Minggu, 16 November 2014

Serangan Fajar

SERANGAN FAJAR, Istilah ini sebenarnya sudah biasa kita dengar, bahkan seakan sudah akrab di telinga kita. namun istilah tersebut seakan memiliki makna istimewa ketika terdengar pada momentum pemilihan. Seperti biasa menjelang masuknya momentum pemilihan  -dari tingkat Presiden hingga Kepala Desa- istilah serangan fajar menjadi topik hangat dalam beberapa perbincangan, setidaknya menjadi bahan bisik bisik.

Apa sebenarnya serangan fajar itu?, ditilik dari bahasanya istilah serangan fajar sebenarnya muncul pada peristiwa peperangan tempo dulu, aktifitas ini dilakukan sebagai strategi untuk membumi lantahkan pasukan musuh yang tengah lelap istirahat, pasukan pun berhasil menghancurkan pertahanan lawan tanpa ada perlawanan yang cukup berarti. Kegiatan seperti itu kerap dituding sebagai  model perlawanan yang tidak sehat, karena dalam peperangan ada rambu rambu yang tidak boleh dilangkahi, salah satunya adalah serangan fajar itu sendiri.

Namun demikian, tidak sedikit peperangan yang berujung pada tindakan menyerang sebelum waktu yang ditentukan, hal itu terjadi ketika salah satu pihak yang menyerang sudah berkesimpulan tidak mungkin mampu melawan pasukan dengan cara perang yang sesungguhnya. Maka serangan fajar pun akhirnya menjadi pilihan. Ini adalah kata lain dari tipu muslihat yang dilakukan dalam sebuah peperangan.

Dalam dunia kontemporer, perang memang sudah hampir tidak ada di dunia ini, terutama di indonesia, namun praktik serangan fajar bukan lantas lenyap dari kehidupan manusia masa kini, istilah tersebut kemudian diadobsi dan dipraktikkan dalam perhelatan perang politik nusantara,  yah inilah perang moderen dengan model senjata masa lalu yang dipertahankan.

Dalam kegiatan politk praktis, utamanya dalam suksesi calon atau kontestan, serangan fajar selalu muncul dalam kehidupan masyarakat, hal itu dilakukan oleh beberapa pihak –tanpa harus menyebut oknom- untuk meraup keuntungan suara, serangan fajar itu sendiri dilakukan dengan berbagai model, tapi yang pasti serangan fajar itu adalah pengerahan tim ke tengah tengah warga. Lengkap dengan persenjataan yang mereka bawa.

Memang sih, mereka tidak menyerang seperti halya serdadu dahulu, mereka tidak datang pada waktu warga nyenyak dalam selimut dan  mimpi mereka,  namun gaya datang mereka hampir tak jauh beda dengan serbuan prajurit ketika mengepung benteng musuh. Senjata yang  mereka bawa diluncurkan dengan cepat dan tepat. Sasaran pun tak berdaya, takluk dalam dekapan serangan serdadu kekinian itu. “Un syaiun”  dengan segala bentuknya yang dibawa serdadu serdadu itu tak mampu ditolak oleh warga yang posisinya jelas menjadi objek. 

Inilah yang menjadikan tatanan demokrasi kita porak poranda,  gerakan demokrasi yang digulirkan sejak berpuluh puluh tahun silam yang sedianya diharapkan menjadi jembatan pembelajaran dan aspirasi masyarakat akhirnya luluh lantah karena tindakan serdadu yang telah mengepung kebebasan demokrasi itu sendiri. Warga tak lagi menjadi subjek system gerakan demokrasi, namun justru sebaliknya, objektifaikasi merambah tak ubahnya virus kanker yang terus menggerogoti tubuh manusia.

Kita bisa membayangkan apa yang dilakukan serdadu serdadu tresbut, tak lain dan tak bukan adalah menghajar kebebasan warga dengan senjata “un syaiun” tadi. Konotasi sederhana yang diibaratkan dalam praktik itu adalah tindakan politik hitam  dengan mengandalkan kekuatan modal keuangan sebagai senjata ampuh untuk meraup kantong suara para kontestan yang dibawa para serdadu. Akhirnya tak bisa dipungkiri, sebelum perang usai, pemenangnya pun sudah bisa diraba, maka terjadilah perang sebelum jadual pertandingan dimulai.

Inilah Serangan fajar, warga yang notabeni adalah bagian dari bangsa yang mestinya terlindungi hak haknya dalam bersuara, namun  harus menjadi korban kebiadanam serangan fajar, nurani tak lagi berkuasa, karena sepenuhnya telah diperkosa oleh senjata  serdadu yang begitu ampuh. Rumus kemenangan lahir sebelum matahari terbit di ufuk timur. Karena serdadu telah mengintai mangsanya dari segala penjuru.

Entah siapa yang mengawali, sehingga istilah Serangan fajar pada akhirnya lekat dengan tindakan pratik poltik hitam yang dilakukan oleh para kontestan melalui serdadunya, tapi yang jelas hari ini praktik itu sudah benar benar lekat  dalam kegaitan pesta demokrasi kita. warga pun hanya bisa mengangguk meski pada akhirnya dia harus mneyesal selama 5 tahun gara gara  kesalahan 5 menit yang dia lakukan di tempat pemumungutan suara (TPS).

Setiap kontestan jelas memiliki alasan tersendiri mengapa mereka harus menggunakan senjata Serangan fajar itu, bahkan sebagian diantara mereka beranggapan bahwa itu adalah senjata pamungkas yang “Fardu ain” untuk dilakukan.  Namun demikian, pada akhirnya kita akan beehipotesa tentang seperti apa mutu dan kualiatas kontestan yang ternyata hanya mampu mengandalkan serangan fajar itu tadi.  Harus kita sepakati bahwa mereka yang menjadikan serangan fajar sbagai modal uatama dalam sukesei adalah bagian dari calon pemimpin bangsa yang telah merusak  citera dan moral demokrasi jauh sebelum mereka lahir menjadi pemimpin.  Meminjam perkataan Max Weber,  mereka lahir dan tumbuh sebagai seorang  intelektual tradisonal  yang targetnya hanya kepentingan sesaat. Atau dalam istilahnya almarhum Gus Dur, mereka adalah Intelektual tukang. Oh Serangan Fajar.

Tulisan ini dimuat di Majalah Fokus pada Rubrik Tulisan Pinggir Edisi Maret 2014


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons