajar, Peneliti dan pengasuh Rumah Baca “Haidar Pustaka” Pamekasan Madura


Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura Edisi Kamis 13 Nopember 2014

NU dan Gerakan Politik Nasional

(Meretas Peran Strategis NU dalam Mengawal Kemajuan Bangsa)
Oleh: Ahmad Wiyono

Nahdlatul Ulama (NU) diketahui merupakan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dengan jumlah anggota terbesar di Indonesia, sejak kelahirannya NU terus mendapat posisi di tengah masyarakat sehingga dari tahun ke tahun jumlah anggota NU terus
bertambah. Ini membuktikan bahwa posisi NU sudah menjadi rujukan sikap jam’iyah dari sabang hingga merauke.

Rujukan jam’iyah tersebut terjadi tidak hanya pada aspek kegiatan ritual keagamaan yang berlangsung secara dinamis di tengah tengah NU, namun juga pada beberapa aspek sosial lainnya termasuk pada sikap Politik yang terus mengalami dinamika di tubuh NU itu sendiri. 

Dalam konteks politik inilah, NU terus menjadi pusat perhatian bangsa –tidak hanya dari kaum NU-, setiap sikap politik yang dilahirkan oleh NU nyaris menjadi kiblat politik di saantero nusantara. Secara historis kita memang harus mengakui bagaimana sepak terjang NU dalam kiprah politik Nasional, karena sejak lahirnya NU pada tahun 1930 silam NU sudah menyatakan sikap sebagai ormas yang praktis menjadi organisasi politik,  kendati pada akhirnya NU harus menyatakan sikap sebagai Ormas yang netral dari politik Praktis, hal itu terjadi tepatnya pada Muktamar NU ke 27 tahun 1984. Sejak saat itulah NU dinyatakan kembali ke Khittah.

Namun demikian, kembalinya NU pada jalur Khittah tadi, bukan lantas NU kemudian menutup mata dengan percaturan politik nasional, bangsa Indonesia nampaknya tetap haus dan sangat membutuhkan kiprah kaum Nahdliyin dalam pergolakan politik Nusantara, kebutuhan kebutuhan itu dibuktikan dengan banyaknya masukan agar orang NU bisa terlibat secara kultural terhadap pelbagai kegiatan politik demi terciptanya satu iklim perpolitikan yang lebih baik.

Awalnya banyak kader NU yang menginginkan agar NU menjadi organisasi Politik, itu terjadi bersamaan dengan lengsernya rezim orde baru pada tahun 1998, namun demikian, Aspirasi jamiyah yang kian menbahana waktu itu direspon baik oleh beberapa petinggi NU dengan mebentuk wadah aspirasi pembentukan organisasi politik di luar struktur NU, tak ayal dalam waktu yang sangat singkat sedikitnya ada 30 usulan nama Parpol  yang diharapkan sebagai wadah aspirasi politik NU, kendati pada akhirnya mengkerucut pada munculnya satu nama Parpol yaitu Partai kebangkitan bangsa yang kemudian diketuai oleh Mathori Abdul Jalil berdasarkan petunjuk dari KH. Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum PBNU waktu itu. 

Alasan paling mendasar terbentuknya organisaisPolitik atau Parpol yang notabeni dihuni oleh petinggi dan kader NU itu, Menurut Muhaimin Iskandar adalah antusisme luar biasa dari warga jam’iyah NU sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang tak mau ketinggalan arus perubahan di atas untuk memiliki wadah perjuangan politik tersendiri, apalagi jauh hari sebelum semua pihak dan kalangan lain meneriakkan perlunya perubahan disemua aspek kehidupan, NU sebagai jamaah dan Jam’iyah telah dengan gigih memperjuangkannya (Muhaimin Iskandar:  Gusdur yang Saya kenal: 168) 

Dengan demikian, munculnya Parpol baru dikalangan nahdliyin –yang diikuti dengan menjamurnya partai partai lain yang tumbuh dari kalangan NU- waktu itu menjadi fajar baru terhadap sisi perjuangan kaum nahdliyin, mereka seakan mendapat angin segar untuk bersama sama mengawal masa depan bangsa melalui wadah politik yang mereka punya saat itu. Sehingga warga NU semakin leluasa menentukan sikap politik kebangsaannya di bawah bendera Parpol yang lahir berdasarkan ideology mereka.

Kebangkitan Nahdliyin
Ajang Pemilihan umum di Indonesia –dari pusat hingga daerah- selalu tidak lepas dari peran serta beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) islam yang kerap menjadi motor penggerak perjalanan pemilu tersebut, salah satunya adalah Nahdlatul Ulama (NU), ormas terbesar di Indonesia ini sudah sangat sering dijadikan sarana siyasah dalam setiap pelaksanaan Pemilu termasuk pemilukada yang digelar disejumlah daerah.

Bahkan yang paling sering kita temui adalah keberanian para kandidat untuk "menyulap" dirinya didepan public menjadi bagian dari ormas itu sendiri, meski tak jarang pula harus mengaku pernah menjadi pengurus atau keluarga besar dari ormas itu sendiri. Hal itu dilakukan untuk peningkatan pristise dan popularitas para kandidat yang meyakini lebih ampuh ketika melekatkan label ke-ormasan-nya dalam setiap langkah gerakan suksesinya.

Idealnya sudah bukan waktunya lagi membincang kebangkitan warga Nahdlatul Ulama (NU) dalam konteks hari ini, namun demikian hal ini bukan berarti akan membawa kita pada sebuah pemahaman dekonstruktifikasi warga NU ketika hari ini kembali kita buka cakrawala berfikir untuk mengetahui bagaimana eksistensi NU (terutama NU Lokal) ketika memasuki masa pemilu lebih lebih Pemilukada.

Situasi dan kondisi perpolitikan di beberapa daerah menjelang dan saat Pemilukada inilah yang menjadi acuan asumsi kebangkitan warga NU dalam tulisan ini. Kenapa demikian, karena dengan sangat jelas bahwa betapa kehadiran beberapa kader NU telah menjadi bagian penting hangatnya suhu politik dalam bursa pemilukada tersebut, yang kemudian ini akan menjadi gambaran riel bagi kader NU di Indonesia bahwa kader NU telah mampu menjadi warna dalam percaturan politik di Indonesia.

Munculnya beberapa kader NU dalam bursa pemilukada (Pemilihan Bupati dan Wakil/ wali kota/ bahkan Gubernur dan Wakil Gubernur) beberapa waktu terakhir ini –utamanya di Jatim- menjadi indikator kuat bahwa posisi dan peran kaum NU tetap tidak bisa diremehkan, bahkan para kader NU yang muncul dalam pencalonan tersebut telah diakui sebagai kontestasi yang paling menonjol. Setidaknya hampir dari semua pasangan calon yang memang merupakan kader NU selalu tidak melepaskan identitas ke-NU-annya dalam segala program dan siyasah gerakannya.

Fenomina ini tentu akan menjadi pertanyaan besar bagi kita, apakah kondisi ini akan memberikan kontribusi besar kepada para kader NU, atau jangan-jangan hal ini hanya akan berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap NU itu sendiri yang diawali dari rasa dilematisasi ketika harus menentukan pilihan terhadap calon dari kalangan NU. Jelas dua hal ini akan dialami oleh semua masyarakat NU di semua daerah, setidaknya mereka akan berfikir bahwa persaingan elit NU dalam bursa pemilukada akan berakibat pada variatifnya pemahaman sekalius munculnya kelompok-kelompok yang menjadi lambang perbedaan di tubuh masyarakat NU sendiri. 

Dalam konteks inilah perlu adanya pemahaman yang positif dari masyarakat NU untuk lebih bisa memahami perbedaan dalam berpolitik, sehingga munculnya perbedaan dalam pendistribusian suara dari warga NU terhadap calon yang dari kalangan NU tidak akan berpotensi konflik, justru bernuansa kompetitif demokratis. Karena harus diakui munculnya kader NU (yang notabeni dari kaum Kiyai) dalam kontestasi politik akan melahirkan resiko poltik, meminjam bahasanya M. Masoed Adnan ada Tiga Resiko dari tiga pilihan ketika Kiya (NU) sudah muncul dalam pentas politik baik pilihan menjadi Politisi, menjadi kiyai ansih atau memilih kedua duanya. Sama sama akan melahirkan resiko. (M. Masoed Adnan. Sunan Gus Dur Akrobat Politik ala nabi Khidir: 98) 

Setidaknya ada dua hal –seperti yang ditulis oleh Listiyono Santoso- yang harus dilakukan oleh warga NU terutama elit NU menghadapi  perhelatan Pemilukada tersebut, yang hal ini berorientasi pada upaya pemahaman politik masyarakat NU yang positif, Pertama: Kedewasaan Berpolitik, secara prinsip kedewasaan berpolitik sudah seharusnya ditunjukkan oleh elit NU yang berada dalam rivalitas politik. Kedua: Pendidikan Politik, warga NU dapat menggunakan panggung Pemilukada ini sebagai sarana pendewasaan diri dalam berpolitik, selain itu warga NU bisa memposisikan diri sebagai subjek politik bukan lagi objek politik (Duta Masyarakat: 16 Juni 2008).

Kedua hal tersebut menjadi ujung tombak sekaligus penentu masa depan warga NU dalam proses pembentukan paradigma berfikir sekaligus kesadaran dalam berpolitik, diakui atau tidak jika kader NU sudah mampu melakukan dan menjadikan Pemilukada sebagai sarana pendidikan politik sekaligus menuju kedewasaan dalam berpolitik ditengah bermunculannya kader NU yang menjadi kontestan, maka secara otomatis akan lahir pula pemahaman untuk selalu mengharai perbedaan dan tetap dalam nuansa demokratisasi. Itu sebenarnya yang penulis maksudkan sebagai kebangkitan kaum Nahdliyin, karena jika selama ini kaum NU selalu berkutat pada gerakan kultural dan disibukkan dengan persoalan-persoalan fundamentalisme dalam islam yang kemudian kalau ditarik pada persoalan sosial apalagi politik akan terkesan kaku dan cendrung terjadi kesalah pahaman yang berimplikasi pada wilayah konfliktual, akan tetapi kali ini warga NU sudah mengalami kebangkitan dalam cara berfikir termasuk dalam berpolitik praktis. Sehingga dengan sangat sadar para warga NU akan memaknai bahwa politik bukanlah hal yang harus memecahkan ukhuwah dalam warga NU, namun sebaliknya panggung politik akan dimaknai sebagai sarana untuk sama-sama mengevaluasi diri antar kader NU.

NU dan Kemajemukan Peran
Pada dasarnya Nahdlatul Ulama (NU) diproyeksikan sebagai media representative untuk menampung dan menjadi muara para ulama di Indonesia, yang hal ini berimplikasi pada terciptanya sebuah kometmen keislaman yang didasari pada nilai-nilai Rahmatan Lil Alamin, yang endingnya diharapkan akan mampu menjadi lumbung aspirasi masyarakat islam terutama kaum Nahdliyin, sehingga semua permasalahan yang muncul dan berkembang dikalangan masyarakat islam akan ditemui jalan keluarnya melalui terobosan NU dengan segala program dan metodologinya. Hal ini yang sebenarnya menjadi target dari didirikannya NU pada tahun 1930, setidaknya ada empat point yang menjadi cita-cita luhur didirikannya NU tersebut, diantaranya: untuk menghimpun ulama (Kebangkitan intelektual islam), memposisikan islam, memperbanyak madrasah-madrasah islam, dan memperbanyak hal-hal yang berkaitan denan masjid, koperasi islam dan sebagainya. Semua point diatas merupakan garapan prioritas dari awal didirikannya NU di Indonesia, dan hingga hari ini idealitas tersebut tetap menjadi roh dari gerakan NU itu sendiri.

Sepintas kita akan menemukan sebuah pandangan bahwa ternyata garapan NU hanya focus pada gerakan cultural-klasik yang seakan-akan mengedepankan kepentingan golongan. Asumsi seperti itu wajar-wajar saja disampaikan uleh semua orang jika mereka berkaca pada empat point cita-cita utama didirikannya NU tadi, tapi yang jelas pemaknaan kontekstual gerakan NU mencoba mensinergikan bahkan mengeneralisir kepentingan semua golongan tanpa ada sebuah nilai diskriminasi. Selain itu gerakan kesalehan social yang menjadi konsep utama islam sebagai Rahmatan lil alamin tetap menjadi acuan uatama dalam perjalanan NU sepanjang sejarahnya. Artinya kulturalisasi gerakan dalam tubuh NU merupakan konsep lama yang hari ini akan dimansuh oleh gerakan baru beruapa kontekstualisasi NU yang dalam bahasa kasarnya NU tidak hanya bergelut dalam masalah ritual keagamaan semata, akan tetapi jauh dari itu segala permasalahan yang menjadi kepentingan masyarakat demi kemaslahatan umat manusia juga menjadi target gerakan NU.

Dari sini kita akan berfikir bahwa betapa peran NU akan menjadi komplek ketika kita tarik beberapa poin tersebut secara kontekstual, sehingga semua point yang sepertinya sangat sederhana tersebut pada esensinya merupakan intisari atau representasi dari beberapa kebutuhan umat manusia secara umum. Betapa tidak, kita lihat saja betapa pendidikan dan ekonomi telah menjadi substansi dari cita-cita didirikannya NU tempo dulu, pendirian Madrasah (Pendidikan), koperasi (ekonomi) dan masjid yang menjadi point penting berdirinya NU secara substansial ternyata memang merupakan kebutuhan vital masyarakat islam hari ini.

Tidak hanya itu, upaya untuk terus melakukan kemaslahatan terhadap masyarakat umum tetap digalakkan NU dengan beberapa terobosan, salah satunya yang kita bincang hari ini adalah keikutsertaan kaum NU dalam percaturan politik Indonesia, secara prinsip keikutsertaan kaum NU dalam panggung politik bukan semata-mata dalam rangka menunjukkan kepentingan atau kelompok tertentu dalam NU, akan tetapi jauh dari hal itu lebih didasari pada kometmen bahwa masyarakat hari ini harus betul-betul dikawal dan kaum NU harus siap menjadi pengawal sebagai langkah nyata dalam menerjemahkan konsep kemaslahatan dalam NU.

Maka atas dasar itu kemudian sangatlah tidak mungkin proses pengawalan akan berjalan optimal jika system pengawalan tidak dikuasai, sehingga langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan mencoba melibatkan diri dalam proses penciptaan sampai pada implementasi system itu sendiri. Oleh karena itu, turunnya beberapa kader NU ke panggung politik pada esensinya sebenarnya adalah untuk mewujudkan mimpi ideal NU sebagai muara penyelesaian berbagai permasalahan masyarakat secara luas.

Dalam konteks ini, munculnya beberapa kader NU dalam bursa pencalonan Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota hingga Gubernur –merupakan bukti kongkrit betapa NU hari ini betul-betul berkometmen untuk menjadi benteng sekaligus muara dari kebutuhan umat manusia, sehingga hari ini perlu secara tegas kita maknai bahwa kehadiran kader-kader NU tersebut bukan dalam rangka melahirkan kemelut dikalanan bawah, akan tetapi sebaliknya sebagai langkah strategis untuk menjadikan NU sebagai muara umat.

Bahkan yang yamg tak kalah urgennya juga adalah sikap dan pernyataan NU sebagai bagian tak terpisahkan dari Bangsa dan terbentuknya NKRI yang hal itu terus dikawal hingga hari ini. Sehingga NU  jelas sangat bertanggung jawab terhadap arah dan masa depan bangsa ke depan. Dalam Buku Gus Dur dan Negara Pancasila yang ditulis oleh Nur Khalik Ridwan terungkap dengan jelas bahwa NU sebagai Organisasi keagamaan merupakan bagian tidak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan, toleransi, kebersamaan dan hidup berdampingan untuk bersama sama mewujudkan cita cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.

Dari uraian diatas setidaknya ada dua hal yang menjadi esensi dari tulisan ini, yang kemudian patut kita reaktualisasikan dalam konteks gerakan NU hari ini. Pertama, sejak berdirinya, NU merupakan sebuah organisasi yang bercita-cita untuk menjadi pusat aspirasi yang mampu memberikan kemaslahatan secara riel kepada masyarakat islam secara luas, yang pada akhirnya akan tercipta sebuah iklim keislaman yang berdasar pada nilai rahmatan lil alamin.

Kedua: NU lahir dan berkembang menjadi organisasi yang multi peran, yang tidak hanya mengedepankan kepentingan golongan apalagi perorangan, justru kepentingan umat yang dengan segala model kebutuhannya menjadi garapan utama dalam tubuh NU, salah satunya adalah dengan menjadikan kader NU sebagai bagian kontestan pada pelaksanaan pesta demokrasi. Artinya keikutsertaan kader NU dalam pelaksanaan Pemilukada merupakan manifistasi logis dari proses implementasi amanah yang diembankan NU kepada kader-kadernya. Karena yang jelas NU memang diproyeksikan untuk melahirkan kader yang tidak hanya paham dan intens dalam hal ritual keagamaan, akan tetapi berbagai hal juga harus dikuasai oleh kader NU termasuk salah satunya adalah kegiatan politik praktis.

Kesadaran dan kometmen untuk menjalankan amanah ke-NU-an dalam konteks politik praktis inilah yang hari ini kita sebut sebagai awal kebangkitan kaum nahdliyin, sehingga warga NU tidak lagi terjebak hanya pada wilayah cultural, akan tetapi wilayah yang lain juga mampu digarap sesuai dengan kebutuhan zaman. Hari ini patut kita semua berdoa semoga pada akhirnya kader-kader NU yang hari ini terjun dalam bursa pencalonan Bupati, Wali Kota, Gubernur –bahkan capres atau cawapres nantinya- akan mampu menerjemahkan mimpi ideal NU sekaligus menjalankan amanah sesuai dengan cita-cita didirikannya Nahlatul Ulama di Indonesia. 


Tulisan ini dikembangkan dari tulisan awal yang berjudul "Menuju Kebangkitan Nahdliyin". 


Serangan Fajar

SERANGAN FAJAR, Istilah ini sebenarnya sudah biasa kita dengar, bahkan seakan sudah akrab di telinga kita. namun istilah tersebut seakan memiliki makna istimewa ketika terdengar pada momentum pemilihan. Seperti biasa menjelang masuknya momentum pemilihan  -dari tingkat Presiden hingga Kepala Desa- istilah serangan fajar menjadi topik hangat dalam beberapa perbincangan, setidaknya menjadi bahan bisik bisik.

Apa sebenarnya serangan fajar itu?, ditilik dari bahasanya istilah serangan fajar sebenarnya muncul pada peristiwa peperangan tempo dulu, aktifitas ini dilakukan sebagai strategi untuk membumi lantahkan pasukan musuh yang tengah lelap istirahat, pasukan pun berhasil menghancurkan pertahanan lawan tanpa ada perlawanan yang cukup berarti. Kegiatan seperti itu kerap dituding sebagai  model perlawanan yang tidak sehat, karena dalam peperangan ada rambu rambu yang tidak boleh dilangkahi, salah satunya adalah serangan fajar itu sendiri.

Namun demikian, tidak sedikit peperangan yang berujung pada tindakan menyerang sebelum waktu yang ditentukan, hal itu terjadi ketika salah satu pihak yang menyerang sudah berkesimpulan tidak mungkin mampu melawan pasukan dengan cara perang yang sesungguhnya. Maka serangan fajar pun akhirnya menjadi pilihan. Ini adalah kata lain dari tipu muslihat yang dilakukan dalam sebuah peperangan.

Dalam dunia kontemporer, perang memang sudah hampir tidak ada di dunia ini, terutama di indonesia, namun praktik serangan fajar bukan lantas lenyap dari kehidupan manusia masa kini, istilah tersebut kemudian diadobsi dan dipraktikkan dalam perhelatan perang politik nusantara,  yah inilah perang moderen dengan model senjata masa lalu yang dipertahankan.

Dalam kegiatan politk praktis, utamanya dalam suksesi calon atau kontestan, serangan fajar selalu muncul dalam kehidupan masyarakat, hal itu dilakukan oleh beberapa pihak –tanpa harus menyebut oknom- untuk meraup keuntungan suara, serangan fajar itu sendiri dilakukan dengan berbagai model, tapi yang pasti serangan fajar itu adalah pengerahan tim ke tengah tengah warga. Lengkap dengan persenjataan yang mereka bawa.

Memang sih, mereka tidak menyerang seperti halya serdadu dahulu, mereka tidak datang pada waktu warga nyenyak dalam selimut dan  mimpi mereka,  namun gaya datang mereka hampir tak jauh beda dengan serbuan prajurit ketika mengepung benteng musuh. Senjata yang  mereka bawa diluncurkan dengan cepat dan tepat. Sasaran pun tak berdaya, takluk dalam dekapan serangan serdadu kekinian itu. “Un syaiun”  dengan segala bentuknya yang dibawa serdadu serdadu itu tak mampu ditolak oleh warga yang posisinya jelas menjadi objek. 

Inilah yang menjadikan tatanan demokrasi kita porak poranda,  gerakan demokrasi yang digulirkan sejak berpuluh puluh tahun silam yang sedianya diharapkan menjadi jembatan pembelajaran dan aspirasi masyarakat akhirnya luluh lantah karena tindakan serdadu yang telah mengepung kebebasan demokrasi itu sendiri. Warga tak lagi menjadi subjek system gerakan demokrasi, namun justru sebaliknya, objektifaikasi merambah tak ubahnya virus kanker yang terus menggerogoti tubuh manusia.

Kita bisa membayangkan apa yang dilakukan serdadu serdadu tresbut, tak lain dan tak bukan adalah menghajar kebebasan warga dengan senjata “un syaiun” tadi. Konotasi sederhana yang diibaratkan dalam praktik itu adalah tindakan politik hitam  dengan mengandalkan kekuatan modal keuangan sebagai senjata ampuh untuk meraup kantong suara para kontestan yang dibawa para serdadu. Akhirnya tak bisa dipungkiri, sebelum perang usai, pemenangnya pun sudah bisa diraba, maka terjadilah perang sebelum jadual pertandingan dimulai.

Inilah Serangan fajar, warga yang notabeni adalah bagian dari bangsa yang mestinya terlindungi hak haknya dalam bersuara, namun  harus menjadi korban kebiadanam serangan fajar, nurani tak lagi berkuasa, karena sepenuhnya telah diperkosa oleh senjata  serdadu yang begitu ampuh. Rumus kemenangan lahir sebelum matahari terbit di ufuk timur. Karena serdadu telah mengintai mangsanya dari segala penjuru.

Entah siapa yang mengawali, sehingga istilah Serangan fajar pada akhirnya lekat dengan tindakan pratik poltik hitam yang dilakukan oleh para kontestan melalui serdadunya, tapi yang jelas hari ini praktik itu sudah benar benar lekat  dalam kegaitan pesta demokrasi kita. warga pun hanya bisa mengangguk meski pada akhirnya dia harus mneyesal selama 5 tahun gara gara  kesalahan 5 menit yang dia lakukan di tempat pemumungutan suara (TPS).

Setiap kontestan jelas memiliki alasan tersendiri mengapa mereka harus menggunakan senjata Serangan fajar itu, bahkan sebagian diantara mereka beranggapan bahwa itu adalah senjata pamungkas yang “Fardu ain” untuk dilakukan.  Namun demikian, pada akhirnya kita akan beehipotesa tentang seperti apa mutu dan kualiatas kontestan yang ternyata hanya mampu mengandalkan serangan fajar itu tadi.  Harus kita sepakati bahwa mereka yang menjadikan serangan fajar sbagai modal uatama dalam sukesei adalah bagian dari calon pemimpin bangsa yang telah merusak  citera dan moral demokrasi jauh sebelum mereka lahir menjadi pemimpin.  Meminjam perkataan Max Weber,  mereka lahir dan tumbuh sebagai seorang  intelektual tradisonal  yang targetnya hanya kepentingan sesaat. Atau dalam istilahnya almarhum Gus Dur, mereka adalah Intelektual tukang. Oh Serangan Fajar.

Tulisan ini dimuat di Majalah Fokus pada Rubrik Tulisan Pinggir Edisi Maret 2014


Sabtu, 15 November 2014

Meraih Maqom Manusia Yang Diburu Rezeki

Judul Buku: Agar Rezeki yang Mencarimu bukan Kau yang Mencarinya
Penulis: Imam al-Harits al-Muhasibi dkk
Penerbit: Zaman
Cetakan: I 2014
Tebal: 233 Halaman
ISBN: 978-602-1687-31-4

Peresensi: Ahmad Wiyono*


KETIKA Membincang persoalan rezeki, pikiran kita selalu terbawa pada aspek materi yang berwujud harta atau uang,  meski dalam konteks yang lebih luas Rezeki tidak hanya sebatas itu, hampir semua nikmat yang dikaruniakan Allah kepada manusia masuk dalam kategori rezeki. Taruhlah misalnya nikmat mata yang tetap mampu melihat dengan baik, nikmat telinga ketika tetap mampu mendengar dengan baik, dan serentetan nikmat lainnya yang rasanya tak mampu jika kita urai satu persatu.

Dalam perspektif sufisme, rentetan nikmat yang kita rasakan dalam setiap desahan nafas kita semua itu adalah rezerki yang tak bernilai harganya. Sementara kita tidak pernah mampu menghitung rentetan reeki tersebut, kita hanya mampu menjadi penikmat. Yah, Penikmat yang kadang harus lupa bagaimana cara mensyukurinya. Padahal kunci bertambahnya nikmat terletak pada seberapa besar rasa syukur kita terhadap nikmat itu sendiri. Itu yang telah difirmakan Allah bahwa Apabila manusia pandai bersyukur maka Allah akan menambahnya.

Perkembangan zaman yang begitu pesat dengan segala kecanggihan tekhnologi dan produk modernisasi lainnya kadang berimplikasi pada peningkatan kebutuhan hidp manusia itu sendiri, maka keberadaan harta (baca: uang) kerap menjadi hal yang sangat dibutuhkan, karena pada dasarnya hampir semua kebutuhan hidup memang membutuhkan hal tersebut. Sepintas hal itu memang sudah alamiah, karena uang atau harta adalah hal yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia.

Namun demikian yang mengkhawatirkan adalah pergeseran Paradigma berfikir manusia yang seakan “menghamba” pada harta itu sendiri, dalam artian akibat kebutuhan hidup yang melonjak memaksanya untuk menghalalkan segala cara, atau karena berfikir begitu sengitnya persaingan dalam mencari harta sehingga manusia bekerja tak kenal waktu bahkan tidak sempat menghadap Tuhan menjalankan rukun rukun islam, nah posisi inilah yang bisa membahayakan manusia itu sendiri. Pola berfikir instan ini muncul akibat manusia tak sadar bahwa sebenarnya rezeki itu selalu ada kapan dan dimananpun.

Ibnu Atha’illah as-Sakandari,  satu dari sekian penulis Buku Klasik yang berjudul “Agar Rezeki Yang Mencarimu Bukan Kau Yang Mencarinya” ini, memulai petuahnya dengan sebuah judul simpel “Tenanglah soal rezeki”, karena baginya rezeki selalu bertaburan di muka bumi, tergantung sejauh mana kita meyakini hal itu. Maka keyakinan menjadi kuci pokok, termasuk meyakini bahwa Allah tidak akan pernah berhenti menebar Rezeki di Muka bumi.

Yang paling berbahaya adalah Dosa ragu kepada allah, sesungguhnya ragu terhadap rezeki berarti ragu terhadap dzat yang memberikan Rezeki. (hlm.19). kalimat ini sangat mudah untuk kita pahami, maka jangan sekali kali kita meragukan keberadaan rezeki. 

Ketika manusia sudah memiliki pemahaman seperti yang dimaksud oleh Ibnu Atha’illah di atas, maka perjalanan hidup manusia akan selalu bersandar pada pondasi ikhtiyar dan doa, karena hakekatnya manusia hanya bisa berusaha, Allahlah yang akan menentukan segalanya. Di posisi inilah pentingnya sifat tawakkal atau berpasrah diri pada sang Maha Penentu yaitu Allah SWT.
Pada Bab berikutnya buku ini, seorang Al-Hariits al-Muhasibi mempertegas perihal pentingnya Tawakkal, tawakkal akan mampu menyejukkan hati manusia dalam kondisi apapun, karena dalam kondisi seperti itu manusia akan selalu menerima apapun hasil dari apa yang dilakukan sebagai buah ikhtiyar. 

Diantara tanda orang yang bertawakkal adalah bahwa ia mengedepankan kejujuran  yang membahayakannya dan kebohongan yang memberinya mamfaat. Orang yang bertawakkal kepada Allah tidak patut takut kepada yang lain (hlm. 42).

Dalam petuahnya ini, Al-harits hendak mengingatkan kita semua, bahwa bersandar pada Allah adalah segala galanya, termasuk dalam urusan rezeki, setelah kita Ikhtiyar, berdoa dan Tawakkal menjadi ujung tombak keberhasilan dalam meraih rezeki itu sendiri.

Pada akhirnya, setiap manusia akan dipertemukan pada ujung sebuah perjuangan, maka ujung perjuangan dalam pencarian rezeki adalah berhasil (kaya) atau gagal (miskin), dua hal ini pasti akan dirasakan oleh manusia sebagai dua sisi hukum alam yang tak bisa dilewatkan. Namun demikian, manusia yang selalu optimis pasti akan dipertemukan pada ujung keberhasilan, karena ikhtiyar yang kuat akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa pula. Maka tidak perlu khawatir, jika kita sudah mampu menerapkan seperti yang disampaikan Al-harits di atas, pasti keberhasilan yang kita raih.

Dalam posisi mencapai puncak keberhasilan (kaya), manusia juga perlu menjaga diri, Buku ini juga mengupas tata cara mengelola kekayaan,  melalui petuah Syekh Muhammad Ali al-Birgawi diulas bahwa kekayaan harus dipelihara agar tidak menjadi petaka bagi pemiliknya,  karena kekayaan materi menurut Sykeh Muhammad sangat membahayakan posisi ketaqwaaan dan keimnana manusia.  Dijelaskan salah satu cara untuk mengelola kekayaan adalah dengan cara bersyukur dan membagi. Orang yang tidak bersyukur, cepat atau lambat, akan kehilangan apa  yang telah diterimanya. Salah satu tanda bahwa kita akan kehilangan harta milik kita adalah ketika kita menghambur-hamburkannya secara mubadzir (hlm. 175).

Sederhananya, buku ini begitu detil mengajari kita untuk menjadi peraih rezeki yang paripurna, tidak hanya sekedar meraih harta tapi juga barokah. Petuah delapan imam besar ini layak untuk kita praktekkan dalam kehidupan sehari hari,  sehingga kita mampu menjadi manusia yang bisa menikmati rezeki dengan nikmat dalam bingkai ridla Allah SWT. Maka yakinlah jika kita menerapkan petuah-petuah para Imam tersebut, maka kita yang akan diburu Rezeki, dan kita tidak akan terbebani dalam mencari Rezeki. Amien. 

*Ahmad Wiyono: Jurnalis, Pengajar, Peneliti dan Pengasuh rumah baca “Haidar Pustaka” Pamekasan Madura.


Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura Edisi 13 Nopember 2014.


Kamis, 13 November 2014

Merawat Kesucian Hati

Judul Buku  : Psikologi Akhlak
Penulis         : Ibn Hazm al-Andalusi
Penerjemah  : Zainul Am
Penerbit       : Zaman
Cetakan        : I 2014
Tebal            : 187 halaman
ISBN             978-602-167-23-9

Peresensi     : Ahmad Wiyono*


Ada sebuah keterangan lama yang tentu kita masih ingat betul, yaitu penjelasan bahwa Dalam diri manusia ada segumpal daging (Mudghah), dimana segumpal daging itu akan menentukan gerak dan perilaku manusia secara keseluruhan, segumpal daging itu adalah hati.

Keterangan ini memberi pemahaman kepada kita bahwa pergerakan manusia secara fisik, psikologis dan sosiologis ternyata diatur oleh gerak hati manusia itu sendiri, ini menunjukkan betapa peran hati sangat vital sehingga seluruh pergerakan manusia ditentukan oleh hati tersebut.

Tentu menjadi urgen bagi setiap manusia untuk meruwat sekaligus merawat keberadaan hati yang notabeni setiap manusia memiliki itu, dengan berbagai cara yang dibenarkan. meski dalam pelaksanaannya tidak segampang yang kita pikirkan berdasarkan nalar rasio kita sebagai manusia.

Sebuah kitab klasik karya Ibn Hazm al-Andalusi yang belakangan diterjemahkan dalam versi Indonesia menjadi Psikologi Akhlak nampaknya mencoba mengcover segala bentuk rancangan menjaga hati manusia, dalam Buku yang diterjemahkan oleh Zainul Am ini terurai dengan jelas beberapa langkah dan upaya untuk menjaga hati manusia sehingga mampu menjadi kontrol tindakan manusia secara sosial.

Indikasi kesucian hati menurut Buku ini bisa dilihat dari beberapa aspek, diantaranya adalah kemampuan memperbaiki perangai buruk, kita tahu bahwa setiap manusia terwarisi secara alamiah dengan sifat salah dan lupa, dua sifat ini yang kadang menjebak manusia melakukan hal hal yang keliru. Seperti berbohong, menggunjing orang dan lain sebagainya.

Tindakan tindakan semacam itu kadang dilakukan oleh manusia dengan alasan alasan yang sangat sederhana, misalnya berbohong karena hanya ingin menutup rasa malu atau karena gengsi, menggunjing orang hanya karena tidak ada pekerjaan lain, serta seabrek alasan lainnya.

Satu lagi, orang senang bercakap cakap dan menggunjingkan orang lain hanya karena hal itu mampu mengusir rasa cemas terhadap ketersendirian dan keterkucilan. Orang makan, minum, bercinta, berpakaian, bermain, membangun tempat tinggal, naik kendaraan, bertamasya, hanya demi menjauhkan diri dari kecemasan. (hal. 24).

Bentuk alasan seperti di atas termaknai menjadi alasan yang tidak sesungguhnya, sehingga berimplikasi pada tindakan atau perbuatan yang tidak sepantasnya. Pada uraian  berikutnya, Buku ini mempertajam uraian seputar tindakan manusia yang masuk kategori tidak Pantas tersebut.

Pada bab 8 khususnya halaman 109 misalnya, dijelaskan bahwa Perbuatan yang tidak sepantasnya adalah berbuat dan berbicara bukan dengan tujuan mengabdi kepada Agama atau moralitas yang sehat. 
Dengan demikian, segala tindak tanduk perbuatan manusia baik rutinitas maupun insidentil, yang tidak terbangun  atas dasar dorongan agama dan moralitas, maka akan berwujud menjadi perilaku yang tidak pantas bahkan bisa menyimpang.

Istilah yang paling sederhana dan sering kita dengar adalah munculnya “penyakit hati”. Konon penyakit semacam ini akan jauh lebih berbahaya ketimbang penmyakit fisik lainnya. Karena penyakit inilah yang akan menyebabkan perbuatan manusia kadang keluar dari koridor agama.

Oleh karena itu, setiap pribadi muslim diharuskan mampu membekali diri dengan berbagai penhgetahuan keagmaan untuk menbentengi diri dari berbagai penyakit hati tersebut. Bicara ilmu, ya tentunya segala bentuk ilmu yang bisa berguna buat manusia itu sendiri.

Kecelakaan terbesar sebenarnya adalah ketika banyak orang yang tidak memilki ilmu, namun tidak pernah menyadari  hal itu, justru dia berani menyombongkan diri dalam ke-awamannya tersebut, maka dapat kita bayangkan betapa kesobongan yang berdampak buruk tidak hanya pada dirinya namun pada orang lain.

Tak ada malapetaka terburuk bagi ilmu dan ulama selain campur tangan pihak asing, yaitu orang orang bodoh yang merasa pandai; mereka merusak segalanya namun merasa bahwa mereka memberikan pertolongan. (hal. 39).

Buku ini ternyata begitu kompleks menawarkan segala sisi perbuatan manusia yang dibenarkan oleh Agama, selain itu bahasa bahasa yang digunakan sangat mudah dimaknai, sehingga setiap kata perkata, kalimat perkalimat mudah dipahami oleh Pembaca. Bahkan Hingga pada persoalan tatakrama di Majleis Ilmu Misalnya tak luput dari pembahasan buku ini. (lihat bab terakhir Hal. 177).

Rasanya sulit mencari kelemahan buku ini, kupasannya begitu detil. tak berlebihan jika buku ini disebut sebagai terapi klasik yang tetap asyik disimak dan relevan dengan perkembangan zaman.

*Ahmad Wiyono; Jurnalis, Pengajar dan Pengasuh Rumah Baca "HAIDAR PUSTAKA" Pamekasan Madura

Tulisan ini dimuat di Harian Umum Suara Madura 8 Oktober 2014

Menjadi Orang Tua Cerdik Dalam Mendidik Anak

Judul Buku : Pintar Mengatasi Masalah Tumbuh Kembang Anak
Penulis     : Imam Musbikin
Penerbit     : FalshBooks (Diva Group)
Tebal : 378 halaman
Cetakan      : Januari 2012
Peresensi    : Ahmad Wiyono

Banyak orang bilang bahwa mendidik anak jauh labih sulit dari melahirkan anak, pendapat ini tentu beralasan karena mendidik anak membutuhkan proses panjang dan fase yang begitu komplit. Perkembangan mental dan fisik anak tentu akan selalu beragam antara anak yang satu dan anak lainnya. Maka tidak gambang mencari komparasi pendidikan anak sejak bayi.

Kesalahan dalam cara mendidik tentu akan berakibat fatal terhadap tumbuh kembang si anak, sementara masa depan dan kemajuan si anak sangat ditentukan oleh seberapa hebat sang orang tua dalam mendidik sejak dini. Salah satu contoh kesalahan yang kerap terjadi di tengah tengah kita adalah ketika mengajarkan bahasa kepada si anak.

Pada Bab pembuka buku ini, penulis memulai dengan penegasan agar setiap orang tua menghindari mengajarkan dua bahasa sekaligus, sebelum si bayi betul betul mengtuasai bahasa ibunya. Nah, kasus seperti ini kerap sekali kita jumpai, di mana sang orang tua langsung mengajari bahasa nasional sementara bahasa sehari hari yang dihunakan dalam keluarga itu masih menggunakan bahasa daerah.

Setelah orang tua mengajarkan satu bahasa yang betul betul menjadi bahasa harian keluarga itu, maka menurut Imam Musbikin sang penulis buku ini, Bayi bisa dilanjutkan dengan diajak melihat atau mengenal lingkungannya, cara mengenalkan lingkungan yang dimaksud adalah dengan memperlihatkan aneka warna, termasuk wajah wajah dari anggota keluarga yang ada di tempat itu.

Sementara itu, ada fase di mana bayi memasuki masa paling tidak nyaman dalam sejarah perkembangan bayi, yaitu disaat masa tumbuhnya gigi si kecil, dalam buku ini juga diulas kapan masa masa itu akan di alami oleh bayi, sekitar usia 6-8 bulan, gigi pertama bayi (gigi susu) akan tumbuh, walau ada kalanya patokan ini sering meleset, namun orang tua tidak perlu cemas, yang penting orang tua jangan sampai mengabaikan perawatannya. Masa yang penuh ketidaknyamanan bagi bayi ini memang sepatutnya mendapat perhatian (hal. 125).

Penulis buku ini juga tak lupa memberikan penjelasan tentang pentingnya mengajari kebersihan pada anak, kita tahu sejak anak bisa berjalan (atau setidaknya merangkak), banyak keinginan anak yang lahir secara alami untuk melakukan beberapa hal, setidaknya mengambil benda benda yang dianggap menraik oleh si anak tersebut. Nah, disaat itulah anak hanya berfikir bagaimana mendapatkan benda itu, tampa tahu bagaimana kondisi disekitarnya.

Pada halaman 210, penulis buku ini menjelaskan bahwa keterampilan motorik anak usia 1 tahun memungkinkannya berjalan jalan ke tempat yang ia inginkan, ia pun mudah terkena kotoran yang bisa saja menyebabkan penyakit.

Orang tua memamg tidak perlu kahwatir apalagi berlebihan, penulis buku ini menjelaskan agar orang tua cukup mengawasi semaksimal mungkin, sehingga jika terjadi hal hal di luar dugaan, orang tua cepat mencari penyelesaian. Saat saat berkelanaan sang anak tersebut adalah pembelajaran kemandirian sang anak.

Buku setebal 378 halaman ini, ternyata sangat detil mengurai lika liku dalam mendidik sang buah hati, dari bab pembuka hingga akhir dijelaskan secara rinci bagaimana mendidik anak yang benar. Bahkan pada bab terakhir penulis sempat mengupas tentang beberapa hal yang berkaitan dengan kebutuhan anak seperti pijat anak,  hingga bagaimana cara mmeilih pakaian atau sepatu untuk anak.

Anda saat ini sebagai orang tua yang sedang mendidik anak?, penting sekali membaca buku ini, karena anda akan dibawa pada suasana di mana anda betul betul menjadi orang tua yang cerdas dan cerdik dalam mendidik sang buah hatinya. Mengutip pernyataan John Gray, Ph.D dalam sinopsis buku ini: agar anak dapat sukses dalam kehidupannya serta melakukan sesuatu potensi yang dimilikinya, Anda (sebaai orang tua)  harus mampu memahami dan menerima keunikan masing masing anak.


*Ahmad Wiyono; Jurnalis, Pengajar dan Pengasuh Rumah baca 'HAIDAR PUSTAKA" Pamekasan.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons