Senin, 26 Maret 2012

Sensualitas dan Sakralitas Tayub

Sensualitas dan Sakralitas Tayub
Oleh: Ahmad Wiyono*

Sebagai produk budaya tayub terlanjur mendapat cap 'nakal' meski dalam sejarahnya pernah menjadi media dakwah.

Sepintas, tayub adalah sejenis tari yang diperan kan perempuan yang terlebih dahulu ditata dengan busana rapi. Penari perempuan itu belakangan masyhur disebut sinden atau Tande’. Di Madura, Tarian ini sering digelar dalam kegiatan masyarakat seperti hajatan, kegiatan ritual masyarakat pesisir, bahkan tak jarang pertunjukan jenis ini kita dapati dalam kegiatan kontes kebudayaan dan kesenian Madura seperti sapi sonok dan kerapan sapi.

Sambil menyanyi dengan diiringi musik gamelan, dalam pentas tayub, sang sinden menari di atas panggung diikuti beberapa penari laki-laki. Dari awal hingga akhir, pertunjukan ini didominasi oleh penari perempuan. Kesenian yang satu ini sangat dikenal di Jawa Timur, Jawa Tengah, Tanah Sunda, bahkan Madura.

Tayub memang hanya sebentuk tari biasa yang tak jauh beda dengan kesenian tradisional lainnya. Seperti halnya cokek, yang dikenal dalam kebuda yaan masyarakat Betawi. Akan tetapi, jika ditelaah lebih jauh dengan menggunakan kacamata teologis, kesenian ini di samping menyimpan eksotisme juga menggambarkan adanya ajaran luhur di dalamnya.

Seni tayub jika direntang ekstrem ke ujung-ujungnya, yang pertama mengarah ke ke indahan bentuk, glamor, spectacle, dan seks. Yang kedua erat dengan nilai religi, ritual, kedamaian hati, dan pencarian jati diri. Kedua aspek ini terkait dalam sebuah continuum, artinya bukan dalam hubungan 'pilih salah satu' (kalau yang satu ada yang lain tidak), tetapi dua-duanya selalu hadir dalam adonan yang bervariasi, tipis sekali, wajar, atau sangat mendominasi.

Pada awalnya, tayub merupakan kesenian sakral warga ke raton. Tetapi seiring perkembangan zaman, lebih-lebih setelah kemasukan budaya asing seperti ciuman, minum minuman keras, dan colek mencolek, yang jelas-jelas tidak cocok dengan norma keraton dan aturan budaya Jawa, tari ini pun sengaja dikeluarkan dari lingkungan keraton.

Oleh karena itu, dalam perkembangan berikutnya, tayub mulai mengalami pergeseran, dari tari keraton menjadi kesenian rakyat yang tumbuh secara bebas. Kesan tayub sebagai tari mesum semakin merebak pada abad ke-19.

Pada 1817, GG Raffles dari Inggris, dalam bukunya berjudul History of Java, menulis tayub sebagai tari ronggeng mirip pelacuran terselubung. Kesan sama juga dituliskan oleh peneliti asal Belanda, G Geertz dalam bukunya The Religion of Java.

Pada titik inilah tayub menjadi ritual yang mengandung kontradiksi nilai-nilai di dalamnya. Pada saat tertentu, tayub dibutuhkan sebagai bagian dari ritualisme, tetapi di saat yang bersamaan kesenian itu justru dikonotasikan dengan sesuatu yang negatif, yakni seni sensual yang dekat dengan pelecehan seksual.

Jika tayub dipahami secara kasatmata, hanya akan ditemukan pentas seksual. Akan tetapi, jika melihatnya melalui kacamata teologi, nilai-nilai adiluhung niscaya akan ditemukan dalam pentas tayub.

Nilai dasarnya sebagaimana dilukiskan Prof Dr Suripan Sadi Hutomo, pakar filologi dan folklor humanis, adalah kesamaan kepentingan untuk mengapresiasikan kemampuan, jiwa, dan bakat seni, baik kemampuan sebagai penabuh gamelan (pengrawit) ataupun penarinya.

Dalam sejarahnya, seni tayub juga diyakini memiliki kandungan nilai agamais. Hal itu terjadi pada abad XV, ketika tayub digunakan sebagai media syiar agama Islam di pesisir utara Jawa oleh tokoh agama Abdul Guyer Bilahi. Ia selalu mengawali pergelaran tayub dengan zikir untuk mengagungkan asma Allah.

Budaya kejawen penganut paham tasawuf menilai tayub kaya kandungan filosofi akan gambaran jati diri manusia lengkap dengan anasir keempat nafsunya. Dalam tari itu selalu ada penari perempuan yang menjadi tokoh sentral, sebagai visualisasi keberadaan.

Kemudian dilengkapi dengan empat penari pria pendamping, yang disebut sebagai pelarih, sebagai penggambaran anasir empat nafsu manusia, terdiri atas aluamah (hitam), amarah (merah), sufiah (kuning), dan mutmainah (putih).

Perkembangan yang paling menarik terjadi di Blora, Jawa Tengah. Sejak dulu hingga sekarang, masyarakat Blora menganggap tayub bukan hanya pentas hiburan semata, melainkan juga termasuk ritual yang diyakini memiliki kekuatan magis sangat kuat.

Hal ini terbukti dengan dijadikannya seni tayub sebagai bagian dari sedekah desa, yakni sebentuk syukuran rakyat di mu sim panen. Tayub juga di tampilkan sebagai bentuk rangkaian upacara perkawinan, dan membayar nazar atau kaul, seperti nazarnya orang yang sedang sakit agar bila diberi kesembuhan akan 'nanggap' tayub, dan lain sebagainya.

Ada semangat gotong-royong dan religius yang amat kental di dalamnya. Kalau demikian adanya, masihkah tayub akan dikonotasikan dengan seni pelacuran? Entahlah! Hanya sejarah yang dapat membuktikannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons