Minggu, 20 Mei 2012

Demi Sebuah Karya

Sekapur Sirih
“Demi Sebuah Karya”

“Aku Menulis, maka Aku Ada”, itulah kata bijak yang pernah dilontarkam oleh Almarhum KH. Zainal Arifin Thaha seorang penulis hebat asal Yogyakarta, dari bahasa itu beliau hendak menceritakan dan menegaskan bahwa eksistensi manusia akan Nampak jika mereka mampu berkarya dan semua itu sudah terwujudkan dalam bentuk karya tulis.

Sosok pria yang semasa hidupnya akrap dipanggil Gus Zainal itu nampaknya sangat getol mensyiarkan pentingnya menulis dalam kehidupan sehari-hari, sehingga seakan-akan dia berikrar bahwa Manusia itu sama dengan  tidak ada (wujuduhu ka adamihi) jika selama hidupnya tidak pernah menulis, itulah setidaknya makna filosofis Aku Menulis maka Aku Ada.

Spirit itulah yang terasa menjadi cambuk panas bagi saya untuk sekedar bisa mengumpulkan beberapa kayra tulis hingga menjadi buku yang sangat sederhana ini, rasa-rasanya tidak ada niat apapun dari munculnya buku ini terkecuali hanya dalam rangka untuk mewujudkan cita kemanusian saya hingga terakui menjadi manusia yang betul-betul “ada”.

Pada dasarnya Buku ini hanya merupakan kumpulan Artiekl pendek yang hampir semuanya pernah dimuat di media Cetak (Lokal dan Nasional), yang rasanya menjadi mubaddzir jika dibiarkan tercerai berai. maka inisiatif untuk mengumpulkan karya itu muncul yang diawali dari rasa panas saya ketika beberapa kali membaca Bukunya Gus Zainal.

Sedikit bercerita bahwa saya sudah gemar menulis sejak di bangku MTs (setara SMP), nah beberapa tulisan itu muncul dibeberapa media cetak, alhasil beberapa waktu yang lalu saya sempat mengklasifikasi tulisan-tulisan itu berdasarkan tema, sehingga muncullah tulisan yang bertema Pendidikan dengan jumlah paling banyak, meskipun tema-tema lainnya juga tidak sedikit yang sudah bermunculan di media.

Akhirnya terkumpullah karya itu menjadi sebuah “Antologi” Artikel seperti yang ada di hadapan pembaca saat ini. Meski sangat sederhana, namun inilah sebuah karya, ukuran baik jelak menjadi sangat relative, apalagi jika kita ingat pada satu maqal “berkaryalah meski sekali dalam hidup”. Rasanya semua akan menjadi luar biasa sejelek apapun karya itu.

Awalnya saya bingung bagaimana cara menerbitkan buku ini, karena sangat tidak mungkin jika tulisan-tulisan tersebut akan ditawarkan pada penerbit, mengingat susunan tulisan ini yang belum menyerupai Buku, apalagi ditambah persaingan penerbitan yang kian ketat, ah membuat saya kian tak pede untuk mengirim kumpulan karya ini pada penerbit.

Self Publishing akhirnya menjadi alternative sekaligus pilihan terbaik dalam proses penerbitan buku ini, ya tentu dengan biaya dan tenaga sendiri, sejak proses pengumpulan naskah, editing data hingga pada layouting. Wah begitulah perjuangan belajar membuat buku.

Namun itu bukan soal, bagi saya mampu mewujudkan keinginan untuk menerbitkan buku merupakan prestasi luar biasa, kepuasan pribadi yang bermanfaat bagi alam adalah kata kunci hidup saya.
Memang tidak gampang dalam melakukan aktifitas kepenulisan, banyak sekali cobaan, terutama waktu dn kemauan, apalagi jika dihadapkan pada lingkungan yang sepertinya “tidak tertarik” untuk menulis.
Saya menyadari betul di lingkungan saya saat ini jarang sekali saya temukan kawan-kawan saya bahkan senior-senior saya yang punya semangat untuk menulis, ya entah mereka punya kesibukan atau tidak, tapi yang jelas itulah faktanya.

Saya ingat betapa jogja menjadi sebuah kota yang tidak pernah sepi dari genersi Penulis, hampir setiap hari selalu bermunculan para penulis, awalnya saya berfikir kenapa itu bisa. Ternyata banyak hal yang manjadi faktor, meski endingnya ada pada kemauan setiap indifidu.

Setidaknya ada tiga fakta Jogja yang membuat kota itu terus produktif melahirkan penulis, Pertama: Iklim Akademis, Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan dengan ratusan sekolah dan Perguruan Tinggi yang tersebar disana, sementara salah satu factor yang dekat dengan dunia pendidikan adalah dunia tulis menulis. Kedua: Banyaknya Komunita-komunitas kepenulisan di Yogyakarta. Dan Ketiga: Hubungan sesama penulis –senioritas dan yunioritas- sangat cair dan mesra. (Baca: Mata Air Inspirasi/45).

Nah, itulah fakta Jogja, pertanyaan sederhanya adalah apakah Madura, atau lingkungan kita secara spesifik tidak mampu menirunya, kalau ujung pangkalnya ada pada kemauan setiap indifidu, sudah waktunya kita bangunkan Indifidu kita yang selama ini tertidur pulas.

Buku sederhana ini mencoba untuk memulai menjawab pertanyaan itu, setidaknya sebagai pelajaran awal untuk kita semua terutama bagi saya pribadi. Kedepan saya yakin akan banyak penulis yang juga akan menerbitkan buku-buku karya mereka.

Saya banyak berucap terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut andil dalam proses terbitnya buku ini, terutama Isteri saya yang telah banyak kehilangan waktu dengan saya karena sibuknya saya mengedit tulisan-tulisan ini.

Terimakasih dan salam hormat juga saya sampaikan kepada semua Senior saya seperti Bapak Rektor UIM Pamekasan, Bapak Dekan FKIP UIM pamekasan dan para senior yang lain yang tidak bisa saya sebut satu persatu, ternmasuk kepada semua sahabat-sahabat saya, “karena kalianlah saya selalu berusaha menatap masa depan”. Untuk Bapak Moh. Subhan yang sudi menyumbangkan sebuah tulisan untuk saya jadikan prolog dalam buku ini, saya juga ucapkan terimakasih.

Mudah-mudahan buku ini akan bermanfaat buat orang banyak, dan mudah-mudahan setelah ini akan muncul buku-buku baru yang lebih baik da lebih berkualitas. Selamat membaca.

Sabtu, 19 Mei 2012

Sepatu Butut


Sepatu Butut,
Dari Bangku Kuliah Hingga Meja Kerja

Kedengarannya mungkin agak aneh jika ada seorang mahasiswa mempunyai sebuah sepatu yang bisa bertahan hingga dia lulus bahkan masih bisa dipakai hingga menjadi karyawan (civitas akademika) pada kampus tempatnya kuliah tersebut.

Tapi tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, karena fakta itu yang pernah saya jalani, memang agak malu juga sih menceritakan semua ini, tapi ya begitulah faktanya.

Menginjak semester III (sekitar tahun 2005) saya berkesempatan membeli sebuah sepatu Pantofel, hal ini dimotifasi oleh keinginan saya untuk berpenampilan sedikit resmi. Meski dalam kondisi keuangan yang agak kritis saya memaksakan diri untuk membeli sepatu itu demi sebuah penampilan yang saya impikan sebelumnya. Ya meski pada akhirnya sepatu tersebut saya beli di trotoar (sejenis pedagang kaki lima), pertimbangan harga yang lebih murah dibanding harga toko itulah yang membuat saya mebeli sepatu itu di trotoar.
***
Senin pagi yang cerah saya berangkat dari kos-kosan menuju kampus dengan penampilan kali pertama menggunakan sepatu Pantofel, wow.. macam-macam respon kawan-kawan waktu itu, ada yang ngledek, ada yang memuji,  ada yang heran. Bahkan ada kawan yang sempat bilang dengan bahasa nyindir, “awas, ada Pak guru da Goa Hantu”, tapi bagi saya itu bukan soal. Prinsip saya waktu adalah biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Empat tahun lamanya saya kuliah dan  bertahan dengan sepatu itu, tak terasa kondisi sepatu itu mulai agak lusuh, maklum hampir setiap hari sepatu itu saya gunakan, mulai dari ke kampus, kegiatan organisasi dan semacamnya. Bahkan sepatu saya pakai menuju mimbar Wisuda sekitar tahun 2007.
Akhirnya saya pun berhasil meraih gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada tahun itu, sepatu itu terus setia menyertai saya.

Satu tahun pertama dari kelulusan, saya belum mempunyai aktifitas. Akhirnya untuk menghindari image negative terhadap sarjana maka saya meilih keluar tiap hari dari rumah dengan berpakaian resmi dan bersepatu itu yang seakan-akan saya seudah menjadi karyawan.

Hingga suatu ketika saya dipanggil oleh salah seorang Civitas di kampus saya, ternyata saya hendak direkrut menjadi saf di sana. Ya saya menerima saja, bahkan dengan sangat senang hati.
Aktifitas baru mulai saya tekuni sebagai staf, ada suasana baru saya rasakan. Tempat yang dulu menjadikan saya mahasiswa, saat itu berubah menjadi tempat bekerja dan mengabdi.

Namun demikian, ada yang tidak berubah, sepatu saya. Yah sepatu yang dulu saya pakai kuliah dan berorganisasi ternyata tetap saya pakai dengan jabatan beru saya sebagai staf. Bahkan sepatu butut itu bertahan hingga 1 tahun lamanya saya menjadi staf di kampsu itu. Setelah itu saya baru berfikir untuk mengganti sepatu butut itu.

Syukurlah akhirnya saya berkesmpatan utnuk membeli sebuah sepatu yang menurut ukuran saya sangat bagus. Namun sepatu butut yang telah setia menyertai saya sejak kuliah tetap saya simpan hingga saat ini, bahkan saya tempatkan berjajar dengan sepatu baru saya dan sandal-sandal saya yang lain.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons