Kamis, 04 Februari 2016

Kidung Cinta dan Denyut Spritualisme Rumi

Judul : Ratapan Kerinduan Rumi
Penulis : Osman Nuri Topbas
Penerbit : Mizania
Cetakan : 1. 2015
Tebal : 224 Halaman
ISBN : 978-979-433-868-1
Peresensi : Ahmad wiyono

Cinta yang tunbuh dan dimiliki manusia terkadang mampu menjadikan manusia menjelma menjadi apa saja, bahkan di luar dugaan dan rasio manusia itu sendiri. Tak jarang seseorang yang sedang jatuh cinta tiba- tiba menjadi pujangga lantaran selalu mengungkapkan cintanya dengan bahasa puitis. 

Itu hanya gambaran cinta yang dimiliki manusia dengan seama manusia, kedahsyatannya sudah sangat luar biasa, bagaimana jika cinta seorang hamba kepada Tuhannya?, sangat dimungkinkan manusia yang telah mencapai maqom cinta kepada sang Rabb akan merasakan kekuatan cinta tersebut lebih dari sekedar cinta antar sesama. Dia akan menjelma menjadi manusia yang tak berdaya jika harus berjauhan dari “sentuhan kasihn-Nya”.

Dan seperti itulah gambaran spritualisme seorang Jalalluddin Rumi, maunisa yang dikenal sebagai tokoh sufi yang betul-betul mersakan cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Kecintaan itulah yang setiap saat selalu menjadikan desah rindu seorang maulana Rumi kepada Tuhan segenap alam yaitu Allah azza wajallah. Dalam buku ini diungkap bagaimana ratapan kerinduan Rumi kepada Tuhannya yang terus menggelora dari waktu ke waktu.

Sebagai buku kritik atas karya Jalaluddin Rumi yang berjudul Matsnawi, buku ini bertutur seputar kegelisahan Maulana Rumi dalam upaya menggapai cinta ilahi, Rumi adalah satu dari sekian banyak tokoh sufi yang sangat fasih melukiskan hakekat cinta seorang hamba kepada Tuhannya, dia selalu menggambarkan kecintaannya terhadap sang Kholik dengan nyanyian sufisme yang luar biasa.

Dalam pandangan Rumi, kedekatan hamba dengan sang Kholik bisa diraih apabila seorang hamba telah mneyadari akan esensi hidup dari manusia itu sendiri, sehingga secara sadar manusia tidak tertipu oleh gemerlapnya dunuiawi. Sementara kita tahu, tujuan hidup yang sebenarnya adalah menggapai kebahagiaan di alam baka. Itulah hakekat spiritualitas yang diajarkan Rumi dalam proses perjalananan sufistiknya selama hidup di dunia ini. Rumi  menegaskan agar setiap manusia tak tertipu dengan kecantikan di dalam cermin, karena kecantikan akan pudar seiring perjalanan waktu.

Orang tidak dapat melakukan perjalanan spiritual dari dunia bayangan menuju alam realitas abadi kecuali jika pikirannya, yang tertekan oleh misteri kelahiran dan kematian, dengan jelas menyadari secara spiritual tentang makna kehidupan ini dan seiring dengan kesadaran tersebut dia menjalani seluruh kehidupannya sesuai dengan aturan (Hal. 118).

Melukiskan cinta dan kerinduan seorang Hamba pada Tuhan memang membutuhkan bahasa yang tak biasa, maka bahasa Jiwa merupakan cara tepat untuk menggambarkan kecintaan serta kerinduan tersebut. Dan Rumi merupakan manusia yang selalu melukiskannya dari ruang ke ruang, dari waktu ke waktu. Energi sufisme yang terpancar dalam gerak spritituaiitas Rumi menjai kekuatan cinta kepada sang Maha Cinta.

Disaat manusia sudah bisa merasakan cinta atas maha Cinta tersebut, disaat itulah, manusia sudah menjadi manusia. Rumi mempertegas hal itu untuk menggambarkan tentang eksistensi manusia di hadapan Tuhan. Bagi Rumi, setiap manusia harus secara sadar mengetahui posisi dirinya, terutama ketika dia sebagai Abdullah di muka bumi ini. Sehingga Abdun tetaplah Abdun yang tak punya daya dan kuasa kecuali atas kemauan-Nya. Inilah kesederhanaan cinta yang dahsyat. Sekali lagi sederhana tapi Dahsyat.

Guru agung Rumi berkata: “pergilah ke area pemakaman. Duduk disana sejenak dalam keheningan. Dengarkan suara suara mereka yang terdiam”. (Hal. 157).

Jiwa jiwa mulia yang kaya akan warisan spiritual dibekali dengan kekayaan pengetahuan Ilahiah yang terpancar melalui nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, jiwa jiwa yang rendah dinodai dengan ketidakmurnian (Hal. 157).

Tak hanya menjadi inspirasi, buku ini ternyata juga hadir dalam rangka menyelami lauitan makna dan pengetahuan seputar sufisme, spirituaisme serta kidung cinta seorang maulan Rumi. Dengan buku ini, kita diajak untuk bisa mengeksplorasi dirakan i interpretasi cinta yang sesungguhnya, yaitu cinta akan Allah, Tuhan semesta alam. Dan Maulana Rumi menjadi tokoh penting yang selalu mengajarkan tentang kecintaan tersebut kepada umat manusia.

Substansi kehidupan di mata Maulana Rumi adalah proses pencarian bekal untuk kehidupan yang abadi, maka baginya, dunia hanya merupakan jembatan untuk meniti ke alam yang lebih nyata. Itulah sebabnya, cinta bagi Rumi adalah cinta kepada Tuhan, rindu bagi Rumi adalah rindu pada sang pencipta. Sebuah eksistensialisme sufistik yang terpancar dari seorang tokoh sufi asal timur tengah tersebut. Dan itulah hakekat cinta di atas cinta. 

“Aku berada di dalam penjara dunia ini karena ditugaskan menuntun iwa jiwa yang tersesat. Jika tidak, apa makna keberadaanku dan apa tujuan penahananku? Mengapa aku harus terpenjara? Aku tidak pernah mencuri milik orang” (Hal. 196).


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Sampit, 24 Januari 2016

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons