Rabu, 03 Oktober 2012

Kongres Kebudayaan Madura, Untuk (Si)apa?


Kongres Kebudayaan Madura, Untuk (Si)apa?
Oleh: Ahmad Wiyono

Gagasan untuk melestarikan kebudayaan local Madura nampaknya betul-betul mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, utamanya kalangan budayawan Madura –baik yang menetap di Madura maupun yang ada di rantau-, hal itu menjadi manifistasi logis bahwa tidak ada yang bisa dan pantas untuk memperhatikan eksistensi kebudayaan Madura kecuali orang Madura sendiri, paling tidak rasa simpati yang harus terus dilahirkan ketika menyaksikan autentisitas kebudayaan local yang sudah mulai kusut. Terlepas dari apa penyebab terjadinya hal tersebut, tapi yang jelas sebagai orang yang tumbuh dan dibesarkan dari nilai-nilai kebudayaan Madura, maka menjadi fardu ain hukumnya untuk turut serta melakukan pengawasan, bahkan revitalisasi terhadap kebudayaan itu sendiri, apalagi jika telah terjadi dekradasi budaya seperti saat sekarang ini.

Kongres Kebudayaan Madura (KKM), yang digagas oleh beberapa tokoh Madura yang masih meiliki kepedulian kuat terhadap nilai-nilai kebudayaan beberapa waktu yang lalu merupakan medium representative dalam upaya melestarikan nilai-nilai kebudayaan, dalam konteks inilah kita perlu berfikir sejenak betapa pada akhirnya nanti akan lahir kembali kebudayaan Madura yang betul-betul autentik tanpa adanya distorsi nilai. Spekulatifkah?, pertanyaan seperti itu tetap akan lahir seiring dengan optimisme yang terus lahir untuk membangun kebudayaan Madura yang madani, sebab disadari atau tidak apa yang telah digelar dalam KKM (termasuk yang akan digelar pada KKM berikutnya) tersebut tetap hanyalah sebatas usaha, persoalan nantinya apa yang akan dihasilkan, itu masih menjadi PR besar bagi kita semua.

Prinsipnya, orientasi dari pelaksanaan KKM tersebut tetap megarah kepada upaya perbaikan nilai-nilai kebudayaan. fenomina krisis kebudayaan local Madura akan menjadi target prioritas dalam pembahasan tersebut, serap aspirasi konsep teoritis dari berbagai tokoh serta budayawan Madura juga akan menjadi pembahasan alot dalam setiap gelaran KKM, tentu semua itu dalam rangka mencari benang merah yang akan menambal sulam persoalan kebudayaan kita. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana kesanggupan KKM dalam menjawab segala problematika kebudayaan yang saat sekarang ini sudah memasuki fase kritis dan memperihatinkan?.

Kompleksitas persoalan yang melanda kebudayaan local Madura pada esensinya tidak lepas dari dinamika kehidupan manusia Madura itu sendiri, mengapa demikian?, karena sekali lagi yang berhak bahkan bertanggung jawab terhadap keberadaan kebudayaan Madura tentu manusia Madura sendiri, akan tetapi realitas kongkriet di lapangan hamper sebagian besar manusia Madura telah melupakan warna kebudayaannya sendiri, mereka telah lebih bangga memakai baju kebudayaan yang diadopsi dari luar, bahkan kadang dengan sangat lantangnya mereka banyak yang mengklaim bahwa budaya local sudah sangat klasik dan tidak relevan dengan perkembangan zaman, sehingga banyak diantara kita yang sangat gugup bahkan sangat ketakutan untuk menampakkan nilai kemaduraan di bumi Madura sendiri, apalagi ketika mereka sedang berada di luar Madura. Dari persoalan ini saja sangat jelas bahwa betapa nasionalisme kemaduraan kita masih relative rendah.

Dalam bahasa yang lain masalah di atas merupakan bagian dari pembunuhan karakter budaya Madura,  seorang Ibnu Hajar pernah memberikan gambaran tentang terjadnya kemerosotan budaya di Madura yang diakibatkan oleh pembunuhan karakter, menurutnya, telah terjadi pembunuhan karakter budaya di Madura, yang memperihatinkan hal tersebut malah dilakukan oleh orang-orang Madura sendiri, kita sendiri sadar sejak dahulu kepada orang tua kita biasa memanggil “Eppak, Embuk, Kaeh, Jujuk dan sejenisnya”, tapi sekarang banyak orang yang alergi dengan panggilan tersebut sehingga dirubah menjadi “Papa, Mama, dan sejenisnya”, inilah potert manusia Madura yang sudah mulai alergi dengan produk kebudayaannya sendiri.

Lantas apa saja peran KKM dalam melakukan pembenahan-pembenahan revitalisasi kebudayaan Madura disegala lini?, seperti yang kita ketahui, ada banyak agenda yang telah dan akan digelar dalam kegiatan KKM, mulai dari pembahasan manusia Madura sampai pada pemberdayaan potensi budaya Madura –yang konon katanya kaya dengan aneka kebudayaan-, baiklah mari kita coba menganalisis secara sederhana berbagai agenda yang dibahas dalam KKM tersebut.

Pertama, Pembahasan mengenai Gambaran Manusia Madura. sepintas barangkali kita akan mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara manusia Madura dengan manusia luar Madura, namun secara substansial ada perbedaan yang begitu mencolok yang hal ini terjadi akibat adanya stigma bahwa orang-orang Madura adalah orang keras, kejam dan sejenisnya. Persepsi stigmatif ini kemudian menjadi hokum public bagi manusia luar Madura sehingga orang-orang Madura diklaim sebagai sumber kekerasan.

Barangkali kita memang agak kesulitan untuk menghindar dari klaim semacam itu, karena kita sendiri sadar ada banyak kejadian yang dilakukan oleh orang-orang Madura yang mengarah pada perbuatan anarkhisme, kita contohkan saja Carok, di mana-mana ketika terjadi pertikaian atau perkelahian  yang berujung pada pembunuhan  dengan menggunakan senjata Celurit, maka hampir pasti pelakuknya adalah orang Madura, tak ayal klaim tersebut dituduhkan kepada semua manusia Madura, maka lahirlah gambaran sepihak bahwa manusia Madura adalah actor dari beberapa kekerasan yang sering terjadi.

Fakta ini menjadi gambaran awal tentang sosok manusia Madura yang katanya sumber kekerasan, Benarkah yang Demikian itu?. Disatu sisi mungkin harus mengakui ketika orang Madura selalu dituding semacam itu, karena hal itu diakibatkan oleh kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang Madura yaitu Carok, Dr. A. Latief Wiyata dalam buku Caroknya mengatakan bahwa meskipun carok merupakan tindakan kriminalitas yang secara hukum formal dan ajaran agama dilarang, tapi carok justru memperoleh justifikasi dan legitimasi secara social budaya, dengan kata lain bahwa carok tidak mempunyai relasi yang signifikan dengan fungsi dan peran hukum formal serta otoritas keagamaan (Carok: P. 227).

Akan tetapi disisi yang lain kita tetap harus menentang terhadap tudingan kerasnya orang Madura, karena hampir semua orang menyadari bahwa pada hakekatnya tidak semua orang Madura melakukan carok, anggaplah pelaku carok hanya segelintir manusia Madura yang menjadi oknom orang Madura tersebut, apalagi kalau kita bahas  sosok manusia Madura secara universal, justru kenyataannya Madura adalah asetnya manusia religius (baca: Kiyai dan Ulama), sehingga sangat tidak etis dan tidak rasional kalau madusia Madura harus dituding sebagai sumber utama terjadinya kekerasan. Bahkan selain itu, terdapat banyak karakteristik positif yang dimiliki oleh orang-orang Madura, kalau kita kilas historis sejak belanda berkuasa orang Madura telah menyandang beberapa karakter positif antara lain petualang, loyal, rajin, hemat, menyenangkan, antusias, dan harmonis (Muthmainnah: Jembatan Suramadu. 29). Nah, persoalannya adalah mengapa karakter dan pola positif yang dimiliki oleh manusia Madura di atas selalu kalah dibalik stereotype negative tersebut.

Bermula dari kenyataan inilah yang pada akhirnya berimplikasi pada menurunnya kredibilitas budaya Madura, artinya hanya karena ada carok sehingga Madura secara keseluruhan menjadi objek tudingan sebagai sumber kekerasan yang telah terjadi dibeberapa daerah di Indonesia. Itulah generalisasi yang kita yakini masih jauh dari unsur objektifikasi.

Kedua: Pembahasan mengenai Potensi Budaya, Bahasa dan Seni Madura. Pada realitasnya kita akui bahwa Madura sangat kaya dengan berbagai potensi budaya dan seni, begitu juga dengan dealek bahasanya yang sebenarnya sangat halus. Hal ini diakui oleh banyak kalangan termasuk beberapa pengamat dari luar Madura yang mengakui terhadap kekayaan kebudayaan di Madura, lantas mengapa KKM harus mengagendakan hal tersebut?, yah bukanlah sesuatu yang berlebihan jika potensi budaya, bahasa bahkan seni Madura harus dikongreskan pada saat sekarang ini, alasannya cukup singkat dan sederhana, yaitu karena semua kekayaan yang telah dimiliki Madura sudah mulai terkikis, bahkan terancam punah.

Coba kita perhatikan, mengapa banyak diantara kita yang melakukan urbanisasi dan imigrasi, ternyata selain factor ekonomi, banyak yang beralasan bahwa Madura kurang produktif dalam banyak hal, sehingga potensi Madura yang seharusnya dilestarikan malah ditinggalakan begitu saja, padahal kalau saja kita mau berapa banyak potensi budaya yang belum sempat kita gali. Ditambah lagi rasa sungkan yang melekat pada orang Madura sendiri untuk mengakui bahasa ibu (Madura), mereka seakan beralasan bahwa bahasa local Madura sudah tidak relevan sehingga mulai dilupakan, padahal betapa sebenarnya bahasa Madura sangat kental dengan nilai-nilai kesederhanaan (Tawadu’), dan kesahajaan, mengapa semua itu harus terkikis begitu saja.

Tidak hanya itu, keberadaan kesenian pun sudah mulai terkurangi, bayangkan Madura yang konon kaya dengan beragam kesenian local mulai dari kesenian tradisional klasik, tradisional kerakyatan, hingga kesenian tradisonal kerasi telah menjadi warna dan cirri khas Madura itu sendiri, akan tetapi telah terjadi kesenjangan dan pergeseran yang cukup luar biasa, dari menikmati kesenian local hasil produk sendiri malah lebih senang meangadopsi kesenian luar dengan segala keberagaman moderenisasinya. Tak ayal jika Musik Saronin, Lodruk, Macopat, Tandek dan beberapa kesenian local lainnya sudah mulai langka di daerah kita sendiri, padahal andai saja kita mau melestarikan semua bentuk dan jenis kesenian local tersebut betapa kesenian tersebut akan go public jika kita mampu mengkemas dan melestarikannya, karena realitasnya kesenian-kesenian Madura justru mendapat ruang berkesenian yang luas di mata orang luar Madura.

Intinya, Budaya, Bahasa dan kesenian Madura merupakan kekayaan dan potensi yang besar yang dimiliki Madura, yang seharusnya diperhatikan dan dilestarikan sehingga melahirkan satu prinsip bahwa budaya, bahasa, dan seni Madura masih layak untuk kita reaktualisasikan dalam konteks kekinian, untuk kita miliki, gunakan, bahkan disebar luaskan keseluruh penjuru tanah air dan dunia inetrnasional.

Ketiga: Pembahasan mengenai Pendidikan dan Pesntren. Secara geografis Madura yang terdiri dari empat kabupaten (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep) ternyata telah mempunyai kekhasan lokal  yang itu diakui menjadi kekuatan religiusitas orang Madura sekaligus menjadi symbol pendidikan islam. Pesantren adalah symbol budaya yang telah diakui menjadi tradisi pendidikan yang sangat representatif , betapa tidak, kalau kita teropong dalam perspektif historis bahwa sejak berdirinya berates-ratus tahun silam pesantren tetap konsisten dan telah mampu menunjukkan eksistensinya dalam pergulatan pendidikan Indonesia. Tidak hanya itu, keberadaannya sebagai institusi pendidikan islam dipandang telah mampu menjadi salah satu filter menjamurnya budaya luar yang diproduk oleh westernisasi.

Nor Kholis majid dalam bukunya Bilik-bilik Pesantren memberikan visualisasi  kongkriet tentang peranan pesantren dalam sector pendidikan hingga budaya, menurutnya Pesantren adalah salah satu institusi pendidikan yang berhasil mempertahankan nilai-nilai kekhasan klasik pendidikan islam sebagai benteng moral, sekaligus berhasil mengikuti laju perkembangan zaman. Pesantren yang walaupun secara structural menggunakan polarisasi perkembangan zaman, namun secara cultural tugas utamanya tetap mempertahankan nilai-nilai moral serta pendidikan etis. Sehingga kita akan sepakat bahwa benteng moral yang paling efektif adalah pesantren, inilah orientasi perioritas dilahirkannya pesantren sejak dahulu.

Selain membahas tiga tema diatas, KKM juga akan membahas mengenai eksistensi Pemuda Madura dalam konteks kekinian, hal ini menjadi urgen mengingat keberadaan pemuda Madura yang telah terasuki oleh imbas perkembangan zaman, terjadinya perubahan paradigma dikalangan pemuda Madura menjadi sesuatu yang urgen untuk diperbincangkan, termasuk juga pola hidup elitis yang sudah mulai mendarah daging  dikalangan pemuda madura hari ini harus segera dipecahkan bersama-sama.

Secara sederhana kita memahami bahwa transformasi sosial, modernisasi dan globalisasi telah mampu melahirkan dan merubah segala bentuk kehidupan pemuda Madura. Segala produk kebudayaan yang dilahirkan dari westernisasi dianggap sesuatu yang lebih bagus untuk diadopsi dan ditiru oleh mereka, kecendrungan ini sudah menjadi watak dan karakter dikalangan pemuda Madura. Kita pun akan sering mendapatkan mereka telah lebih bangga menyaksikan kesenian luar ketimbang menonton kesenian local Madura, alasannya mereka mengatakan bahwa kesenian dan kebudayaan local Madura sudah sangat klasik dan tidak gaul. Pemuda yang diharapkan menjadi penerus sejarah ternyata telah mengalami kemerosotan yang begitu dahsyat. Realitas ini menunjukkan bahwa nilai nasionalisme kemaduraan pemuda kita sudah mulai luntur, terutama dalam menjalani hidup masa mudanya. Mereka tidak merasa terkungkung oleh Lobin (tanah tumpah darah) atau dukuh tempat kelahirannya baik dalam mencari pekerjaan penuh berkah untuk menghidupinya, dalam menemukan jodoh setia untuk mendampinginya, maupun dalam mendapatkan permukiman layak untuk tempat menghabiskan sisa hayatnya dengan segala suka dukanya (Prof. Dr. Ir. Mien A. Rifai: Radar Madura 5/3/2007).

Selain itu, Moh. Fauzi Budayawan muda Sumenep juga memberikan gambaran tentang pemuda Madura saat ini, menurutnya fenomina sebagian (besar) kaum muda Madura sudah lebih senang Band dengan gitar dan keybordnya, dari pada menekuni saronen maupun kalennengan, bahkan budaya urban dan pop sudah menjadi gaya hidup kaum muda Madura (Radar Madura: 7/2/2007).

Praktis kita mungkin akan beranggapan bahwa semua fenomina tersebut diakibatkan oleh arus modernisasi yang begitu cepat merambat ke bumi Madura. Konsekuensinya telah mengeksploitasi nilai-nilai budaya masyarakat Madura, ironisnya malah banyak dianatar kita (masyarakat madura) meng-amini terhadap segala produk budaya yang dibawa oleh arus modernisasi tersebut. Apapun alasannya, kita tidak bisa (bahkan tidak boleh) menyalahkan modernisasi tersebut. Sehingga solusinya adalah memantapkan kearifan local yang bisa membendungnya, salah satu contohnya bahasa Madura yang menjadi salah satu unsur penting dari kebudayaan Madura, nyaris tak dipakai lagi dalam kehidupan sehari-hari, padahal dalam konsep kebudayaan  bahasa menunjukkan Bangsa. Kalau hal yang sederhana seperti ini saja sudah dilupakan, apalagi hal-hal yang lebih besar. Ketika seperti ini terjadi, penulsi jadi ingat pada bahasa salah satu iklan yang mengatakan Tanya Kenapa?.

KKM: Mimpi Nasionalisme dan Revitalisasi Budaya

Kongres Kebudayaan Madura (KKM) merupakan langkah positif yang visionir demi eksistensi dan perkembangan kebudayaan Madura kedepan, selama ini kebudayaan Madura hampir tidak pernah disentuh oleh orang-orang Madura, apalagi oleh orang lain (Dr. A. Latief Wiyata: Radar Madura 5/3/2007). Dengan KKM kita berharap bisa melihat konvigurasi kebudayaan kita dewasa ini dan menyiapkan strategi kebudayaan untuk masa depan masyarakat Madura yang lebih baik dalam berbagai aspeknya (Djamal D. Rahman: Radar Madura 5/3/2007). Kongres Kebudayaan Madura (KKM) diharapkan mampu mengidentifikasi potensi dan kendala pengembangan SDM Madura, hal itu merupakan moment tepat untuk menentukan arah pendidikan yang sesuai dengan budaya Madura (Prof. Sukur Ghazali: Radar Madura 5/3/2007).

Itulah sebagian harapan dari sekian banyak harapan yang ditumpuhkan pada pelaksanaan KKM, disadari atau tidak semua harapan di atas merupakan mimpi ideal  untuk terciptanya sebuah iklim kebudayaan Madura yang asri dan sesuai dengan cita-cita adiluhung. Paling tidak semua stetment di atas merupakan representasi dari harapan besar masyarakat Madura secara umum untuk melahirkan kembali serta menyiapkan strategi kebudayaan yang prospektif.

Kalau kita coba tarik ke akar persoalan diadakannya KKM tersebut, ternyata kita akan menemukan point penting yang menjadi dasar KKM itu, yaitu minimnya apresiasi dan sentuhan terhadap kebudayaan local Madura, ironisnya itu malah dilakukan oleh orang Madura sendiri. Rasa kepercayaan untuk mengangkat nilai-nilai kebudayaan local Madura ternyata sangat minim, sehingga semua iu mengakibatkan hilangnya autentisitas kebudayaan local Madura, bahkan kekayaan budaya local Madura yang dulu katanya sangat beragam kini sudah mulai langka.

Dari permasalahan di atas, pada akhirnya kita akan menmukan benang merah bahwa akar persoalan yantg krusial yang tengah melanda masyarakat Madura saat ini adalah minimnya nasionalisme kemaduraan yang dimiliki masyarakat Madura sendiri. Secara factual kita sudah dapat membuktikan betapa hampir sebagian besar masyarakat Madura sudah tidak lagi memperhatikan eksistensi serta masa depan kebudayaannya. Mereka sudah lebih bangga mengadopsi kebudayaan luar sebagai salah satu produk modernisasi. Selain itu, ragam kesenian yang dimiliki Madura juga sudah tidak mendapat ruang apresiasi dari masyarakat Madura sendiri, mereka lebih senang menonton berbagai kesenian yang diimpor dari luar. Yang tak kalah krusialnya adalah bahasa ibu (Madura) yang konon diakui sebagai cirri khas eksistensi Madura, sekarang sudah mulai langka dan bahkan orang Madura sudah alergi dengan bahasa tersebut.

Segala persoalan tersebut diharapkan bisa dijawab secara tuntas oleh KKM, KKM adalah mimpi ideal masyarakat Madura demi lahirnya nasionalisme kemaduraan yang kokoh. Segala apa yang dihasilkan dalam KKM tersebut akan menjadi acuan serta gambaran kebudayaan masa depan. Se;lain itu, juga diharapkan menjadi point penting  bagi revitalisasi kebudayaan Madura, yang pada akhirnya  akan ditemukan akar kebudayaan Madura yang humanis dan aplikatif, sehingga munculnya pertanyaan untuk apa dan untuk siapa KKM itu digelar, akan menemukan jawaban kongkriet di kemudian hari. Amien.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons