Rabu, 18 Februari 2015

Optimis Yes, Pesimis No

Judul Buku : Habis Galau Terbitlah Move On
Penulis : J. Suhardianto
Penerbit    : Penerbit Bentang
Cetakan    : November 2014
Tebat : 326 Halaman
ISBN : 978-602-291-067-1

Peresensi        : Ahmad Wiyono*

Perjalanan hidup manusia selalu dihadapkan pada dua pilihan dan hasil yang nyaris tidak sama, gagal atau berhasil, maju atau mundur, bahkan hidup atau mati. Dua kutub ini akan menjadi pilihan hidup setiap manusia dalam menjalani roda kehidupan.

Dalam perjalanannya, manusia jelas selalu menginginkan hasil yang baik yang sesuai dengan cita-cita hidupnya, yaitu ingin berhasil dan tak mau gagal, ingin maju dan enggan mundur, bahkan ingin terus hidup seakan tak sudi untuk mati. Harapan ini hampir pasti menjadi “angan” setiap manusia yang ada di muka bumi ini. 

Namun demikian, tak selamanya perjalan manusia selalu mulus bertabur bunga, ada kalanya dia harus melewati jalanan terjal dan berliku bahkan berbatu. Gagal harus dirasakan, mundur pun tak bisa dilewatkan, dan akhirnya mengakhiri kehidupan. Inilah hukum alam yang seakan “menjadi nasib” setiap manusia yang bernyawa. Harus merasakan manis dan pahitnya kehidupan.

Dalam kondisi ini yang diperlukan manusia adalah semangat untuk bangkit, sebesar apa pun keterpurukan dan kegagalan yang dialami, jika dibarengi dengan kesadaran untuk merubah diri, maka sangat mungkin perubahan besar akan dialami oleh manusia itu sendiri, inilah kata lain dari pentingnya optimisme dalam menata hidup.

Buku Habis Galau Terbitlah Move On (HGTMO) ini memiliki misi besar untuk mendongkrak semangat dan optimisme manusia dalam menjalani kehidupan. Sepahit apa pun hidup yang telah di alami, masih ada jalan untuk memperbaiki kehidupan itu sendiri, habis gelap terbitlah terang, setidaknya itu yang diinginkan dalam buku ini.

J. Sumardianta yang disebut pak Guru oleh Hernowo (pengantar buku ini) menyemai isi buku ini dengan sangat indah, seakan tak ada ruang sedikitpun yang terlewati dari segala sisi kehidupan manusia, terutama dalam menrevitaslisasi spirit hidup dan menjalani kehidupan. Soal kontradiksi dan paradoksnya kehidupan mislanya, penulis dengan lihai menggambarkan bahwa hidup ini memang sudah masuk pada era itu, namun sangat mungkin utnuk dijalani dengan baik.

Kita hidup pada suatu era yang kontradiktif dan paradoksal, keyakinan tinggal pemikiran tanpa berbekas pada perbuatan. Banyak orang baik, tetapi tidak berakal. Banyak orang berakal, tetapi tidak beriman. Berlidah fasih, tetapi lalai. Khusyuk tetapi sibuk dalam kesendirian. Ahli ibadah, tetapi kerasukan arogansi iblis. Ahli maksiat, tetapi rendah hati bagai sufi. Banyak tertawa, tetapi hati berkarat. Banyak menangis karena kufur nikmat. (Hlm. 32).

Potret kehidupan paradoksal inilah yang digambarkan oleh penulis Buku sebagai “ancaman” terbesar terhadap tatanan kehidupan manusia dalam menjangkau masa depannya. Kendati itu diakui sebagai dampak dari pergulatan zaman yang kian maju. Namun sekali lagi, itu akan menjadi pilihan terhadap para manusia itu sendiri.

Garis hidup memang terkesan tragis, manusia seolah tidak kuasa menolak dan menghindari garis hidup. Manusia hanya bisa menerima; adil atau tidak. Pengalaman Basyrah member hikmah bahwa tidak ada istilah kejamnya dunia bila manusia ikhlas menerima garis hidup. (Hlm. 61).

Ikhlas menerima garis hidup; sebuah kata kunci yang disampaikan penulis buku ini dalam mengarungi bahtera kehidupan, sehingga jika itu bisa diterapkan, maka perjalanan hidup manusia pasti akan menemukan sisi terang. Namun demikian, sekali lagi, ikhlas bukan berarti tanpa ikhtiyar atau usaha. Semuanya akan kembali pada seberapa jauh manusia menatap masa depan kehidupannya melalui jalur ikhtiyar.

Sementara itu, Dibutuhkan sikap dan sifat sosial yang tinggi agar manusia bisa menjalani kehidupannya di terngah-tengah masyarakat secara baik, sikap dan sifat itulah yang kemudian bisa mengangkat kualitas hidup manusia itu sendiri. Dalam bahasa buku ini disebut bermental sinergis.

Manusia bermental sinergis mendahulukan Kita ketimbang aku, Manusia sinergis, mengingat populasinya amat sedikit. Dalam bahsa statistik disebut pencilan. (Hlm.  54). Inilah mental sosial yang nantinya akan berpengaruh terhadap gaya hidupnya di tengah masyarakat. Maka hidup dengan mental tersebut akan berimplikasi terhadap meningkatnya nilai optimisme seseorang dalam mengarungi hidup, karena baginya hidup nyaman dengan masyarakat berarti dia telah meneukan makna hidup yang sesungguhnya.

Optimisme memberikan perlindungan, peisimisme membuat orang makin melemah. Optimisme itu abadi. Pessimisme itu sementara dan bersifat temporal. Itulah rumus kebahagiaan terpenting yang sadar atau tidak dipraktikkan di temat saya bekerja. (Hlm. 71).

Buku ini betul-betul mengajak kita semua untuk selalu hidup optimis, percaya diri menatap masa depan. Dengan gaya bahasa yang sangat mudah dicerna, buku ini sangat layak untuk dibaca oleh seluruh manusia yang menginginkan masa depannya lebih baik dan sesuai dengan cita-citanya. Maka habis Galau terbitlah Move On. 

Ahmad Wiyono; Jurnalis dan Pengajar. Tinggal di Pamekasan Madura Jatim


Tulisan ini dimuat di Harian Suara Madura

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons