Rabu, 01 Maret 2017

Tahun Ke Lima

A. Haidar Jawis Syarqi
Hari ini, Kamis, 2 Maret 2017 merupakan hari yang (saya anggap) cukup istimewa, ini adalah hari ulang tahun ke-lima anak saya (A. Haidar Jawis Syarqi). Saya merasa bahagia karena selama lima tahun ini kami jalani mahligai ini dengan penuh keindahan, yah, kendati ada kerikil-kerikil yang saya jumpai dalam beberapa kesempatan.

Dalam mengarungi perjalanan kehidupan bersamanya, 5 tahun adalah waktu yang terasa sangat singkat. Saya justeru tidak sadar kalau ternyata dia telah berusia lima tahun. Ini mungkin dikarenakan kami selalu menikmati tahap demi tahap perjalanan hidup sang pendekar pertama saya ini. Sehingga semua terasa begitu cepat.

Saya jadi ingat bagaimana lima tahun silam sewaktu dia masih dalam kandungan. Masih tersimpan rapat dalam memori ingatan saya, bagaimana proses melelahkan yang dialami isteri saya (Nur Anisah) saat-saat proses persalinannya. Waktu itu hari kamis, tanggal 1 Maret 2012, sekitar pukul 22 lewat, siteri saya mulai sakit perut, sebagai suami siaga saya langsung mengajaknya untuk periksa ke bidan terdekat. Apalagi dalam hitungan kalender kehamilan, usia kehamilan isteri saya sudah lewat dari jadual prediksi kala itu.

Sepeda Motor Yamaha Vega warna biru mengantarkan kami berdua ke tempat bidan yang tak begitu jauh dari rumah kami. Sepanjang perjalanan, saya merasakan ada sakit dialami oleh siteri saya, itu saya yakini karena sesekali isteri saya “tersentak-sentak” diatas motor sambil sesekali tiba-tiba memegang erat pundak saya. Saya tahu betul ada sakit yang dia rasa, tapi tidak dia ucapkan.

Saya menunggu detik-detik persalinan isteri saya di Polindes dekat rumah saya. Sebuah proses (yang saya bilang cukup panjang) harus kami lalui. Dari aura wajah dan sorot matanya, jelas ada sakit mendalam yang sengaja dia sembunyikan. Sakit itu ingin juga saya rasakan, seandainya semua itu bisa dibagi. Tapi dia begitu ikhlas menjalaninya.

Saya tetap ada di sampingnya, meski sesekali dia betkata lirih kepada saya “Kak Tak anapah sampean mun asarenah” (kak tidak apa-apa kalau sampean mau tiduar).  Saya hanya menjawan “iya”. Karena tidak mungkin saya bisa tidur di tengah rasa sakit yang sedang dirasakan oleh isteri saya. Dalam keadaan ngantuk yang cukup berat serta kondisi fisik yang tidak stabil –karena waktu iitu saya masih dalam keadaan sakit cedera pada lutut akibat kecelakaan yang menimpa saya-, saya tetap berusaha untuk tidak lelap sedikit pun.

Tepat pukul 00 lewat, bidan menyatakan baru pembukaan 5, itu artinya persalinan diprediksi masih sekitar pukul 4 atau pukul 5 dini hari. Saya semakin tidak kuat, bukan karena ngantuk yang mendera saya, melainkan karena tidak tega dengan rintihan sakit yang dialami oleh isteri saya. Nyaris tak ada siapa-siapa di ruangan itu, hanya bidan yang sewaktu-waktu mengecek perkembangan proses persalinannya. Saya memang sengaja tidak berkabar kepada siapa pun.

Adzan subuh berkomandang,  saya semakin waswas, tegang tak karuan. Tidak tahu harus berbuat apa. Hanya lafadz-lafadz Dzikir, dan amalan yang sudah diberikan bapak saya yang tak henti-hentinya saya gulirkan dari bibir  yang semakin gemetar. 

Adzan Subuh sudah berlalu, saya belum shalat. Sementara tak mungkin saya meninggalkan isteri saya sendirian.  Bu bidan masuk dengan Mokena yang masih menempel di tubuhnya. Dia menatap pada saya, “Mas, silahkan shalat dulu, tidak apa-apa shalat di kamar sebelah saja, biar saya di sini” ujar sang Bidan. Saya pun bergegas untuk shalat Subuh.

Dalam linangan air wuduk, tak henti-hentinya hati dan batin saya memohon agar isteri dan anak saya diselamatkan. Bacaan Qunot pun menjadi saksi permintaan saya kepada Tuhan agar mereka selamat. Habis shalat subuh saya masih menuntaskan bacaan dzikir saya, tak banyak yang saya minta, kecuali keselamatan isteri dan anak saya. Tiba-tiba; “mas mas, laki-laki” bu bidan berteriak memanggil saya. Saya kaget, saya berfikr dia butuh bantuan seorang laki-laki, dengan kaki terpincang-pincang saya segera memasuki ruangan persalinan. Saya sangat khawatir, pasti ada seuatu  yang buruk telah terjadi. “Allah…..!!!” jerit saya waktu itu.

Kekhawatiran saya tejawab manis setelah mebuka pintu ruang persalinan, saya mendengar tangis bayi mungil menjerit-jerit indah.  “alahamdulillah, dapat cowok mas” ujar bu Bidan. Tak terasa air mata ini berlinang, penantian selama hampir 7 jam terjawab  sudah. Allah telah menganugerahkan anak pertama laki-laki kepada saya. Saya melirik isteri saya yang sedang lunglai, ada senyum manis yang dia lontarkan kepada saya sebagai  simbol kebahagiannya.

Kini, bayi mungil itu telah menjadi anak-anak,  anak  yang sesekali menunjukkan sifat nakalnya pada sang ibu. Anak yang sesekali “mencubit” hati ibunya. Tapi, dia hanyalah anak-anak, belum waktunya dia tahu sejarah perjuangan ibunya.  Dia adalah anak-anak yang hanya berhak mendapat pendidikan keluarga serta curahan kasih sayang dai orang tuanya.


Tak Ada Lilin dan Kue Tar
Sejak ulang tahunnya yang pertama, saya dan ibunya tak pernah merayakan dengan model apa pun. Kami hanya pernah mengundang beberapa teman-temannya yang dekat dengan rumah untuk sekedar berkumpul dan berdoa. Nyaris tak ada yang istimewa. Penuh kesederhanaan.

Kadang saya juga berfikir, apakah perlu kita mengadakan pesta ulag tahun untuk anak-anak, dengan kue tar, lilin dan kado yang bermacam-macam?.  Perlu atau tidak, yang jelas saya belum  melakukan hal itu. Ada banyak pertimbangan prinsipil yang hatus saya perhatikan.

Pertama; saya ingin sekali mengajarkan makna kesedarhnaan bagi anak-anak saya, dan itu juga yang diinginkan isteri saya. Saya ingin katakan pada mereka, bahwa uforia, pesta dan semacamnya terkadang tak begitu memberikan efek positif bagi tumbuh kembangnya. Karena dalam teori psikologi, semakin anak dimanja, semakin sulit anak untuk berfikir dewasa. Saya tidak dalam rangka mengklaim pesta ulang tahun adalah bentuk pemanjaan, tapi itu salah satu pintu.

Kedua; saya ingin mengajarkan sejarah masa lalu saya dan ibunya kepada anak-anak saya. Bahwa kami adalah orang-orang kampung yang lahir, hidup dan besar dalam kehidupan yang penuh kesulitan. Kami adalah “anak phungkalatan”  yang ketika hendak makan, maka harus bertani  dan berladang.  Hidup pas pasan dan tak ada kemewahan. Kami ingin megajarkan itu semua, sebuah proses berdarah-darah yang telah kami rasakan bersama. Apakah kami hendak menurunkan semua itu? Jawabannya tidak dalam rangka itu, namun lebih pada bagaimana mereka paham dengan sejarah masa lalu orang tuanya. Yang ingin kami wariskan adalah ”kesuksesan bukanlah saat kita bergelimang harta hasil pemberian orangtua, namun saat kita memiliki harta meski seadanya namun hasil kerinat sendiri”.

Tadi pagi, habis subuh,  isteri saya mengingatkan saya tentang ulang tahun Haidar yang ke-lima. Ada pertanyaan, apakah tidak perlu memberi hadiah atau kado? Saya menjawab dengan spontan, kita sudah biasa memberi hadiah dan kado,  tak usah menunggu ulang tahun.  Kalau pun toh, hari ini atau besok kita kembali memberikan hadiah, bagi saya tidak masalah, tapi jauhkan kesan bahwa itu karena ulang tahun. Karena hadiah harus kita berikan sepanjang waktu, sepanjang masa, bukan karena momentum tertentu. Bagi saya itu bentuk kasih sayang yang sebenarnya.


Dari Mana dan Hendak ke Mana
Masa lalu adalah pengalaman, hari ini adalah kenyataan dan hari esok adalah impian. Begitu kira-kira papatah lama mengatakan. Dalam kesempatan ini, saya pun ingin sekali mengajarkan makna substantif dari pepatah ini kepada anak saya. Ada banyak hal yang harus dia ketahui kelak tentang dari mana asal muasal dirinya. Itu penting, agar ketika kelak dia menjadi orang hebat dia tidak lupa diri dan tidak lupa asal usulnya, dan jika pun dia kelak menjadi orang biasa-biasa saja, dai akan menyadari tentang makna kehidupan itu, karena dia sudah tahu kesederhanaan yang dilakukan oleh nenek moyangnya.

Dalam setiap kesempatan, saya selalu mengaknya main-main ke Sumenep (kampung halamn saya) tujuan utama agar dia bisa bertemu dengan kakek neneknya. Agar dia bisa merasakan bagaimana iklim kehidupan di sana. Agar dia juga memahami bagaiana getirnya perjuangan hidup sebagai orang tua. 

Ingin saya tunjukkan kepada anak saya, tentang keriput dahi kakek neneknya, retak telapak kaki kakek neneknya, kasarnya kedua telapak tangan kekek neneknya. Semua itu pertanda bahwa ada perjuangan berat yang telah dilakukan untuk sekedar menghidupkan saya dan mengantarkan saya ke berbagai medan perjuangan. Itu sejarah penting yang harus diketahui oleh anak saya.

Tak ada yang sitimewa, tapi bagi saya itu sungguh sangat luar biasa. Kehidupan nyata yang telah di lalui oleh bapak ibu saya sejak saya belum ada di dunia. Adalah pelajaran penting buat saya dan anak-anak saya. Dari sanalah saya bermula, maka kepada pengalaman itulah anak-anak saya harus blajar.  Persoalan kelak dia  hendak ke mana, biarkan taqdir yang mengantarkannya. Saya tak muluk-muluk uuntuk mendedikasikan anak-anak saya jadi apa, itu urusan nanti. Dia akan berjuang sesuai nengan mimpinya sendiri. Yang penting dia bisa berbakti. itu saja.

Maaf nak, ulang tahunmu kali ini kembali tak ada kue tar atau pu lilin yang harus kau tiup, bagi saya itu tidak terlalu prnting. Bagi saya ulang tahun itu cukup dijadikan bahan muhasabah untuk merenung tentang usia yang bertambah seklaigus berkurang. Namun yang pasti, doa ibumu akan terus mengalun dalam setiap desah nafasnya, agar dalam keadaan apa pun kau tetap menjadi anak shaleh dan berbakti, berguna bagi bahgsa, agama dan Negara. Oh iya nak, saat masih pelajar, maka saya bergabung dengan Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU), saat kulaih saya masuk ke Pergerakan Mahasiswa islam Indonesia (PMII), saatt ini saya aktif di Gerakan pemuda Ansor, sembari berusaha menjadi NU sejati. Dan kau nak, harus meniru jejak saya ini.

Selamat ulang tahun yang ke lima nak, tataplah masa depan, singsingkan lengan baju. Jadilah apa yang kamu mahu. Tulisan ini adalah kado istimewa untuk ulang tahunmu yang ke lima.


Mekkasen, 02 Maret 2017





0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons