Minggu, 16 November 2014

NU dan Gerakan Politik Nasional

(Meretas Peran Strategis NU dalam Mengawal Kemajuan Bangsa)
Oleh: Ahmad Wiyono

Nahdlatul Ulama (NU) diketahui merupakan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dengan jumlah anggota terbesar di Indonesia, sejak kelahirannya NU terus mendapat posisi di tengah masyarakat sehingga dari tahun ke tahun jumlah anggota NU terus
bertambah. Ini membuktikan bahwa posisi NU sudah menjadi rujukan sikap jam’iyah dari sabang hingga merauke.

Rujukan jam’iyah tersebut terjadi tidak hanya pada aspek kegiatan ritual keagamaan yang berlangsung secara dinamis di tengah tengah NU, namun juga pada beberapa aspek sosial lainnya termasuk pada sikap Politik yang terus mengalami dinamika di tubuh NU itu sendiri. 

Dalam konteks politik inilah, NU terus menjadi pusat perhatian bangsa –tidak hanya dari kaum NU-, setiap sikap politik yang dilahirkan oleh NU nyaris menjadi kiblat politik di saantero nusantara. Secara historis kita memang harus mengakui bagaimana sepak terjang NU dalam kiprah politik Nasional, karena sejak lahirnya NU pada tahun 1930 silam NU sudah menyatakan sikap sebagai ormas yang praktis menjadi organisasi politik,  kendati pada akhirnya NU harus menyatakan sikap sebagai Ormas yang netral dari politik Praktis, hal itu terjadi tepatnya pada Muktamar NU ke 27 tahun 1984. Sejak saat itulah NU dinyatakan kembali ke Khittah.

Namun demikian, kembalinya NU pada jalur Khittah tadi, bukan lantas NU kemudian menutup mata dengan percaturan politik nasional, bangsa Indonesia nampaknya tetap haus dan sangat membutuhkan kiprah kaum Nahdliyin dalam pergolakan politik Nusantara, kebutuhan kebutuhan itu dibuktikan dengan banyaknya masukan agar orang NU bisa terlibat secara kultural terhadap pelbagai kegiatan politik demi terciptanya satu iklim perpolitikan yang lebih baik.

Awalnya banyak kader NU yang menginginkan agar NU menjadi organisasi Politik, itu terjadi bersamaan dengan lengsernya rezim orde baru pada tahun 1998, namun demikian, Aspirasi jamiyah yang kian menbahana waktu itu direspon baik oleh beberapa petinggi NU dengan mebentuk wadah aspirasi pembentukan organisasi politik di luar struktur NU, tak ayal dalam waktu yang sangat singkat sedikitnya ada 30 usulan nama Parpol  yang diharapkan sebagai wadah aspirasi politik NU, kendati pada akhirnya mengkerucut pada munculnya satu nama Parpol yaitu Partai kebangkitan bangsa yang kemudian diketuai oleh Mathori Abdul Jalil berdasarkan petunjuk dari KH. Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum PBNU waktu itu. 

Alasan paling mendasar terbentuknya organisaisPolitik atau Parpol yang notabeni dihuni oleh petinggi dan kader NU itu, Menurut Muhaimin Iskandar adalah antusisme luar biasa dari warga jam’iyah NU sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang tak mau ketinggalan arus perubahan di atas untuk memiliki wadah perjuangan politik tersendiri, apalagi jauh hari sebelum semua pihak dan kalangan lain meneriakkan perlunya perubahan disemua aspek kehidupan, NU sebagai jamaah dan Jam’iyah telah dengan gigih memperjuangkannya (Muhaimin Iskandar:  Gusdur yang Saya kenal: 168) 

Dengan demikian, munculnya Parpol baru dikalangan nahdliyin –yang diikuti dengan menjamurnya partai partai lain yang tumbuh dari kalangan NU- waktu itu menjadi fajar baru terhadap sisi perjuangan kaum nahdliyin, mereka seakan mendapat angin segar untuk bersama sama mengawal masa depan bangsa melalui wadah politik yang mereka punya saat itu. Sehingga warga NU semakin leluasa menentukan sikap politik kebangsaannya di bawah bendera Parpol yang lahir berdasarkan ideology mereka.

Kebangkitan Nahdliyin
Ajang Pemilihan umum di Indonesia –dari pusat hingga daerah- selalu tidak lepas dari peran serta beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) islam yang kerap menjadi motor penggerak perjalanan pemilu tersebut, salah satunya adalah Nahdlatul Ulama (NU), ormas terbesar di Indonesia ini sudah sangat sering dijadikan sarana siyasah dalam setiap pelaksanaan Pemilu termasuk pemilukada yang digelar disejumlah daerah.

Bahkan yang paling sering kita temui adalah keberanian para kandidat untuk "menyulap" dirinya didepan public menjadi bagian dari ormas itu sendiri, meski tak jarang pula harus mengaku pernah menjadi pengurus atau keluarga besar dari ormas itu sendiri. Hal itu dilakukan untuk peningkatan pristise dan popularitas para kandidat yang meyakini lebih ampuh ketika melekatkan label ke-ormasan-nya dalam setiap langkah gerakan suksesinya.

Idealnya sudah bukan waktunya lagi membincang kebangkitan warga Nahdlatul Ulama (NU) dalam konteks hari ini, namun demikian hal ini bukan berarti akan membawa kita pada sebuah pemahaman dekonstruktifikasi warga NU ketika hari ini kembali kita buka cakrawala berfikir untuk mengetahui bagaimana eksistensi NU (terutama NU Lokal) ketika memasuki masa pemilu lebih lebih Pemilukada.

Situasi dan kondisi perpolitikan di beberapa daerah menjelang dan saat Pemilukada inilah yang menjadi acuan asumsi kebangkitan warga NU dalam tulisan ini. Kenapa demikian, karena dengan sangat jelas bahwa betapa kehadiran beberapa kader NU telah menjadi bagian penting hangatnya suhu politik dalam bursa pemilukada tersebut, yang kemudian ini akan menjadi gambaran riel bagi kader NU di Indonesia bahwa kader NU telah mampu menjadi warna dalam percaturan politik di Indonesia.

Munculnya beberapa kader NU dalam bursa pemilukada (Pemilihan Bupati dan Wakil/ wali kota/ bahkan Gubernur dan Wakil Gubernur) beberapa waktu terakhir ini –utamanya di Jatim- menjadi indikator kuat bahwa posisi dan peran kaum NU tetap tidak bisa diremehkan, bahkan para kader NU yang muncul dalam pencalonan tersebut telah diakui sebagai kontestasi yang paling menonjol. Setidaknya hampir dari semua pasangan calon yang memang merupakan kader NU selalu tidak melepaskan identitas ke-NU-annya dalam segala program dan siyasah gerakannya.

Fenomina ini tentu akan menjadi pertanyaan besar bagi kita, apakah kondisi ini akan memberikan kontribusi besar kepada para kader NU, atau jangan-jangan hal ini hanya akan berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap NU itu sendiri yang diawali dari rasa dilematisasi ketika harus menentukan pilihan terhadap calon dari kalangan NU. Jelas dua hal ini akan dialami oleh semua masyarakat NU di semua daerah, setidaknya mereka akan berfikir bahwa persaingan elit NU dalam bursa pemilukada akan berakibat pada variatifnya pemahaman sekalius munculnya kelompok-kelompok yang menjadi lambang perbedaan di tubuh masyarakat NU sendiri. 

Dalam konteks inilah perlu adanya pemahaman yang positif dari masyarakat NU untuk lebih bisa memahami perbedaan dalam berpolitik, sehingga munculnya perbedaan dalam pendistribusian suara dari warga NU terhadap calon yang dari kalangan NU tidak akan berpotensi konflik, justru bernuansa kompetitif demokratis. Karena harus diakui munculnya kader NU (yang notabeni dari kaum Kiyai) dalam kontestasi politik akan melahirkan resiko poltik, meminjam bahasanya M. Masoed Adnan ada Tiga Resiko dari tiga pilihan ketika Kiya (NU) sudah muncul dalam pentas politik baik pilihan menjadi Politisi, menjadi kiyai ansih atau memilih kedua duanya. Sama sama akan melahirkan resiko. (M. Masoed Adnan. Sunan Gus Dur Akrobat Politik ala nabi Khidir: 98) 

Setidaknya ada dua hal –seperti yang ditulis oleh Listiyono Santoso- yang harus dilakukan oleh warga NU terutama elit NU menghadapi  perhelatan Pemilukada tersebut, yang hal ini berorientasi pada upaya pemahaman politik masyarakat NU yang positif, Pertama: Kedewasaan Berpolitik, secara prinsip kedewasaan berpolitik sudah seharusnya ditunjukkan oleh elit NU yang berada dalam rivalitas politik. Kedua: Pendidikan Politik, warga NU dapat menggunakan panggung Pemilukada ini sebagai sarana pendewasaan diri dalam berpolitik, selain itu warga NU bisa memposisikan diri sebagai subjek politik bukan lagi objek politik (Duta Masyarakat: 16 Juni 2008).

Kedua hal tersebut menjadi ujung tombak sekaligus penentu masa depan warga NU dalam proses pembentukan paradigma berfikir sekaligus kesadaran dalam berpolitik, diakui atau tidak jika kader NU sudah mampu melakukan dan menjadikan Pemilukada sebagai sarana pendidikan politik sekaligus menuju kedewasaan dalam berpolitik ditengah bermunculannya kader NU yang menjadi kontestan, maka secara otomatis akan lahir pula pemahaman untuk selalu mengharai perbedaan dan tetap dalam nuansa demokratisasi. Itu sebenarnya yang penulis maksudkan sebagai kebangkitan kaum Nahdliyin, karena jika selama ini kaum NU selalu berkutat pada gerakan kultural dan disibukkan dengan persoalan-persoalan fundamentalisme dalam islam yang kemudian kalau ditarik pada persoalan sosial apalagi politik akan terkesan kaku dan cendrung terjadi kesalah pahaman yang berimplikasi pada wilayah konfliktual, akan tetapi kali ini warga NU sudah mengalami kebangkitan dalam cara berfikir termasuk dalam berpolitik praktis. Sehingga dengan sangat sadar para warga NU akan memaknai bahwa politik bukanlah hal yang harus memecahkan ukhuwah dalam warga NU, namun sebaliknya panggung politik akan dimaknai sebagai sarana untuk sama-sama mengevaluasi diri antar kader NU.

NU dan Kemajemukan Peran
Pada dasarnya Nahdlatul Ulama (NU) diproyeksikan sebagai media representative untuk menampung dan menjadi muara para ulama di Indonesia, yang hal ini berimplikasi pada terciptanya sebuah kometmen keislaman yang didasari pada nilai-nilai Rahmatan Lil Alamin, yang endingnya diharapkan akan mampu menjadi lumbung aspirasi masyarakat islam terutama kaum Nahdliyin, sehingga semua permasalahan yang muncul dan berkembang dikalangan masyarakat islam akan ditemui jalan keluarnya melalui terobosan NU dengan segala program dan metodologinya. Hal ini yang sebenarnya menjadi target dari didirikannya NU pada tahun 1930, setidaknya ada empat point yang menjadi cita-cita luhur didirikannya NU tersebut, diantaranya: untuk menghimpun ulama (Kebangkitan intelektual islam), memposisikan islam, memperbanyak madrasah-madrasah islam, dan memperbanyak hal-hal yang berkaitan denan masjid, koperasi islam dan sebagainya. Semua point diatas merupakan garapan prioritas dari awal didirikannya NU di Indonesia, dan hingga hari ini idealitas tersebut tetap menjadi roh dari gerakan NU itu sendiri.

Sepintas kita akan menemukan sebuah pandangan bahwa ternyata garapan NU hanya focus pada gerakan cultural-klasik yang seakan-akan mengedepankan kepentingan golongan. Asumsi seperti itu wajar-wajar saja disampaikan uleh semua orang jika mereka berkaca pada empat point cita-cita utama didirikannya NU tadi, tapi yang jelas pemaknaan kontekstual gerakan NU mencoba mensinergikan bahkan mengeneralisir kepentingan semua golongan tanpa ada sebuah nilai diskriminasi. Selain itu gerakan kesalehan social yang menjadi konsep utama islam sebagai Rahmatan lil alamin tetap menjadi acuan uatama dalam perjalanan NU sepanjang sejarahnya. Artinya kulturalisasi gerakan dalam tubuh NU merupakan konsep lama yang hari ini akan dimansuh oleh gerakan baru beruapa kontekstualisasi NU yang dalam bahasa kasarnya NU tidak hanya bergelut dalam masalah ritual keagamaan semata, akan tetapi jauh dari itu segala permasalahan yang menjadi kepentingan masyarakat demi kemaslahatan umat manusia juga menjadi target gerakan NU.

Dari sini kita akan berfikir bahwa betapa peran NU akan menjadi komplek ketika kita tarik beberapa poin tersebut secara kontekstual, sehingga semua point yang sepertinya sangat sederhana tersebut pada esensinya merupakan intisari atau representasi dari beberapa kebutuhan umat manusia secara umum. Betapa tidak, kita lihat saja betapa pendidikan dan ekonomi telah menjadi substansi dari cita-cita didirikannya NU tempo dulu, pendirian Madrasah (Pendidikan), koperasi (ekonomi) dan masjid yang menjadi point penting berdirinya NU secara substansial ternyata memang merupakan kebutuhan vital masyarakat islam hari ini.

Tidak hanya itu, upaya untuk terus melakukan kemaslahatan terhadap masyarakat umum tetap digalakkan NU dengan beberapa terobosan, salah satunya yang kita bincang hari ini adalah keikutsertaan kaum NU dalam percaturan politik Indonesia, secara prinsip keikutsertaan kaum NU dalam panggung politik bukan semata-mata dalam rangka menunjukkan kepentingan atau kelompok tertentu dalam NU, akan tetapi jauh dari hal itu lebih didasari pada kometmen bahwa masyarakat hari ini harus betul-betul dikawal dan kaum NU harus siap menjadi pengawal sebagai langkah nyata dalam menerjemahkan konsep kemaslahatan dalam NU.

Maka atas dasar itu kemudian sangatlah tidak mungkin proses pengawalan akan berjalan optimal jika system pengawalan tidak dikuasai, sehingga langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan mencoba melibatkan diri dalam proses penciptaan sampai pada implementasi system itu sendiri. Oleh karena itu, turunnya beberapa kader NU ke panggung politik pada esensinya sebenarnya adalah untuk mewujudkan mimpi ideal NU sebagai muara penyelesaian berbagai permasalahan masyarakat secara luas.

Dalam konteks ini, munculnya beberapa kader NU dalam bursa pencalonan Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota hingga Gubernur –merupakan bukti kongkrit betapa NU hari ini betul-betul berkometmen untuk menjadi benteng sekaligus muara dari kebutuhan umat manusia, sehingga hari ini perlu secara tegas kita maknai bahwa kehadiran kader-kader NU tersebut bukan dalam rangka melahirkan kemelut dikalanan bawah, akan tetapi sebaliknya sebagai langkah strategis untuk menjadikan NU sebagai muara umat.

Bahkan yang yamg tak kalah urgennya juga adalah sikap dan pernyataan NU sebagai bagian tak terpisahkan dari Bangsa dan terbentuknya NKRI yang hal itu terus dikawal hingga hari ini. Sehingga NU  jelas sangat bertanggung jawab terhadap arah dan masa depan bangsa ke depan. Dalam Buku Gus Dur dan Negara Pancasila yang ditulis oleh Nur Khalik Ridwan terungkap dengan jelas bahwa NU sebagai Organisasi keagamaan merupakan bagian tidak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan, toleransi, kebersamaan dan hidup berdampingan untuk bersama sama mewujudkan cita cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.

Dari uraian diatas setidaknya ada dua hal yang menjadi esensi dari tulisan ini, yang kemudian patut kita reaktualisasikan dalam konteks gerakan NU hari ini. Pertama, sejak berdirinya, NU merupakan sebuah organisasi yang bercita-cita untuk menjadi pusat aspirasi yang mampu memberikan kemaslahatan secara riel kepada masyarakat islam secara luas, yang pada akhirnya akan tercipta sebuah iklim keislaman yang berdasar pada nilai rahmatan lil alamin.

Kedua: NU lahir dan berkembang menjadi organisasi yang multi peran, yang tidak hanya mengedepankan kepentingan golongan apalagi perorangan, justru kepentingan umat yang dengan segala model kebutuhannya menjadi garapan utama dalam tubuh NU, salah satunya adalah dengan menjadikan kader NU sebagai bagian kontestan pada pelaksanaan pesta demokrasi. Artinya keikutsertaan kader NU dalam pelaksanaan Pemilukada merupakan manifistasi logis dari proses implementasi amanah yang diembankan NU kepada kader-kadernya. Karena yang jelas NU memang diproyeksikan untuk melahirkan kader yang tidak hanya paham dan intens dalam hal ritual keagamaan, akan tetapi berbagai hal juga harus dikuasai oleh kader NU termasuk salah satunya adalah kegiatan politik praktis.

Kesadaran dan kometmen untuk menjalankan amanah ke-NU-an dalam konteks politik praktis inilah yang hari ini kita sebut sebagai awal kebangkitan kaum nahdliyin, sehingga warga NU tidak lagi terjebak hanya pada wilayah cultural, akan tetapi wilayah yang lain juga mampu digarap sesuai dengan kebutuhan zaman. Hari ini patut kita semua berdoa semoga pada akhirnya kader-kader NU yang hari ini terjun dalam bursa pencalonan Bupati, Wali Kota, Gubernur –bahkan capres atau cawapres nantinya- akan mampu menerjemahkan mimpi ideal NU sekaligus menjalankan amanah sesuai dengan cita-cita didirikannya Nahlatul Ulama di Indonesia. 


Tulisan ini dikembangkan dari tulisan awal yang berjudul "Menuju Kebangkitan Nahdliyin". 


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons