Senin, 26 Maret 2012

Menuju Pendidikan Pesantren Progresif

Menuju Pendidikan Pesantren Progresif
(Grand Strategi Menghadapi Transformasi Global)


Pendahuluan
Salah satu tujuan awal didirikannya Pondok Pesantren adalah untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan keagamaan (Syar’ie) kepada anak didik (Santri) yang diyakini sebagai generasi para ulama’, warasatul anbiya’. Pesantren tumbuh sebagi jawaban terhadap tantangan kebutuhan yang paling mendasar yaitu terpebuhinya insan kamil, baik untuk menegakkan syariat islamiah (Liyatafaqqohaa fil addin) maupun untuk membimbing manusia dengan berpijak pada tatanan masyrakat islamiah.

Berangkat dari inilah segala aktifias Pondok Pesantren selalu identik degan nilai-nilai kultural islamiah, baik dari pengajian kitab kuning hingga bimbingan pemahaman moralitas sebagai ciri khas santri, sehingga dapat memperkuat jiwa pemuda yang berbekal iman, ilmu dan akhlakul karimah dengan dibiasi kecakapan dan kecerdasan untuk mengaplikasikannya ditengah-tengah mayarakat.

Namun denikan kita tidak boleh memandang prsantren dari sudut pandang dan sumbangsihnya dalam soal keagamaan saja, sebab secara faktual pesantren telah mampu memflter kehidupan sosial masyarakat baik dalam soal moralitas, humanitas dan mempertahankan harga diri. Sejarah telah mencatat bahwa keberadaan pesantren dalam menjawab dinamika pergolakan sosial-politik cukup signifikan. Hal ini dapat kita lihat dari sumbangsih massyarakat pesantren dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, mengarahkan fase-fase perubahan politik, serta pembinaan moralitas sehari-hari dalam masyarakat telah menjadi spektrum tersendiri yang tipikal bagi pondok pesantren. Masdar F. Mas’udi direktur P3M menyebutkan bahwa pesantren memiliki potensi yang luar biasa besar sebagai center of exelen masyarakat bawah sekaligus sebaga pusat perubahan yang berbasis kepada kesadaran masyarakat serta sumber daya kulturalnya.

Pesan ini sejalan dengan misi profetik (samawi) santri, yang dalam al-qur’an disebut sebagai syahid, mubassyir, nadzir, dan siraj-munir (Al-Ahzab: 45-46). Secara sosiologis peran ini dapat disebut sebagai agent of social change, dimana peran ulama-santri disini sebagai agen perubahan masyarakat, turut mengarahkan (baca: Basyir), Mengontrol (baca; Nadzir), dan mencerahkan (baca: siraj-munir) masyarakat.

Dala tatanan tersebut sosok santri akan dijadikan patronise dan barometer karakteristik bagi masyarakat, dengan harapan kehadirannya menjadi media kedamaian (mefium of peace) yang bertitik tolak pada intens keislaman yang dileburkan oleh wacana pencerahan yang melingkupinya, sehinga menjadi titik pencerahan islam. Masyarakat begitiu yakin dan mengharap bahwa sanri adalah sosok ideal yang tanpa cacat sedikitpun. Santri, menurut anggapan mereka adalah manusia yang memiliki moral tinggi, pendidikan berkualitas dan sebagainya


Diskursus Pendidikan Pesantren
Dalam konteks pesantren, pendidikan diskursus signifikan dalam mewarnai siklus perkembangan dunia pendidikan islam, ini berarti lembaga berdasarkan islam tersebut identik dengan poia dan sistem pendidikan yang dianut sebagai akselerasi gerak pesantren pada ruang masa depannya, sekaligus gejala diterminan wujud progresibvitas pada fase-fase terakhir. Dari itu, diperlukan sekali menyibak suasana pendidikan pesantren bersama pola pendidikan yang teraktualisasi di peasntren yang kian melesat sedemikian cepat, memasuki ruang sinar kecerahan, merengkuh beragam khazanah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup dijadikan bukti konkret bagi eksistensi pesantren selaku miniatur dan sental ilmu pengetahuan, terutama dbidang keagamaan.

Semisal pondok Gontor, Pesantren Darunnajah Jakarta, yang dikenal sebagai pesantren moderen telah mampu membidik bentuk pendidikan bersama fase perubahan kehidupan manusia. Dan bobot yang dikeluarkan dapat kita telusuri melalui legalitas kelimuan yang dimiliki, intlektual agresif, dan fantastik, banyak menghadirkan pemikiran canggih , seprti pemikiran Nurcholis Madjid (alm), Musthafa Bisri, MH. Ainun Nadjib, Abdurrahman Wahid dan fgur intlektual lain yang menjadi bintang fokus kompeten yang melahirkan gagasan jitu artistik, melalui strsta kelimuan yang cukup handal disertai kedisiplinan yang gigih dipertahankan, selaku kerangka dasar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dari generasi muda intlektual muslim selajutnya.


Globalisasi: Sebuah Harapan Dan Tantangan Pendidikan Pesantren
Globalisasi atau masyarakat era industri telah membawa ekses-ekses positif maupun negatif yang kini muali dirasakan oleh masyarakat luas. Ekses itu pada gilirannya meniscayakan suatu nilai-nilai baru pula. Hal semacam itu pula yang nulai terjadi di dunia pesantren. Gejala yang tampak pada akhir-akhir ini menunjukkan bahwa masyarakat pesantren mulai terbiasa mengadopsi sikap pragmatais, formalistik, keterbukaan, nilai-nilai kebebasan, rasionalaisasi, skularisasi, serta menjadi pula dari bagian pop cultur.

Kalau kita telaah secara hipotesis, salah satu akar utamanya nilai-nilai sebagaimana disinggung diatas adalah kurangnya kemampuan atau kelambanan dunia pendidikan dan pesantren dalam merumuskan kembali keilmuan yang diajarkan serta seluk beluk yang berkaitan dengan itu. Ada kesan bahwa makna ilmu telah mengalami reduksi atau penyimpangan dari nilai-nilai keilmuan itu sendiri.

Adanya pemetakan ilmu agama dan ilmu umum jelas menjadi problem krusial pendidikan kita. Hal itu diperburuk lagi dengan sikap lembaga pendidikan terhadap displin ilmu yang diajarkannya. Pada satu pihak, penddikan agama yang diajarkan dalam pendidikan nasional terkesan sekedar bersifat aksesori yang kurang diarahkan pada pembentukan sikap dan prilaku yang bermoral. Pada pihak lain, dalam dunia pesantren –melalui sistem pendidikan klasikal yang dikelolanya- Al-Ulumul Aqliyah yang dimasukkan kedalamn kurikulum terkesan hanya diterima dengan “setengah hati”. Ilmu-ilmu tersebut seakan tidak memiliki signifikansi dan subtansi pendidikan itu sendiri. Padahal kalau kita sadari, santri merupakan elemen kecil yang mampu bergerak dalam segala sektor keilmuan, bukan hanya bergelut dalam penggodokan ilmu syar’ie dan dogma agama, tapi juga harus mampu berdaptasi dengan perkembangan zaman (globalisasi), baik dalam sektor pendidikan, politik, budaya, ekonomi dan sebaginya. KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) pernah berasumsi bahwa pesantren tidak lagi dapat dilihat sebagai sub kultur, dalam artian gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan tidak harus diidentikkan dengan ritue ataupun teologi islam. Tetapi pesantren juga mengacu kepada kegiatan pendidikan dalam arti sosialisasi nilai-nilai dan tradisi islam serta pengambangan profesi. Termasuk juga adaptasi dengan dunia luar. Apalagi kesadaran perlunya mengejar kemajuan untuk menyesuaikan diri dengan abad teknologi, kini sudah kian meresap kesemua lapisan masyarakat bahkan dikalangan masyarakat tradisional sekalipun. Maka sudah saatnya pesantren terbuka dan menerima ide-ide luar.

Idealisme ini dapat terealisasi apabila kita rela mentransformasikan sistem salafy pesantren dalam mengayuh generasi ulama (santri) yang multi fungsi kegerbang rasionalitas. Alisjahbana pernah mengemukakan bahwa jika pendidikan pesantren tetap berpola salafiyah, tanpa dimasuki dialektika formalitas, berarti kita mempertahankan keterbelakangan, kejumudan di ruang kaum muslim. Kalau hal ini yang terjadi, maka pesantren hanya akan mencetak generasi “mandul” yang sulit menjawab tantangan perubahan zaman yang semain global.

Disinilah kemudian, pesantren masa depan diharapkan mampu melahirkan alumninya yang ideal dan meningkatnkan kualitas kehidpannya. Namun pesantren yang merupakan hasil dari sebuah kebudayaan yang dijadikan sebagai tameng pokok untuk menyeimbangi perputaran masa yang semakin lama semakin berkembang, sesuai dengan kebutuhan manusia yang bersifat duniawi tidaklah harus bersimpang siur terlalu jauh dari tradisi lamanya, yang dijadikan ideologi kepesantrenan, dan tidak terlalu terbelalak terhadap kebudayaan moderen, melainkan harus menyeimbangi, memilah dan memilih plus minus globalisasi, sebab diterima atau tidak kita harus ingat qa’idah usul fiqh yang senantiasa dijadikan paradigma atau jargon pesantren “Alpmuhafadzatu alaa al-qadimi al-shaleh wa al-akhdzu bil jahidi al-ashlah” (memelihara nilai-nilai yang lama yang baik, dan mengamnil nilai-nilai baru: moderen yang lebih baik), sehingga tidak menimbulkan kesan yang pada akhirnya mengalami kemunduran yang terlalu jauh dari kehidupan serba modern pada abad sekarang ini, yang pada titik klimaksnya mengakibatkan minimnya intlektual muslim yang lahir dari pondok pesantren, padahal kaum santri yang dilahirkan dari pesantren relatif banyak. Oleh karena itu, penting bagi pondok pesantren untuk secara kontinuitas bergerak dalam menguasai pergumulan masyarakat selaku representasi dan refleksi masyarakat madani yang bersikukuh dengan transformasi sosial yang berdasarkan legalitas islam daam menggagas perubahan produktif guna mengembangkan pada skala yang lebih unversal.

Dalam hal ini menjadi kewajiban tersendiri bagi pengelola pondok pesantren mengadopsi pola pendidikan yang progresif guna mengekspansi dan memperlebar peran pesantren sebagai wahana pendidikan acceplable dengan memunculkan kader intlektualnya. Kita harus sadar bahwa paradigma pendidikan yang selama ini diterapkan di pondok peantren, lebih-lebih pesantren salafiyah terlampau mengekang dan sangat tradisional. Jhon Dewey , salah seorang pakar pendidikan sekaligus ahli sosiologi pernah memaparkan secara seksama, bahwa pendidikan tradisional (pesantren: pen) terlalu terpisah dari dunia belajar sehari-hari. Seorang siswa diminta untuk mempelajari dan menghafal mengenai ide-ide, tanpa diajari agar mampu melihat realitas dan mampu memecahkan persoalannya sehari-hari. Oleh karena itu, pembenahan krikulum merupaka suatu jalan menuju tercapainya idealisme pendidikan pesantren yang bonafide, siap pakai, demi melanjutkan perjuangan agama islam ditengah maraknya arus globalisasi, transformasi dan modernisasi.

Dengan demikian dapat disandarkan rasionalisasi berfikir selaku media mobilisator utama dalam mencipta intlektual canggih yang menyatu dalam bendera keislaman sejati. Bila kita transformasikan atau diverganitas posisi pesantren selaku media multi fungsi maka yang perlu ditentukan adalah pendidikan bukan hanya “tilawatul ayat” dan “hafidzul kitab” tetapi yang lebih penting adalah “tazqiayatun nafsi”. Pendidikan pada dasrnya dipahami sebagai –meminjam istilah Paulu Freire-wahana membebaskan dan memerdekakan, bukan indoktrinasi dan pembelengguan, senagaimana diterapkan di pondok pesantren salafiyah. Dan pendidikan seharusnya bukan hanya mengarah pada “life skill” dan “labour skill” melainkan harus lebih memberikan prioritas pada “leadership skill”.

Dalam menelaah globalisasi sebagai problem pendidikan pesantren, setidaknya ada lima langkah yang harus kita tempuh. Pertama, pesantren senantiasa dituntut memiliki kemampuan untuk mengantisipasi perubahan dunia dalam era globalisasi, sehingga tidak tertuup kemungkinan bagi para santri untuk mengembangkan bakatnya dan mempelejari pelabagai disiplin ilmu, termasuk bidang sains dan tekhnologi tanpa menguarangi bobot santri dalam penguasaan itab-kitab kuning sebagai ciri khas santri. Kedua, Melakukan peubahan-perubahan pendidikan pesantren, mulai dari paradigma, visi-misi, sistem pengajaran dan metodologinya. Ketiga, memberikan pendidikan al akhlakul karimah (Moral) secara mendasar pada santri. Tentunya hal ini dimaksudkan untuk menfilter kehidupan santri dari kegoncangan dan dampak negatif globalisasi. Keempat, mempertahankan nilai-nilai (tradisi) pesantren, seperti kemandirian, keikhlasan, kesederhanaan dan keteladanan, serta tradisi belajar mengajar dan kehidupan santri sehari-hari yang tawadlu’ qanaah dan istiqamah yang merupakan aset moral untuk menghentikan penghancuran kemanusiaan (dehumanisasi). Kelima, pesantren juga perlu mengembangkan pendekatan teoritis dalam memenuhi kebutuhan masyarakat pesantren, lebih dari itu, pesantren senantiasa mengadakan training kepeminpinan demi mencetak santrinya yang siap terjun ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian progresivitas pendidikan pesantren akan menjadi kesejahteraan pesantren dan sekaligus responsif terhadap persoalan yang berkembang di masyarakat. Lebih-lebih soal globalisasi.

Sebelum tulisan in ditutup, penulis ingin menyampaikan satu hal, bahwa pendidikan dan masyarakat adalh dua variabel yang tak dapat dipisahkan. Masyarakat adalah realitas. Pada hakekatnya tidak ada realitas yang jumud karena rentang waktu akan selalu berputar. Peristiwa yang akan terjadi besok tidak akan sama dengan yang terjadi sebelumnya. Zaman akan senantiasa berkembang, globalisasi, tekhnologi tak bisa dielakkan kehadirannya. Kita boleh saja mempertahankan tradisi, tapi jangan sekali-kali menjadikan tradisi sebgai doktrin yang hanya membawa kita pada keterasingan. Musa Asy’ari pernah menulis sebagai berikut:

Pendidikan kita harus dubah menjadi realitas. Pendidikan harus menyerap realitas dan menjadi jawaban atas realitas. Karena itu, pendidikan adalah perubahan terus menerus, bukan hanya untuk menghafal teori-teori saja, tetapi untuk berteori sesuai perubahan realitas.

Sebagai proses perubahan, pendidikan pesantren harus membentuk konstruksi pemikiran anak didik yang dinamis, terbuka, dan progresif guna mengembangkan kemampuan kreatifitasnya menghadapi tantangan perubaan hidup.

Penutup
Ditengah perkembanga zaman yang semakin global pendidikan pesanten senantiasa dihadapkan pada persoalan-persoalan yang sangat rumit. Hal yang sangat menjadi tuntutan pengelola pendidkan pesantren adalah dalam menyesuaikan diri dengan perubahan lobal pula,dengan memahami, menguasai dan menfilter diri dari adanya globalisasi yang mulai merambah pada ranah kehidupan pesantren.

Membangun sebuah pendidikan pesantren yang benar-benar memiliki jangkauan jauh kedepan dan mampu melahirkan manusia kompetitif ditengah masyarakt global memang bukan hal yang sulit, namun bukan berarti mustahil, jika pesantren memilki kometmen dan keberanian untuk menransformasikan sistem klasikal pesantren kearah pendidikan progresif, barangkali pesantren akan semakin eksis dan benar-benar akan menjadi lembaga pendidikan alternatif bagi masyarakat.. Wallahu A’lam Bisshawab.


*Ahmad Wiyono adalah Alumni PP. Annuqayah Sumenep Madura,

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons