Selasa, 02 Agustus 2016

Budaya Mudik dan Kesadaran Sangkan Paran

Judul        : Sedang Tuhan pun Cemburu
Penulis        : Emha Ainun Nadjib
Penerbit    : Bentang Pustaka
Cetakan    : 1. 2015
Tebal        : 443 Halaman
ISBN        : 978-602-291-079-4
Judul di atas sebenarnya merupakan salah satu judul esai Emha Ainun Nadjib dalam buku Sedang Tuhan pun Cemburu ini. Sebuah buku yang mengajak pembacanya untuk selalu menyegarkan cara berfikir, melihat  dan bertindak dalam kehidupan ini. 

Dinamika kehidupan manusia selalu mengalami perkembangan yang dinamis,  perjalanan waktu mengantarkan manusia dari satu titik ke titik lainnya. Itulah sebabnya, setiap insan selalu mengalami perubahan, cara berfikir, berbuat serta perubahan lainnya. Denyut nadi soasial masyarakat kita rasanya tak akan pernah selesai dieja, lantaran perubahan menjadi hukum yang terbantahkan.

Pergeseran cara berfikir masyarakat kita menjadi sesuatu yang tak bisa kita lawan, implikasi kemajuan zaman termasuk sains teknolgi merambat pada berubahnya pola pikir masyarakat, dari yang mulanya sosialis misalnya, berubah menjadi individualis, dari yang idealis bergeser menjadi pragmatis, dan seterusnya dan seterusnya. Itulah perubahan yang tak ada ujungnya.

Gambaran tentang dinamisasi kehidupan yang tak berujung itulah yang dituangkan Cak Nun dalam buku ini, dia berhasil merekam kegelisahan denyut nadi sosial masyarakat kita saat ini.  Banyak tindakan dan perbuatan yang dilakukan manusia tak sesuai dengan substansinya, mereka berbuat hanya demi satu tujuan yang mereka buat sendiri.

Dalam kasus mudik misalnya, semua orang tahu bahwa mudik adalah sebuah aktifitas masyarakat dalam rangka menjalin silaturrahmi dengan sanak keluarganya, mereka sudah menyiapkan diri untuk mudik jauh sebelum bulan puasa tiba, lambat laun mudik pun bergeser oreintasinya, dari tujuan silaturrahmi, kadang berubah menjadi media pamer diri atau bahkan harta benda, untuk menggambarkan keberhasilannya di tanah seberang. Memang itu hanya kasuistik, masih banyak masyarakat yang konsisten dengan tujuan mudik yang sebenarnya. Dan bagi Cak Nun, mudik tetaplah kegiatan mulia yang harus dipertahankan substansinya.

Orang beramai-ranai mudik itu sebenarnya sedang setia pada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal usulnya. Mudik itu menandakan kometmen batin manusia terhadap sangkan paran dirinya. (Hal. 42).

Kumpulan esai-esai Cak Nun ini merupakan refleksi seorang Emha Ainun Nadjib terhadap kehidupan ini, Cak Nun melihat betapa banyak perubahan perilaku manusia yang mencoba mengkaburkan pola interaksi dengan Tuhannya, bahkan tak sedikit pula, manusia yanmg mulai menjauh dari hiruk pikuk sosialnya.

Pembacaan terhadap situasi negeri ini juga tak luput dari ulasan Cak Nun dalam buku ini, secara kritis Cak Nun berhasil “menelanjangi” kebobrokan negeri yang berjuluk gemah ripah loh jinawi ini. Beberapa esainya secara tegas mengkritisi keberadaan negeri ini yang mulai tak sedap dipandang mata. Bagi Cak Nun, negeri ini sudah seperti dihuni oleh manusia-manusia tak berakal, mereka menggunakan segala macam cara untuk memenuhi hasrat dan keinginan pribadinya.

Beberapa tahun ini saya menyaksikan di antara mereka terjadi “perang besar-besaran”, terus menerus. Dan, dalam keadaan sakit itu, mereka terus berproduksi. Sesudah kelelahan kerja, tanpak seolah-olah konflik itu sebenarnya tak ada, semua, dan tidak abadi. (Hal. 380).

Bahasa ringan yang digunakan penulis dalam buku ini, membuat siapapun yang membaca buku ini terbawa pada suasana yang sangat nyaman. Namun demikian, isi dan makna yang sangat dalam termaktub dalam bahasa-bahasnaya yang ringan tersebut, membuat pembaca semakin paham dengan kondisi kehidupan bangsa kita saat ini. 

Buku kumpulan esai yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka ini, merupakan media represetatif bagi kita semua untuk membaca kehidupan ini, mulai dari konteks sosial, budaya, agama dan lain sebagainya. Denyut nadi kehisupan manusia, hampir sepenuhnya terekam dalam buku bergengsi ini. Pembaca juga akan diajak untuk merevitalisasi kembali pola pikirnya sehingga menjadi lebih baik. Buku setebal 443 halaman ini akan membangkitkan kembali semangat revolusi berfikir umat manusia.

Jawa Pos




0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons